La vie est la misere…
Bukan kebetulan jika kalimat pendek itu dipilih Basuki Resobowo untuk mewakili pengalaman hidupnya. Hidup baginya adalah samsara. Dan simpulan itu tentu tak turun dari langit layaknya wahyu. Itu adalah pengalaman Basuki menghadapi kerasnya menjalani kehidupan sepanjang hayatnya.
Meski lahir di Sumatra, seperti ditunjukkan oleh namanya Basuki Reksobowo adalah Jawa tulen. Sifatnya lugu dan apa adanya dengan tutur bicaranya lirih dan halus cenderung klemak-klemek.
Namun, watak ‘Jawa’itu musnah jika menengok matanya. Sorotnya tajam menyiratkan watak keras yang jika marah sinar mata itu seperti mendadak menyala. Meski suaranya tetap lirih nadanya bicaranya menjadi tinggi dan kasar. Ia seperti menjadi orang yang lain.
Itu juga yang terjadi setelah membaca surat istrinya. Basuki benar-benar muntab, ketika S. Soedjojono yang dijuluki Bapak Seni Rupa Modern, sahabat sekaligus mentornya untuk kali kesekian kembali melewati batas.
Ketika istrinya menulis Soedjojono mengatakan, melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan. “Kalau mau melukis di mana saja bisa, tidak usah dikatakan kalau tidak berada di Indonesia sukar melukis.”
Bagi Basuki, kata-kata itu bak petir di siang bolong. Mengagetkan sekaligus mengecewakan.
Jauh-jauh hari sebenarnya Basuki berusaha keras untuk memenuhi niatnya menulis buku menjelaskan ‘posisinya’. Niat itu berkali-kali kandas di tengah jalan. Belakangan rencana itu langsung tuntas akibat ‘provokasi’ Sudjojono itu.
“Setelah membaca kata-kata Sudjojono saya menjadi kaget. Ia pisahkan seni dari politik atau seni dari revolusi,” kata Basuki dalam bukunya Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat.
Basuki kenal Sudjojono pertama kali pada paruh pertama tahun 30-an sebagai teman sesama murid Taman Siswa di Yogyakarta.
Basuki ingat betul ketika itu Sudjojono berkata bahwa sebagai seniman sekaligus sebagai manusia Indonesia karya seni harus memiliki corak Indonesia. Tentu, agar bercorak Indonesia, seniman tak bisa tidak mesti menyatu sekaligus menimba pengalaman dari kehidupan rakyat banyak. Karya seni harus bertolak pada keadaan rakyat itu dan inilah pondasi realisme!
Pengaruh Sudjojono itu benar-benar menancap kuat di otak Basuki. Dia juga masih ingat kata-kata Sudjojono padanya. “Bas, memang benar apa yang mereka bilang. Apalagi kita sebagai seniman jangan sampai absen dan tidak ikut mengalami situasi politik yang penting dari sejarah bangsa Indonesia.”
Kepada Basuki, Sudjojono menambahkan lingkungan dan masa memainkan peranan dalam terjadinya suatu karya seni, sekalipun bukan sebagai komponen yang menentukan. Wajar, Basuki begitu murka ketika Sudjojono jelas-jelas berbalik haluan.
Sebagai penganut marxis tulen, cara pandang Basuki tak jauh-jauh dari marxisme. Karya seni harus membawa pemahaman estetika baru yang ‘melenyapkan’ selera borjuis yang dekaden sekaligus memberi roh dan memperkaya jiwa kerohanian golongan yang lebih yakni massa rakyat. Baginya inilah aliran “Seni untuk Rakyat”.
Gelombang seni untuk rakyatmakin ini menguat ketika Sudjojono, termasuk Basuki mendirikan Seniman Indonesia Muda atau SIM di tahun 1946. SIM ini adalah cikal bakal organisasi terbesar di era 60-an yakni Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra.
Roh ‘Seni untuk Rakyat’ yang diusung SIM itulah yang diterjemahkan oleh Lekra menjadi gerakan 1-5-1. Angka 1 pertama adalah politik sebagai panglima, sementara angka 5 mencakup meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kreativitas massa, realisme sosial dan romantik revolusioner.
Sedangkan angka 1 terakhir menjelaskan metode untuk mencapai prinsip-prinsip itu dilakukan dengan ‘turun ke bawah’.
Menjadi Guru
Lahir tahun 1916 sebagai anak kedua, ayah Basuki adalah Prawiroatmojo asal Purworejo yang menjadi mantri ukur daerah transmigrasi dan perkebunandi Palembang.Meski banyak ahli tak bersepakat kapan dan di mana Basuki dilahirkan. Basuki dalam bukunya, Riwayat Hidupku meminjam sajak Sitor Situmorang Bulan di Atas Kuburan menyebut dia dilahirkan di sebuah kuburan di luar Desa Baturaja, Palembang saat bulan sabit yang suram.
