MULO hanya dijalani setahun dan pindah ke Yogyakarta hingga lulus dari Taman Siswa. Di sekolah inilah dia bertemu dengan Sindoesoedarsono Soedjojono yang kelak mengecewakannya itu.
Beberapa tahun di Yogyakarta, Basuki kembali ke Batavia tahun 1933 dan sementara waktu bertugas sebagai guru Taman Siswa. Di rentang tahun 1936 dan 1938, dia pindah ke Bandung belajar desain grafis dan pahatan dan kembali ke Batavia tahun 1938. Di Batavia dia tinggal bilangan Tangkiwood yang menjadi rumah industri film domestik.
Di masa pendudukan Jepang, Basuki menghabiskan waktu dengan bekerja Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan di bagian seni visual. Belakangan, pekerjaan itu ditinggalkannya dan memilih bekerja menangani dekorasi panggung beberapa kelompok kesenian.
Waktu luangnya digunakan untuk membuat sketsa para bintang kelompok itu. Pada tahun 1934, lukisan Basuki memenangkan penghargaan terbaik Pusat Kebudayaan. Kemenangan. Kemenangan inilah yang membuat namanya disandingkan dengan para maestro seni lukis seperti Basuki Abdullah dan Affandi.
Di masa-masa inilah Basuki bergaul akrab dengan Chairil Anwar. Keduanya benar-benar cocok satu sama lain. Sama-sama ekspresionisme, bohemian dan punya rendezvous yang sama yakni Pasar Senen. Jika Chairil Anwar menggelandang untuk menghayati “isi gelas sepenuhnya, lantas kosongkan”, Basuki menjalaninya sebagai ‘ikut mengalami’ dan ‘ikut merasai’ kehidupan rakyat.
Terinspirasi Diego Rivera pelukis kiri dari Meksiko, menjelang Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 Basuki sudah membuat mural di trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya.
Bersama bersama M Balfas, dia juga membuat poster tentang peristiwa bersejarah itu dan menyebarkannya ke pelosok kampung-kampung di Jakarta.
Belakangan, Basuki menyingkir ke berbagai kota republik seperti Yogyakarta, Madiun hingga Sukabumi ketika Belanda menggelar aksi polisionil pada tahun 1946. Di Madiun bersama kawan lamanya, Sudjojono, dan Sudibio serta Trisno Sumardjo Basuki mendirikan SIM dan tetap aktif meski belakangan dia pindah ke Surakarta lalu ke Yogyakarta.
Bersama teman-temannya di SIM inilah Basuki rutin menggelar pameran.
Ada cerita konyol soal pameran ini. Di buku Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat Basuki bercerita dalam sebuah pameran di Madiun tahun 1947 dia ikut memamerkan sebuah lukisannya yang merupakan ‘gambar’ wanita telanjang.
Basuki menganggap ketelanjangan lukisannya berbeda dengan lukisan telanjang milik Affandi yang menurutnya bukan pendobrakan namun media komunikasi high society di masyarakat Eropa dan juga Indonesia.
“Saya adalah seniman Indonesia yang pertama memamerkan lukisan telanjang di bumi Indonesia dan mendobrak kebudayaan yang dekaden,” tulis Basuki di bukunya.
Namun, rupanya ada yang diam-diam tak menyukai lukisan itu dan menganggapnya merusak moral. Lukisan itu sempat hilang selama dua hari dan kembali dengan kerusakan di bagian gambar kemaluan.
Tak kapok disatroni maling, Basuki nekat memamerkan lagi lukisan itu di Jakarta dan mengundang decak kagum. Termasuk si ‘binatang jalang’ Chairil Anwar yang sempat terbius di depan lukisan itu. “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang,” kata Chairil kepada Basuki ketika keduanya bertemu di Yogyakarta.
Maka berceritalah bagaimana Basuki membuat lukisan itu dan hubungannya dengan sang model. Usai cerita, Chairil langsung berteriak dan memeluk Basuki. “Hebat kau Bas, semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.”
Kepada sang kawan itu, Chairil takzim dan mengenangnya dengan sebuah puisi berjudul Sorga yang dikarangnya khusus untuk Basuki.[TGU]
* Tulisan ini pertama dimuat 27 Februari 2018