Banjir di Bandung Senin (24/10/2016)/ugm.ac.id

Koran Sulindo – Banjir  yang  terjadi  di Bandung, Senin (24/10) lalu disebabkan perubahan  tataguna  lahan  dan  tata  ruang  wilayah  hulu  daerah aliran sungai (DAS)  Citarum. Apalagi topografi drainase kota yang miring mendukung banjir berlangsung lebih cepat.

Lebih-lebih, secara geomorfologi Kota Bandung berupa cekungan yang dikelilingi oleh banyak pegunungan dan daerah aliran sungai di sekitarnya.

Banjir itu merupakan yang paling parah dalam 20 tahun terakhir.

Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI), Prof. Dr. Sudibyakto, menilai banjir itu memang awalnya disebabkan tingkat curah hujan yang berlangsung sangat singkat dengan intensitas sangat tinggi dan merata menyebabkan  debit sungai dan saluran drainase kota terlampaui.

“Sehingga terjadi banjir  besar dan mampu menerjang apa saja yang dilewatinya,” kata Sudibyakto, Selasa (25/10), seperti dikutip situs ugm.ac.id.

Selain perubahan tataguna  lahan  dan  tata  ruang  wilayah  hulu  DAS  Citarum, urbanisasi dan munculnya kompleks perumahan kumuh di sepanjang sungai juga menyumbang debit banjir.

“Hujan dengan intensitas sangat tinggi di atas 60 mm/jam akan menyebabkan  kemampuan lahan tidak  mampu menyerap lebihan air hujan sehingga kapasitas infiltrasi tanah lebih kecil daripada intensitas hujan,” kata Ketua Magister Manajemen Bencana UGM tersebut.

Banjir seperti itu berpotensi terjadi dengan periode berulang dan makin sering terjadi.

”Lebih-lebih ada kemungkinan faktor pengaruh kejadian hujan ekstrim sebagai isu perubahan iklim,” katanya.

Sudibyakto mengusulkan Pemkot Bandung melakukan rencana kontijensi bencana banjir  kota. Sejauh ini, Pemkot Bandung belum membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan instrumen kelembagaan lainnya  yang terkait kebencanaan.

“Review dan evaluasi spasial terhadap rencana detil tata ruang skala besar  perlu dilakukan secara menyeluruh dan bertahap,” kata Sudibyakto.

Disamping itu, penegakan aturan peruntukan lahan adalah keharusan. Perilaku masyarakat kota termasuk para pimpinan wilayah harus berubah menjadi pelaku dalam mengurangi risiko banjir kota secara serentak dan berkesinambungan  dengan fokus pada perbaikan ekosistem kota. [DAS]