Cara Bung Karno memacu semangat kebangsaan rakyat melawan imperialisme/Berdikari Online

Koran Sulindo – Masalah kebangsaan muncul bersamaan dengan perjuangan bangsa dan rakyat dalam rangka pembebasan nasional. Dalam Marxism-Leninism-Maoism Basic Course tentang The National and Colonial Question disebutkan, gerakan nasional paling awal muncul di Eropa Barat. Gerakan nasional itu dipimpin kaum borjuis yang ingin lepas dari belenggu feodalisme.

Gerakan nasional demikian umumnya bukan perjuangan memerdekakan diri dari penindasan oleh bangsa lain. Meski pada masa itu terutama di Eropa Barat, gerakan nasional untuk kemerdekaan dari bangsa lain bisa dilihat di Irlandia yang berjuang membebaskan diri dari Inggris.

Pada masa selanjutnya, gerakan kebangsaan muncul di Eropa Timur bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme. Gerakan dan organisasi kebangsaan mulai tumbuh di Eropa Timur termasuk di Rusia. Adalah Stalin yang kali pertama mencoba menjelaskan masalah kebangsaan. Dalam karyanya Marxism and National Question, Stalin mencoba mendefinisikan apa itu bangsa.

Bangsa, menurut Stalin, bukanlah kesatuan orang secara rasial dan bukan secara kesukuan, melainkan kesatuan orang yang membentuk diri menurut sejarah. Akan tetapi, ada empat syarat utama yang harus dipenuhi menjadi sebuah bangsa yaitu bahasa yang sama, wilayah yang sama, kehidupan ekonomi yang sama dan susunan kejiwaan (psikologis) bersama yang mewujud dalam ciri khas umum budaya nasional.

Stalin karena itu menolak konsep bangsa hanya berdasarkan agama atau budaya seperti orang Yahudi. Masyarakat demikian, kata Stalin, yang memiliki semua karakteristik yang disebutkan itu sebagai sebuah bangsa. Konsep bangsa oleh Stalin ini semakin lengkap ketika Lenin menganalisisnya atas dasar imperialisme terutama dikaitkan dengan masalah hak menentukan nasib sendiri (self determination) yang dilakukan negara-negara jajahan. Untuk negeri jajahan, Lenin mengimbau agar kelas buruh  (proletariat) untuk mendukung penuh pembebasan atau penentuan nasib sendiri tanpa syarat.

Dari pengertian tersebut, lalu bagaimana kita melihat momentum Sumpah Pemuda pada 1928? Momentum tersebut merupakan rangkaian sejarah panjang yang memunculkan kesadaran rakyat akan sebuah bangsa yang sedang dijajah oleh imperialis Belanda. Karena itu, para pemuda itu bertekad untuk bersatu: bertanah air, berbangsa dan berbahasa persatuan Indonesia.

Karena itu, kata Sukatno, Sekjen Pemuda Rakyat dalam pidatonya pada 1963 menyatakan untuk tetap mengagungkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945. Benar yang dikatakan Sukatno itu bahwa Sumpah Pemuda 1928 harus tetap diagungkan karena menunjukkan keberanian para pemuda yang menampar keras pemerintahan Hindia-Belanda pada masa itu.

Maka, tidak berlebihan rasanya, Sumpah Pemuda disebut sebagai tonggak kesadaran dan deklarasi akan kebangsaan paling penting dalam sejarah pra-kemerdekaan. Jadi berbangsa, mengutip Stalin, bukanlah kelompok kebetulan dan kelompok yang berumur pendek. Dengan kata lain, berbangsa itu tidak sekali jadi dan akan terus berproses.

Bung Karno menamainya sebagai nation building. Itu sebabnya, semangat Sumpah Pemuda penting kita warisi untuk hari ini dan masa depan kita sebagai bangsa Indonesia. Terutama untuk cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [Kristian Ginting]