Presiden AS Donald Trump

Koran Sulindo – Sementara dunia menjadi saksi penarikan tentara Amerika di Suriah, protes di Prancis, benturan keras Brexit di Inggris, anjloknya popularitas Angela Merkel di Jeman atau Mohammad bin Salman yang tiba-tiba terkucil di kancah internasional .

Krisis kepemimpinan kontemporer di Eropa, AS dan sekutu-sekutu utama mereka bagaimanapun membuat Barat tampil kacau sekaligus membawanya ke salah satu persimpangan paling kritis dalam beberapa dekade terakhir.

Situasi ini umumnya diinisiasi oleh politik kontradiktif AS, yang memicu berkurangnya kedaulatan pengambilan keputusan mereka yang telah begitu buta taat menjadi pesuruh Washington.

Jauh sebelum terpilihnya Donald Trump, posisi pemimpin Uni Eropa seperti Merkel, Cameron hingga Hollande jelas-jelas mulai goyah dan menunjukkan tanda-tanda kegagalan.

Hollande jatuh dalam jajak pendapat, karena kebijakannya mendukung kepentingan elit dengan mengorbankan populasi Prancis yang makin miskin dan banyak utang.

Di Inggris, mencegah kemenangan Partai Buruh di bawah Jeremy Corbyn, Cameron berjanji memberikan suara pada Brexit, keputusan yang pada akhirnya mengorbankan karier politiknya.

Sementara kepemimpinan tak terbantahkan Angela Merkel di Partai Uni Demokratik Kristen (CDU), untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun kalah dalam pemilihan umum akibat kebijakan imigrasi  yang buruk. Ia menuai kritik keras dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden partai, membuat CDU terpecah menjadi dua faksi.

Situasi di Inggris dan Prancis itu memburuk selama dua belas bulan berikutnya.

Imperialisme Brutal

Theresa May dan Emmanuel Macron kemudian menggantikan Cameron dan Hollande. Macron segera berkomitmen merevolusi politik Prancis dengan menjanjikan kebangkitan Prancis. Sementara May berjanji untuk bernegosiasi penuh semangat dengan Uni Eropa mendapatkan kondisi terbaik bagi Inggris di Brexit dengan penjadwalan pada Maret 2019.

Keduanya bertindak bertentangan dengan janji-janji mereka sendiri.

Sementara itu di Amerika kuatnya perselisihan antara elit politik-keuangan-perang tetap mendominasi kebijakan luar negeri Donald Trump yang entah karena kurangnya pengalaman, ketidakmampuan atau sengaja, langsung menyerah pada tawaran neoliberalisme dan imperialisme yang brutal.

Menggunakan dolar atau senjata serangan Trump belakangan justru menyasar pundi-pundi uang AS yakni Arab Saudi dan Israel. Kedua negara itu terus menerima ‘pukulan’ di samping serangan AS pada sasaran utama mereka yakni Iran, Rusia atau Cina.

Dogma neoliberalisme dan imperialisme brutal yang dianut dalam kebijakan luar negeri Washington menjadi masalah utama seluruh dunia, America First tak lebih dari bentuk terburuk imperialisme AS yang mewakili kepentingan oligarki pemodal.

Pengadopsian Washington atas kebijakan ekonomi yang agresif untuk menguras sumber daya sembari secara bersamaan mengisolasi musuh-musuhnya, makin menonjolkan perbedaan antara Eropa dan AS.

Penggunaan tarif dan bea cukai, dikombinasikan dengan sanksi terhadap Moskow dan Teheran, akhirnya menjauhkan Macron dari Trump, menempatkan Presiden Prancis itu dengan kuat di kubu liberal-globalis dan bahu-membahu berdiri dengan Merkel.

Sementara itu,  May diisolasi dan dikritik oleh hampir semua orang di Brussels, May menemukan dirinya mengelola situasi di kemampuan dirinya yang menunjukkan kegagalan total posisi negosiasi Inggris dengan UE.

