Bank Permata Kian Kokoh Dalam Cengkraman Bangkok Bank

Ilustrasi Bank Permata/Bisnis.com

Koran Sulindo – Salah satu aksi korporasi besar yang terjadi tahun 2020 lalu adalah akuisisi Permata Bank oleh Bangkok Bank Public Company Limited. Bank asal negeri Gajah itu membeli 89,12% saham Permata Bank milik PT Astra International Tbk (Astra) dan Standard Chartered Bank (SCB). Aksi korporasi yang sudah bergaung sejak 2019 tersebut resmi dilakukan pada 20 Mei 2020, saat kecemasan akan wabah pandemi Covid-19 masih tinggi-tingginya di Indonesia. Nilai akuisisi saham tersebut saat itu diperkirakan mencapai Rp 41,15 triliun.

Setelah resmi menjadi pemilik mayoritas Permata Bank, Bangkok Bank Public Company Limited kemudian mengintegrasikan anak usahanya di Indonesia yaitu Bangkok Bank Indonesia dengan Permata Bank.  Kemudian, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan izin integrasi No.89/KDK.03/2020 Bangkok Bank Indonesia ke dalam Permata Bank pada 17 Desember 2020, proses integrasi ini berhasil diselesaikan dengan baik pada 21 Desember 2020.

Integrasi ini telah meningkatkan total modal Permata Bank secara signifikan menjadi Rp 42,9 triliun per akhir Desember 2020, naik dari sebelumnya pada akhir Desember 2019 sebesar Rp 23,1 triliun. Peningkatan modal pun membuat rasio kecukupan modal (CAR) Permata Bank melonjak menjadi 35,7% dari sebelumnya 19,89%. CAR Permata Bank ini jauh di atas kondisi rata-rata di industri perbankan Indonesia yang berada di level 24%.

Dengan peningkatan modal ini, Permata Bank juga resmi masuk dalam jajaran bank BUKU IV pada 20 Januari 2021 lalu. Bank lainnya yang masuk dalam jajaran bank BUKU IV adalah BRI, BCA, Bank Mandiri, BNI, Panin, CIMB Niaga, dan Bank Danamon.

Direktur Keuangan Permata Bank Lea Setianti Kusumawijaya mengatakan, walau Permata Bank sudah membukukan modal yang cukup besar dan kuat pada 2020, pada 2021 ini Permata Bank tetap akan melakukan rights issue atau penerbitan saham baru. Manajemen sudah mengumumkan aksi korporasi ini pada 10 Maret lalu melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Tentunya mungkin banyak pertanyaan, mengapa Bank Permata melakukan rights issue? Sebenarnya rights issue ini merupakan kelanjutan dari integrasi yang kami selesaikan di bulan Desember 2020 di mana pada saat itu Bangkok Bank Public Company Limited yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Permata telah menyetor modal sebesar Rp 10,8 triliun. Tentunya dana setoran modal ini harus dikonversikan menjadi modal sasham dan mekanismenya adalah melalui rights issue,” kata Lea pada akhir Maret 2021.

Dus, Lea mengatakan, aksi korporasi ini tidak berdampak siginifikan pada penambahan modal perseroan. Penambahannya hanya berasal dari saham yang ditawarkan kepada pemegang saham minoritas yang jumlahnya hanya 1,3%.

“Dengan adanya rights issue ini maka akan ada penwaran hak untuk memesan efek terlebih dahulu atas kira-kira 88 miliar saham dengan nilai nominal Rp 125 per saham,” ujar Lea.

Nilai nominal Rp 125 per saham tersebut, tambahnya bukan meruapan harga atau nilai dari rights issue. Karena, harga rights issue baru akan ditetapkan setelah memperoleh persetujuan dari regulator dan pemegang saham untuk menyelenggarakan aksi korporasi tersebut.

“Nantinya seluruh dana yang terkait dengan penyelenggaraan rights issue ini termasuk dana yang sebelumnya sudah diinjeksi oleh Bangkok Bank sebesar Rp 10,8 triliun akan digunakan untuk memperkuat struktur permoalan Bank Permata dan juga untuk pertumbuhan bisnis Bank Permata di masa  mendatang,” ujar Lea.

