Batik Tiga Negeri - infopublik
Batik Tiga Negeri - infopublik

Pada abad ke-20 Batik Tiga Negeri merupakan batik premium yang mahal harganya. Bahkan sempat dijadikan kain seserahan dalam upacara perkawinan dan merupakan kain favorit kaum sosialita dan para pengusaha kaya Arab, Belanda dan China,

Dalam buku Dutch Influence in Batik from Java, History and Stories (1993) disebutkan, bahwa batik tiga negeri memiliki desain dan warna unik yakni merah, biru, dan cokelat soga yang mengacu pada beberapa tempat berbeda di pantai utara Jawa dan pedalaman Jawa. Nama “tiga negeri” itu sendiri berarti batik ini mengalami proses pewarnaan di Lasem (untuk warna merah), Pekalongan (biru), dan Solo (cokelat soga).

Warna merah dari batik tiga negeri ini dipengaruhi oleh masyarakat Tionghoa dulu. Yang memiliki simbol kebahagiaan karena sering dipakai dalam acara-acara pernikahan. Kemudian, warna biru datang dari orang-orang Belanda, pengaruh dari bangsa Eropa. Sedangkan warna cokelat soga identik dengan budaya Jawa.

Mengutip laporan Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madoera (1904) milik C. T. H. Van Deventer, warna Batik Tiga Negeri dihasilkan dari pewarna alami. Untuk merah, warna dihasilkan dari akar mengkudu. Sementara biru dari daun Indigofera, dan sogan dari kayu tegeran.

Pada masanya Batik Tiga Negeri hanya diproduksi oleh pengusaha pembatik Cina di pesisir Jawa: Batang , Lasem, Pekalongan, Kudus, Cirebon dan Pedalaman Jawa Tengah, Solo.

Batik Tiga Negeri ini konon secara eksklusif dibuat oleh pengusaha batik peranakan Tionghoa. Ny. Tjoa Giok Tjiam adalah pengusaha batik peranakan yang pertama kali mempopulerkannya pada 1910. Batik Tiga Negeri buatan keluarga Tjoa telah diproduksi selama tiga generasi, mulai 1910 hingga 2014.

Batik Tiga Negeri yang diproduksi oleh masing-masing generasi memiliki ciri khas tersendiri. Generasi pertama dan kedua, misalnya, cenderung masih mempertahankan ciri Batik Tiga Negeri klasik dengan tata warna merah, biru, dan soga serta latar ukelan. Motif binatang, tanaman dan bunga- bunga berukuran kecil masih dijumpai pada latar kain, tersebar di antara motif utama buketan. Sementara generasi ketiga sudah lebih banyak melakukan inovasi, terutama dalam tata warna dan isen-isen latar atau tanahan. Sayangnya, Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa berhenti produksi pada akhir tahun 2014. Batik Tiga Negeri keluarga Tjoa pun kini kian langka.

Menurut cerita, pada masa lalu, mayoritas penduduk kota Lasem adalah keluarga-keluarga Tionghoa yang juga pengusaha batik. Sehingga motif dan warna batiknya sangat dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Kita bisa lihat motif-motif seperti burung hong (phoenix), naga atau liong, bunga teratai, bunga seruni, kelelawar, ikan mas, koin uang, dan lain-lain, pada batik Lasem. Salah satu aspek yang paling dikenal mengenai batik Lasem adalah warna merahnya yang legendaris, abang getih pithik (merah darah ayam), yang terbuat dari akar buah mengkudu.

Dalam acara konferensi pers Kondangan Peranakan Tionghoa Indonesia 2016, dewan pakar Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina) William Kwan, menjelaskan perubahan ini. Batik lasem yang dianggap sebagai salah satu simbol batik peranakan Tionghoa sendiri juga telah mengalami perubahan hingga menjadi yang sekarang.

William menjelaskan bahwa walaupun pada awalnya mayoritas pengguna batik lasem adalah wanita peranakan Tionghoa, tetapi setelah kemerdekaan Indonesia, para wanita peranakan Tionghoa mulai meninggalkan kebaya encim untuk gaya busana Barat. Oleh karena itu, pasar batik lasem pun berpindah ke siapa saja yang mau memakai batik lasem sehingga motif dan warnanya mengalami penyesuaian. “Jadi apa yang disebut dengan batik lasem saat ini, terus terang saja, sangat berbeda dengan apa yang kita tahu batik lasem di masa sebelum perang dunia II,” ucapnya.

William menjelaskan ciri-ciri batik lasem klasik, yaitu latar yang polos dan tidak ada isen-isen. Namun, batik Lasem yang sekarang memiliki isen-isen yang sangat rapat. “Industri batik lasem ini terus berkembang sampai pada tahun 1970 di mana pengusaha batik di kota tersebut berjumlah 120 orang. Namun, di tahun 2012, angka tersebut merosot hingga 18, di mana hanya empat yang keluarga Tionghoa,” tuturnya. [NoE]