Sabotase

Semakin mendekat Inggris dengan tanggal 29 Maret, makin banyak media Inggris seperti BBC yang bakal berteriak tentang malapetaka Brexit sementara yang dilakukan May tak lebih dari melakukan segala upaya justru menyabot proses negosiasi.

Ini adalah contoh sempurna bagaimana elit menciptakan masalah dan dengan sengaja menggagalkan  negosiasi Brexit untuk membenarkan tindakan dalam arah tertentu, bertentangan dengan apa yang disetujui populasi.

Macron, selain serangkaian bencana politik internal yang terus berulang, ia lebih lanjut menunjukkan kesetiaannya kepada elit pemodal global dengan menetapkan pajak baru bagi bensin demi kepentingan kelestarian lingkungan yang lebih besar.

Ini menjadi provokasi sembrono kepada rakyat Prancis yang sudah terbebani pajak tinggi dan layanan pemerintah yang minim. Langkah ini sudah cukup untuk memicu protes besar di Prancis yang diperkirakan tak akan berhenti sampai pengunduran diri Macron.

Di Jerman, kebijakan Merkel tentang migran selama beberapa tahun terakhir telah meggerus popularitas. Di CDU baru-baru ini ia digantikan anak didiknya, Annegret Kramp-Karrenbauer. Ia juga menjanjikan bakal menarik diri dari kehidupan politik di akhir masa jabatannya sebagai kanselir.

Apa yang telah memicu erosi konsensus politik di antara para pemimpin Eropa terjadi karena mereka menanggung biaya sebagai pelaksana kepentingan AS. Mundur dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dengan Iran pada akhirnya memicu gesekan signifikan antara Washington dan negara-negara UE.

Sanksi terhadap Rusia, tarif di negara-negara Eropa dan perang dagang dengan Beijing mendorong Macron, dan bahkan May ke posisi yang secara langsung bertentangan dengan Trump.

Provokasi

Pemimpin Eropa menemukan mereka berada dalam posisi mengarahkan mereka pada provokasi terbuka pada Iran atau Rusia di Suriah seperti misalnya serangan kimia palsu di Idlib atau di Ukraina.

Ini bakal menjadi bahaya yang sangat nyata sementara elit di Kiev dengan sukarela menawarkan negara mereka sebagai panggung untuk meluncurkan provokasi akhir melawan Moskow. Namun baik Merkel, May maupun Macron jelas tak terlalu tertarik pada prospek mengubah Eropa menjadi tumpukan puing hanya untuk menyenangkan elit keuangan atau elit militer Euro-Amerika.

Lagipula, tak satupun dari mereka memiliki modal politik yang memungkinkan mereka terlibat dalam aksi gila tersebut.

Sementara kekacuan menjadi ciri khas Barat, Trump mungkin membuat langkah pertama yang masuk akal sepanjang masa kepresidenannya ketika menarik tentara AS dari Suriah dan mengabaikan lolongan protes imperialis global.

Washington terusir dari Timur Tengah sebagai akibat kegagalan berulang.

Moskow menjadi tujuan baru bagi semua negosiasi orang-orang mengenai Timur Tengah. Arab Saudi, Israel, Qatar dan Turki segera menerima ‘pesan’ tersebut dan berbagai tingkat negosiasi diluncurkan secara langsung atau tidak langsung untuk menyelamatkan secuil pengaruh mereka di Suriah.

Dengan Kongres AS memilih mengutuk tindakan Saudi di Yaman sekaligus menarik dukungan AS untuk nafsu perang MBS yang bagaimanapun telah dinyatakan laknat oleh elit politik dan keuangan Euro-Amerika.

Ketaatan buta pada ideologi neoliberal global yang dikombinasikan dengan kerusakan akibat Trump terhadap teman atau musuhnya bagaimanapun menyebabkan para pemimpin Eropa dan sekutu Timur Tengah menemukan diri mereka berada dalam situasi genting.

Sementara Macron, May, Merkel, Netanyahu dan MBS pasti bakal menahan kemerosotannya, di sisi lain nasib telah tertulis jelas di dinding.[TGU]