Bank Dunia: Laporan Internal yang Viral di Media Sosial Dirilis Sebelum Jokowi Dilantik

Ilustrasi/Stluciatimes.com

Koran Sulindo – Bank Dunia (World Bank) menyatakan sebuah laporan internal lembaga itu yang membahas proses perencanaan dan pendanaan infrastruktur di Indonesia yang sedang viral di media sosial telah habis masa berlakunya.

“Laporan ini selesai ditulis pada 2014, sebelum Presiden Joko Widodo dilantik, dan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai keadaan perencanaan dan pembiayaan infrastruktur pada saat itu,” tulis rilis media Bank Dunia di situs resminya, worldbank.org.

Laporan itu sudah tidak terpakai karena tidak mencakup reformasi yang substansial yang telah dikerjakan sejak laporan itu selesai ditulis hampir lima tahun yang lalu – termasuk beberapa regulasi baru yang penting.

Menurut Bank Dunia, laporan itu untuk pengunaan secara internal di Bank Dunia dan merupakan kesalahan administrasi saat diunggah pada disitusnya pada Juni 2018 lalu.

“Laporan ini sudah tidak terpakai karena tidak mencakup reformasi yang substansial  yang telah dikerjakan sejak laporan ini selesai ditulis hampir lima tahun yang lalu – termasuk beberapa regulasi baru yang penting.”

Bank Dunia menyatakan pembangunan infrastruktur merupakan unsur sangat penting untuk kemajuan Indonesia dan layak menjadi pusat dari dialog kebijakan publik di negara ini.

Analisis tersebut termasuk dalam kerjasama antara berbagai kementerian dan instansi kunci Indonesia dan Bank Dunia.

“Juga menjadi hal yang penting bahwa pembicaraan dan diskusi ini berdasarkan pada analisis dan bukti yang terkini.”

Sejarah Bank Dunia

Bank Dunia dibentuk pada 1944 di Britton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, bersamaan dengan pembentukan International Monetary Fund (IMF) dengan promotor dan pendukung utamanya Amerika Serikat dan Inggris.

Tujuan awalnya untuk mencegah terjadinya kembali peristiwa Great Depression pada tahun 1920-an. Saat itu ekonomi mengalami kelesuan pasca Perang Dunia I yang meluluhlantakkan Eropa.

Pada 27 Desember 1944, Bank Dunia kemudian resmi berdiri sebagai badan resmi di PBB dengan fungsi yang sangat berbeda dengan badan lainnya. Setahun setelah dibentuknya Bank Dunia, perang berakhir. Kebangkrutan terjadi di mana-mana. Perbaikan ekonomi pun menjadi mendesak dilakukan.

Negara-negara korban perang, terutama di Eropa, dengan segera membutuhkan aliran dana segar untuk merekonstruksi perekonomian pasca perang. Prancis tercatat sebagai negara pertama yang mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia senilai 250 juta dolar AS. Sejak awal, tujuan utama pembentukan Bank Dunia memang untuk membangun ekonomi di kawasan Eropa pasca Perang Dunia II dengan skema pemberian dana investasi.

Setelah proses rekonstruksi selesai, Bank Dunia memulai peran baru sebagai lembaga pemberi pinjaman uang berbunga rendah untuk negara-negara berkembang yang membutuhkan. Mereka mendanai proyek-proyek di berbagai negara untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, hingga lingkungan hidup. Bank Dunia seringkali memberikan bantuan dalam bentuk dua hal sekaligus: dana pinjaman dan rekomendasi kebijakan, terutama terkait kebijakan keuangan atau yang berhubungan dengan proyek yang didanai.

Sampai dengan sekarang, Bank Dunia sudah beberapa kali melakukan penyesuaian organisasi untuk dapat menjawab tantangan zaman. Saat ini, ada lima sub organisasi di bawah Bank Dunia, yaitu Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), International Development Association (IDA), International Finance Corporation (IFC), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), dan Pusat Internasional untuk Penyelesaian Perselisihan Investasi (ICSID). IBRD berfokus pada skema pemberian bantuan kepada negara-negara berpenghasilan menengah yang layak kredit, sedangkan IDA membantu negara-negara miskin.

Di Indonesia, Bank Dunia mulai berperan saat memberikan pinjaman di awal masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1968. Sebelum memberikan pinjaman ke Indonesia, Bank Dunia terlebih dahulu memberikan bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makroekonomi, kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan pendanaan yang kritis. Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang memiliki nilai credit worthiness yang rendah. Pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali administrative fee ¾ persen per tahun dengan jangka waktu pembayaran 35 tahun dan masa tenggang 10 tahun.

Dana pinjaman pertama yang diberikan kepada Indonesia sebesar 5 juta dolar AS pada September 1968. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan di bidang pertanian, perhubungan, perindustrian, tenaga listrik, dan pembangunan sosial. Tahun berikutnya, Indonesia berhasil menunjukkan performa ekonomi yang memuaskan, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negara peminjam yang lain.

Sejak akhir dekade 70-an Indonesia sudah mulai dianggap sebagai negara yang lebih creditworthy untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia yang konvensional atau dengan menggunakan skema IBRD. Berbeda dari periode sebelumnya, pada dekade 80-an, pinjaman uang Bank Dunia terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor keuangan, selain masih tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor riil.

Sejak 1968 hingga saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan di Indonesia. Sektor yang paling banyak mendapatkan dana pinjaman adalah sektor energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi dana pinjaman selama 20 tahun pertama adalah infrastruktur yang pemberiannya ditujukan kepada masyarakat miskin. [DAS]