Kinerja Keuangan Solid
Tak hanya permodalan yang kian kokoh, secara bisnis Permata Bank juga mampu menjaga kinerja yang solid pada 2020 di tengah kondisi ekonomi yang lesu akibat pandemi Covid-19. Permata Bank berhasil membukukan pendapatan operasional sebelum pencadangan sebesar Rp 3,8 triliun atau meningkat 23,7% secara tahunan (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini dikontribusikan oleh peningkatan pendapatan bunga bersih sebesar 14,2% dan pendapatan non-bunga sebesar 16,1% yoy. Pencapaian ini diikuti dengan perbaikan rasio marjin bunga (Net Interest Margin atau NIM) menjadi 4,7%, meningkat dari 4,4% di periode yang sama tahun lalu sejalan dengan strategi Bank dalam mengelola struktur likuiditas secara optimum.

Cost to Income Ratio (CIR) tercatat sebesar 58,7%, membaik secara signifikan dibandingkan posisi tahun lalu sebesar 62,4%. Rasio efisiensi tersebut didukung oleh penerapan digitalisasi dalam transaksi perbankan. Transaksi digital dari semua digital channel terutama PermataMobile X dan PermataNET mengalami pertumbuhan signifikan sebesar dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, sedangkan transaksi QR Pay melalui PermataMobile X mengalami pertumbuhan paling tinggi yang mencapai di atas 300%. Untuk mendukung inklusi keuangan dan akselerasi digital guna membantu perekonomian Indonesia di masa pandemi, PermataBank juga telah memberikan layanan PermataQR bagi pelaku usaha terutama sektor UMKM agar dapat menerima pembayaran non-tunai.

Digitalisasi juga terus dilakukan dalam pelayanan kantor cabang dengan semakin bertambahnya Model Branch sebagai salah satu upaya menghadirkan pengalaman perbankan yang seamless dalam pelayanan di luar jaringan dan dalam jaringan.

Pada 2020, total penyaluran kredit tercatat sebesar Rp 118 triliun, meningkat 9,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.  Pertumbuhan kredit ini didukung oleh pengalihan aset Bangkok Bank Indonesia melalui proses integrasi sebesar Rp 17,3 triliun.

Meski peyaluran kredit tumbuh signifikan, kredit bermasalah (NPL) dapat dikelola dengan baik di level yang aman di tengah penurunan kualitas aset di industri perbankan Indonesia. Rasio NPL gross tercatat sedikit meningkat ke level 2,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 2,8% dengan NPL net yang terjaga pada level 1,0% dibandingkan posisi Desember 2019 sebesar 1,3%.

Sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam menghadapi dampak Covid-19, Permata Bank telah mengalokasikan biaya pencadangan penurunan kualitas aset yang cukup signifikan sebesar Rp 2,2 triliun dengan memperhitungkan potensi peningkatan kerugian kredit sebagai akibat dari perlambatan pertumbuhan perekonomian yang berdampak pada profil risiko portfolio kredit. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan rasio NPL Coverage menjadi 239% di akhir 2020, lebih tinggi dibandingkan rasio tahun sebelumnya sebesar 133%.

Likuiditas Bank terjaga dengan baik dibuktikan dengan rasio likuiditas Loan to Deposit Ratio (LDR) tercatat sebesar 79% di Desember 2020 dan rasio CASA meningkat menjadi 51,2% meningkat 54 basis poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Total dana simpanan masyarakat tumbuh sebesar 18,4% yoy, kontribusi terbesar dari pertumbuhan produk giro sebesar 25,3%, diikuti oleh tabungan dan deposito masing-masing 13,5% dan 17,1% yoy.

Setelah berhasil melewati tahun lalu dengan kinerja yang terbilang cukup baik, Lea mengaakan manajemen optimistis tahun 2021 ini bisnis Perseroran juga masih tumbuh positif. Apalagi program vaksinasi saat ini sedang berlangsung dan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sendiri diperkirakan kembali ke teritori positif di level 4%  hingga 5%. “Kami optimis pemulihan ekonomi akan berjalan dengan baik. Itu yang menjadi salah satu faktor pendukung pertumbuhan bisnis Bank Permata di tahun 2021 ini,” ujarnya.

Untuk pertumbuhan kredit pada tahun 2021 ini, Lea mengatakan Permata Bank menargetkan kurang lebih sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia yaitu sekitar 5%-7%. “Target pertumbuhan kredit dan aset Bank Permata kurang lebih akan similar dengan apa yang dicanangkan oleh para regulator tersebut,” ujarnya.

Namun, ditambahkannya, harapannya pertumbuhan kredit Perseroan sedikit lebih baik dari proyeksi BI tersebut, karena Permata Bank bersinergi dengan Bangkok Bank global yang memiliki bisnis yang kuat di segmen korporasi. Selain itu, juga dukungan dari nasabah Bangkok Bank Indonesia yang sudah diintegrasikan ke Permata Bank pada Desember lalu. [Julian A]