Ilustrasi, kompor listrik - net

SEMPAT digadang-gadang menjadi solusi atas membengkaknya subsidi gas LPG, program konversi kompor gas ke kompor listrik akhirnya berhenti di tengah jalan.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, langkah pembatalan konversi diambil guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

“PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal,” ujar Darmawan dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (28/9).

Program konversi tersebut sebelumnya sempat diujicobakan di berbagai wilayah yaitu di kota Solo dan Denpasar. Bahkan pemerintah telah merencanakan perluasan ujicoba dengan target 300 ribu kompor pada tahun 2022 dan mencapai 5 juta unit kompor pada tahun 2023 nanti.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan harga paket kompor listrik tersebut sekitar Rp1,8 juta, sehingga jika sasarannya 300 ribu rumah tangga, maka anggaran yang dibutuhkan tahun ini sekitar Rp540 miliar.

Meski demikian, Rida mengatakan masih bisa ada perubahan. Sebab, ada masukan agar data kompor listrik yang dibagikan dinaikkan.

“Perencanaan awal, sama-sama dua tungku, awalnya 800 watt, sekarang mau dinaikkan lagi salah satunya 1.000 MW. Jadi biar masaknya lebih kencang (cepat),” kata Rida saat ditemui usai rapat dengan Banggar DPR, Selasa (20/9).

Untuk mekanisme daya listrik yang digunakan masih berbeda-beda penjelasan.

Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan PLN bakal menaikkan daya listrik masyarakat agar dapat menggunakan kompor listrik. Ia mengatakan MCB meteran listrik pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA akan diganti.

“Nanti diganti MCB-nya menjadi 3.500 watt untuk yang 450 (VA),” ujar Dadan.

Namun, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan daya listrik konsumsi masyarakat tidak perlu dinaikkan saat menggunakan kompor listrik.

Darmawan menyebut pemakaian kompor listrik akan dilakukan dengan sambungan khusus sehingga konsumsi listrik rumah tangga dan konsumsi kompor listrik akan dibedakan.

Menuai kritik

Meski persiapan telah dilakukan pemerintah dan provider calon rekanan penyedia jutaan kompor itu, pihak PLN tiba-tiba membatalkan program konversi. Pembatalan itu dilakukan saat banyak kritik dilontarkan.

Anggota Komisi VII Ramson Siagian menilai program konversi kompor listrik sebagai langkah panik PLN dalam mengatasi masalah kelebihan pasokan atau oversupply listrik.

“PLN membuat keputusan yang mendadak, padahal untuk kebijakan energi itu harus ada keputusan dari pemerintah dan DPR komisi VII,” kata Ramson, Senin (26/9).

Kebijakan yang reaktif di sektor energi dinilai akan menimbulkan dampak negatif yang serius di masa depan. Ramson menjelaskan, saat kondisi penyerapan atau konsumsi listrik sudah normal, program konversi kompor listrik induksi bisa membahayakan jutaan rakyat kecil yang disasar menjadi target penerima.

Kritik senada disampaikan oleh Anggota Dewan Energi Nasional atau DEN, Satya Widya Yudha mengatakan program pengalihan kompor elpiji 3 kg menjadi kompor listrik induksi merupakan langkah yang tergesa-gesa dan minim sosialisasi.

Satya menjelaskan, kompor induksi merupakan kompor yang memiliki sifat statis. Artinya, kompor tersebut harus berada di ruang lingkup terbatas yang tak bisa jauh dari saluran daya listrik. Panjang kabel pun terbatas dan ala kadarnya.

Kondisi yang demikian dinilai tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat menengah ke bawah yang mayoritas adalah pedangang dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Anggota DPR RI Raden Wulansari yang akrab di sapa Mulan Jameela juga turut bersuara menanggapi program konversi kompor ini. Ia berpendapat program ini tidak tepat untuk masyarakat menengah kebawah yang memiliki sambungan daya 450-900 VA, selain kekurangan daya juga masalah harga kompor listrik yang mahal dinilai memberatkan masyarakat.

Beda kepentingan

Sebagai penyelengggara utama program konversi ke kompor listrik pihak PLN tentunya menjadi pihak paling diuntungkan jika program ini berjalan. Keuntungan instan yang bisa diraih adalah meningkatnya konsumsi listrik masyarakat sehingga oversupply listrik yang selama ini menjadi beban PLN bisa teratasi.

Saat ini PLN menyatakan ada oversupply atau kelebihan pasokan listrik sebesar 6 Gigawatt (GW) tahun 2022, angka ini diperkirakan membengkak hingga 41 GW pada tahun 2030. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana. Menurutnya, oversupply mencakup seluruh Indonesia.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut oversupply ini merupakan beban. Pasalnya, kontrak listrik PLN sendiri menerapkan skema ‘take or pay’ dengan membeli listrik kepada pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP). Jadi seberapapun yang digunakan, harga listrik yang dibayarkan PLN tetap sama sesuai kontrak.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperkirakan PLN harus menanggung Rp3 triliun untuk oversupply listrik 1 GW per tahun. Jika oversupply tembus 7 GW, berarti PLN harus menanggung beban Rp21 triliun per tahun.

Program konversi kompor listrik meski menguntungkan PLN namun dapat berbenturan dengan program subsidi gas LPG 3kg yang menjadi andalan Pertamina. Bagaimana tidak, pada tahun 2021 saja Pertamina mendapat pemasukan sekurangnya Rp 67 triliun dari subsidi LPG 3kg, bahkan dapat meningkat lagi pada tahun 2022.

Ini merupakan bisnis besar dan ‘anti rugi’ bagi Pertamina karena berapapun harga LPG di jual ke masyarakat pasti terganti oleh APBN.

Meski ada jaminan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bahwa LPG tidak akan dihapuskan saat program konversi ke kompor listrik terlaksana. Namun, penggunaan LPG akan disesuaikan demi mengurangi biaya impor yang membebani keuangan negara.

“LPG bukan berarti kita harus hapuskan, tidak mungkin. Tapi harus kita seimbangkan,” ungkap Erick di Pasar Murah Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (23/9) lalu.

Selama ini menurut Erick Indonesia mengimpor LPG dengan biaya besar mencapai Rp70 triliun setiap tahunnya.

Perbedaan kepentingan ini dapat menjadi faktor penyebab pemerintah tidak memiliki suara bulat untuk melakukan konversi kompor gas menjadi kompor listrik secara menyeluruh. Hingga akhirnya program itu batal dilaksanakan.

Namun di lain sisi ada pelajaran dari batalnya program konversi kompor, yaitu saking rendahnya taraf penghidupan, masyarakat  menjadi sangat rentan dengan perubahan kebijakan pemerintah. Hampir setiap muncul kebijakan baru beban masyarakat akan bertambah dan menimbulkan protes keras.

Selain itu masalah terbesar adalah kebijakan energi pemerintah belum terintegrasi dan mengandung pemborosan, contohnya adalah pembelian pasokan listrik swasta yang berlebih hingga jadi beban APBN. Begitupula tingginya impor gas LPG ditengah pasokan gas yang berlimpah di Indonesia.

Menjadi ironi yang perlu direnungkan, bahwa Indonesia memiliki kelimpahan sumber energi baik listrik, gas ataupun batu bara, namun hal itu kerap menjadi masalah besar sehingga menimbulkan kerugian negara  dan membebani masyarakat. [DES]