Kebijakan energi Indonesia dinilai belum sesuai dengan prinsip keberlanjutan baik dari sisi bisnis maupun pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan. Bank Dunia (WBG) dalam laporannya bulan Desember 2021 meminta Indonesia memperbaiki kebijakan sektor energi.
Salah satu kebijakan pemerintah yang di sorot adalah penerapan subsidi energi batu bara melalui aturan Domestic Market Obligation (DMO). Kebijakan DMO mewajibkan penambang batu bara memasok 25 persen dari produksi tahunan ke Perusahaan Listrik Negara (PLN), dengan harga maksimum US$70 per ton.
Menurut Bank Dunia harga pemerintah jauh di bawah harga pasar saat ini dan ini adalah bentuk subsidi pembangkit listrik tenaga batu bara.
“(Aturan) ini mendorong lebih banyak konsumsi karbon, menunjukkan distorsi harga, sehingga menghambat transisi ke sumber energi yang lebih bersih,” kata Habib Rab, ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia. Menurut Habib hal itu juga mengurangi investasi swasta ke energi terbarukan.
Bank Dunia juga meminta Indonesia mengubah syarat batasan minimum kandungan lokal dalam proyek energi karena dianggap meningkatkan biaya pelaksanaan proyek. Indonesia sebelumnya menerapkan batasan minimum kandungan lokal minimal 40 persen untuk solar panel, dan akan terus dinaikkan.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan WBG, semakin banyak investor swasta terlibat maka semakin besar pengaruhnya untuk transisi energi di Indonesia dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi maupun membuka lapangan kerja.
PLN diminta mandiri
Sorotan WBG di sektor energi juga tertuju pada PLN yang dianggap kurang sehat secara keuangan. Pemerintah diminta untuk mengubah subsidi listrik melalui PLN, sebagai gantinya perusahaan listrik tersebut harus bergantung pada tarif yang dipungut dari masyarakat. Diharapkan ada penyesuaian tarif listrik secara berkala yang diberlakukan secara otomatis.
Selain itu PLN juga disarankan mencari pendanaan mandiri melalui berbagai skema di antaranya penjaminan aset, mencari utang dengan skema green bond, penggunaan jasa transmisi listrik independen (swasta) dan peluang pendanaan karbon.
Perubahan ini menurut WBG akan membuat PLN lebih sehat dan mandiri, tidak lagi bergantung pada pendanaan pemerintah ataupun pendanaan yang memiliki risiko tinggi.
Liberalisasi energi melalui program energi hijau
Secara umum apa yang dikehendaki Bank Dunia melalui program energi hijau adalah liberalisasi energi, yaitu terbukanya penguasaan sektor publik oleh pebisnis swasta dalam dan luar negeri.
Skema pencabutan subsidi sektor penting masyarakat seperti listrik dan mendorong PLN membeli listrik dari penyedia independen apalagi dengan dana “utang hijau” tentunya akan melemahkan kemampuan negara menyediakan listrik murah bagi masyarakat. Liberalisasi energi akan berdampak negatif yaitu tingginya beban masyarakat karena kenaikan tarif listrik.
Pemerintah sebelumnya telah menyampaikan rencana kenaikan tarif listrik pada tahun 2022 berkenaan dengan pengurangan subsidi. Rencana kenaikan tarif itu mendapat reaksi negatif dari masyarakat maupun pelaku industri.
“Dengan situasi seperti ini, bila benar kebijakan tersebut akan diterapkan oleh PLN, ini akan menjadi pukulan dan beban yang sangat berat bagi industri makanan dan minuman. Selama ini, biaya listrik bagi industri di Indonesia terutama bagi industri makanan dan minuman berkontribusi sekitar 3% dari Harga Pokok Produksi (HPP),” ungkap Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman.
Selain itu, lanjut dia, kenaikan TDL akan berpengaruh terhadap rantai pasok keseluruhan, sehingga pemasok juga akan mengalami biaya produksi seperti industri kemasan, plastik, kaleng, gelas, dll, yang mana industri ini lebih banyak meng-konsumsi listrik PLN). [DES]