Berharap anaknya menjadi seorang guru yang terhormat, Prawiroatmojo mengirim Basuki kepada saudaranya ke Batavia untuk bersekolah Europeesche Lagere School atau ELS. Lulus ELS tahun 1930, Basuki tinggal tinggal dengan pamannya yang lain untuk masuk MULO sekolah menengah khusus pribumi dan mulai tertarik dengan patung.
MULO hanya dijalani setahun dan pindah ke Yogyakarta hingga lulus dari Taman Siswa. Di sekolah inilah dia bertemu dengan Sindoesoedarsono Soedjojono yang kelak mengecewakannya itu.
Beberapa tahun di Yogyakarta, Basuki kembali ke Batavia tahun 1933 dan sementara waktu bertugas sebagai guru Taman Siswa. Di rentang tahun 1936 dan 1938, dia pindah ke Bandung belajar desain grafis dan pahatan dan kembali ke Batavia tahun 1938. Di Batavia dia tinggal bilangan Tangkiwood yang menjadi rumah industri film domestik.
Di masa pendudukan Jepang, Basuki menghabiskan waktu dengan bekerja Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan di bagian seni visual. Belakangan, pekerjaan itu ditinggalkannya dan memilih bekerja menangani dekorasi panggung beberapa kelompok kesenian.
Waktu luangnya digunakan untuk membuat sketsa para bintang kelompok itu. Pada tahun 1934, lukisan Basuki memenangkan penghargaan terbaik Pusat Kebudayaan. Kemenangan. Kemenangan inilah yang membuat namanya disandingkan dengan para maestro seni lukis seperti Basuki Abdullah dan Affandi.
Di masa-masa inilah Basuki bergaul akrab dengan Chairil Anwar. Keduanya benar-benar cocok satu sama lain. Sama-sama ekspresionisme, bohemian dan punya rendezvous yang sama yakni Pasar Senen. Jika Chairil Anwar menggelandang untuk menghayati “isi gelas sepenuhnya, lantas kosongkan”, Basuki menjalaninya sebagai ‘ikut mengalami’ dan ‘ikut merasai’ kehidupan rakyat.
Terinspirasi Diego Rivera pelukis kiri dari Meksiko, menjelang Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 Basuki sudah membuat mural di trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya.
Bersama bersama M Balfas, dia juga membuat poster tentang peristiwa bersejarah itu dan menyebarkannya ke pelosok kampung-kampung di Jakarta.
Belakangan, Basuki menyingkir ke berbagai kota republik seperti Yogyakarta, Madiun hingga Sukabumi ketika Belanda menggelar aksi polisionil pada tahun 1946. Di Madiun bersama kawan lamanya, Sudjojono, dan Sudibio serta Trisno Sumardjo Basuki mendirikan SIM dan tetap aktif meski belakangan dia pindah ke Surakarta lalu ke Yogyakarta.
Bersama teman-temannya di SIM inilah Basuki rutin menggelar pameran.
Ada cerita konyol soal pameran ini. Di buku Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat Basuki bercerita dalam sebuah pameran di Madiun tahun 1947 dia ikut memamerkan sebuah lukisannya yang merupakan ‘gambar’ wanita telanjang.
Basuki menganggap ketelanjangan lukisannya berbeda dengan lukisan telanjang milik Affandi yang menurutnya bukan pendobrakan namun media komunikasi high society di masyarakat Eropa dan juga Indonesia.
“Saya adalah seniman Indonesia yang pertama memamerkan lukisan telanjang di bumi Indonesia dan mendobrak kebudayaan yang dekaden,” tulis Basuki di bukunya.
Namun, rupanya ada yang diam-diam tak menyukai lukisan itu dan menganggapnya merusak moral. Lukisan itu sempat hilang selama dua hari dan kembali dengan kerusakan di bagian gambar kemaluan.
Tak kapok disatroni maling, Basuki nekat memamerkan lagi lukisan itu di Jakarta dan mengundang decak kagum. Termasuk si ‘binatang jalang’ Chairil Anwar yang sempat terbius di depan lukisan itu. “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang,” kata Chairil kepada Basuki ketika keduanya bertemu di Yogyakarta.
Maka berceritalah bagaimana Basuki membuat lukisan itu dan hubungannya dengan sang model. Usai cerita, Chairil langsung berteriak dan memeluk Basuki. “Hebat kau Bas, semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.”
Kepada sang kawan itu, Chairil takzim dan mengenangnya dengan sebuah puisi berjudul Sorga yang dikarangnya khusus untuk Basuki.[TGU]
* Tulisan ini pertama dimuat 27 Februari 2018