Seperti yang diprediksi, pertemuan tingkat tingi antara Trump-Jong un akhirnya batal digelar.

Koran Sulindo –Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi Donald Trump-Kim Jong un di Singapura akhirnya tak bisa dihindari lagi.

Trump, seperti di Iran dengan jalang secara sepihak menarik diri dari rencana.

“Sayangnya saya harus membatalkan pertemuan di Singapura dengan Kim Jong Un,” kata Trump.

Ia menyebut, pembatalan itu dilakukan karena ada pernyataan dari pihak Korut yang tidak bisa diterima dirinya. Jelas ini hanya alasan, provokasi justru dimulai dari Gedung Putih.

“Berdasarkan kemarahan dan perselisihan yang ditunjukan oleh statement anda baru-baru ini, saya merasa itu tidak pantas,” tulis Trump dalam sebuah surat yang diunggah di akun Twitternya, Kamis (24/5).

Sejak awal, Trump menginginkan sesuatu yang tak akan pernah diberikan Kim Jong un. Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) tak bakal menyerahkan seluruh program nuklirnya, sebelum AS memberikan sesuatu yang nyata.

Sikap Gedung Putih sendiri terbagi, seperti John Bolton yang secara terbuka ‘meracuni’ proses pembicaraan damai. Ia bukannya tak sengaja ketika membandingkan DPRK dengan Libya yang disegera dihancurkan AS, kurang dari satu dekade setelah membongkar program nuklirnya.

DPRK pertama kali menguji senjata nuklirnya pada tahun 2006 yang seiring berjalannya waktu membangun ulang doktrin militer dan mengubah rencana startegisnya berdasarkan keunggulan itu.

Kelangsungan Hidup

Pangkal sengketanya jelas, AS ingin Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya, tapi DPRK menganggap nuklir adalah kelangsungan hidupnya. Itulah sebabnya, para ahli masalah Korea dengan suara bulat percaya tujuan denuklirisasi AS di semenanjung di luar jangkauan.

Jadi, sementara cita-cita denuklirasasi Trump di semenanjung tak masuk akal, tujuan itu juga tak pernah dikelola dengan baik.

Akar kegagalannya telah mendahului Trump, kebijakan AS di bawah Barack Obama gagal dengan kenyataan Pyongyang ngotot mempertahankan nuklirnya.

Kelebihan Obama cuma satu, setidaknya ia tak secara terbuka mengambil risiko perang untuk mengakhiri program Korea Utara.

Apa yang paling dikhawatirkan oleh orang-orang semodel Trump adalah tanpa proses negosiasi, ia jelas bersedia menggunakan ancaman untuk mewujudkan niatnya.

Dalam konferensi pers tidak lama setelah pembatalan KTT, Trump langsung mengisyaratkan bahwa dia akan bersedia menggunakan kekerasan terhadap DPRK jika itu terjadi.

“Militer kami, yang sejauh ini paling kuat dibanding negara mana pun di dunia, siap jika diperlukan,” kata Trump. “Kami lebih siap dari sebelumnya.”

Satu-satunya cara terbaik bagi AS untuk menurunkan tensi ketegangan –termasuk perang nuklir tentunya- adalah menyerah karena sudah saatnya bagi Washington mengakui realitas kepemilikan nuklir DPRK.

Mengapa Korea Utara tidak mau menyerahkan nuklirnya?

Fakta terpenting dan fundamental dari program nuklir Pyongyang adalah program nuklir negeri itu lahir dari rasa takut, khususnya ketakutan pada serangan AS.

Pada Perang Korea di tahun 1950, ketika Pyonguang menyerbu ke Selatan dan nyaris menaklukkan semunya, hanya intervensi Sekutu di bawah AS yang membalikkan keadaan dan ganti hampir menguasai seluruh wilayah Utara. Ide ini dipaksa berhenti ketika Cina mengancam bakal melibatkan diri di sisi Pyongyang.

Perang itu sangat berdarah, bagi kedua sisi Korea korbannya melebihi angka 1 juta jiwa.

Ancaman 

Ketika perang berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1955, Washingtong berjanji untuk membela Selatan dari setiap serangan di masa depan. Mereka meninggalkan puluhan ribu tentara di sepanjang perbatasan.

Ini terus-menerus menjadi alarm bagi Pyongyang bahwa kekuatan militer terkuat di dunia setiap saat siap menyerbu ke utara.

Akibatnya, seluruh kebijakan luar negeri dan identitas nasional DPRK berkembang pada ancaman perang dengan AS dan berusaha terus meningkatkan kemampuan militernya untuk mencegah invasi AS.

Program nuklir, yang dimulai sejak dekade 50-an dirancang untuk menjadi jawaban akhir masalah ini. Fokus pemerintahan tiga generasi keluarga Kim adalah memiliki senjata nuklir. Senjata yang sanggup membuat AS berpikir ulang menginvasi Utara karena menimbulkan ‘biaya’ yang tidak dapat diterima.

Nuklir, dengan kata lain menjadi alat pencegah utama terhadap perubahan rezim.

Ini menjelaskan mengapa Pyongyang menginvestasikan begitu banyak sumber daya, dan bersedia dengan tabah menerima sanksi-sanksi internasional saat mengembangkan nuklir dan rudal balistik antarbenua  yang sanggup menghantam daratan AS.

Ini juga yang menjelaskan mengapa mereka tak akan menyerah begitu saja karena inti dari program nuklirnya adalah keberlangsungan hidup.

Wajar ketika Pyongyang marah ketika beberapa anggota penasihat senior Trump seperti Bolton dan Wakil Presiden Mike Pence berbicara ‘Model Libya’ untuk perlucutan nuklir.

Model itu berakhir dengan sangat buruk bagi pemimpin Libya Muammar Gaddafi. Delapan tahun setelah menyerahkan program nuklirnya, Gaddafi digulingkan oleh campur tangan AS dalam perang sipil di Libya. Setelah disiksa secara barbar, Gaddafi dieksekusi di jalanan.

Cuplikan pembunuhannya sampai sekarang masih bisa ditonton online. Itu pesan yang kuat dan Kim Jong un jelas tak ingin berakhir seperti itu. Gaddafi tak belajar dari kasus Saddam Hussein.(TGU