Koran Sulindo – Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya menegaskan tersangka kasus korupsi kondensat, Honggo Wendratmo sudah tidak berada di Singapura.

“Itu otoritas Singapura sudah datang ke sini. Menyatakan bahwa, Honggo tinggalkan Singapura itu akhir tahun 2016,” kata Agung ketika ditemui Koran Sulindo di ruangannya, Selasa (13/2).

Pernyataan Agung tersebut menanggapi beredarnya foto Honggo di salah satu media online tengah berada di Singapura. Namun, Agung enggan menanggapi lebih lanjut terkait foto tersebut.

Lebih lanjut, jenderal bintang satu itu mengatakan kepolisian selama sebulan terakhir sudah melakukan 31 kegiatan termasuk mencari Honggo agar bisa disidangkan bersama dua tersangka lainnya yakni Raden Priyono dan Djoko Harsono.

“Iya kita lakukan 31 macam kegiatan setelah dinyatakan Honggo dipanggil tidak datang, dijemput tidak ada, dan menerbitkan DPO,” kata Agung menjelaskan.

Agung berharap masyarakat mengerti dengan upaya yang tengah dilakukan oleh penyidik di Bareskrim karena kasus korupsi yang diduga merugikan negara hingga Rp35 triliun ini sangat rumit. Ia menyebut dalam prosesnya kasus tersebut penuh dengan dinamika hingga akhirnya bisa menemukan fakta-fakta hukum yang lantas dilakukan pemberkasan.

“Utamanya adalah bagaimana agar Honggo dan pelaku lainnya ini diproses dalam sidang. Tentunya dengan dakwaan yang disusun dulu dengan alat bukti kita dulukan bersama-sama. Untuk nantinya satu perkara ini terdakwa ini bersalah atau tidak,” kata Agung.

Sementara itu tersangka megakorupsi kondensat, Honggo Wendratno menganggap kasusnya tidak murni hukum.“Bahasa beliau tidak murni hukum, ada aspek bisnisnya ada aspek politiknya, menjadi ruwet permasalahan itu,” kata kuasa hukum Honggo, Arianto, ketika dihubungi Sulindo, akhir bulan lalu.

Arianto mengatakan terakhir berkomunikasi dengan Honggo saat penyidik Bareskrim melakukan pemeriksaan di salah satu rumah sakit Singapura pada 2016 silam. Ketika itu kliennya juga ingin pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan diri. Saat itu Arianto juga menganjurkan Honggo pulang, karena jika dilakukan peradilan in absentia, ancaman pidananya bisa maksimal.

“Beliau bersedia hadir, dan bilang saya sudah umur 70 sekian saya mau meninggal di Indonesia saya hadapi mau jelaskan saya tidak bersalah,” katanya.

Namun seiring waktu dan kasus yang merugikan negara hingga Rp38 triliun itu tak ada kelanjutannya, Arianto pun tak berkomunikasi lagi dengan Honggo. “Saya putus komunikasi pas operasi jantung, karena ini proses tidak berjalan saya tidak ke Singapura,” kata Arianto.

Menurut Arianto, langkah penyidik Bareskrim sudah benar untuk menyurati pemanggilan Honggo baik alamat yang di Indonesia dan di Singapura. Mengenai keberadaan kliennya, dirinya menyerahkan kepada kepolisian. Sebab, Polri memiliki perwakilan di Singapura. “Saya juga ditembusi surat pemanggilan langkah penyidik sudah benar,” kata Arinto.

Kasus ini bermula dari penunjukan langsung BP Migas (sekarang SKK Migas) terhadap PT TPPI pada Oktober 2008 terkait penjualan minyak mentah bagian negara ataukondensat untuk kurun waktu 2009-2010. Penunjukan TPPI dilakukan melalui rapat terbatas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sementara, perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut baru dilakukan pada Maret 2009. Padahal lifting minyak sudah dilakukan pengiriman sebanyak 15 kali. Penunjukan langsung ini telah menyalahi peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50.

Mencium adanya tindakan melawan hukum, Dittipideksus Bareskrim melakukan penyidikan pada tahun 2015. Badan yang berlambang busur panah tersebut melakukan penggeledahan di Kantor SKK Migas, Jalan Gatot Subroto dan Kantor TPPI di Gedung Mid Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Mei 2015.

Penyidik menetapkan tiga tersangka, yakni Honggo, Kepala BP Migas (SKK Migas), Raden Priyono dan Deputi Finansial, Djoko Harsono. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebutkan negara mengalami kerugian sebesar USD 2,7 miliar atau sekitar Rp27 triliun dengan nilai tukar Rp10.000 per-USD1. [YMA]