Koran Sulindo – Zaman terus bergerak. Kendati seperti mengulang sejarah, kekuatan politik populisme kini bergerak melanda dunia. Ia muncul seperti penyelamat yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Kemunculannya seringkali disebabkan kebijakan rezim yang menindas dan tersumbatnya partisipasi politik masyarakat.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, membenarkan pendapat tersebut. Populisme sesungguhnya telah muncul sejak ratusan tahun silam, mulai dari gerakan kaum tani, krisis, perwakilan politik, perlawanan terhadap kelas menengah yang mapan, perlawanan berbasis agama, hingga gerakan sosial yang menuntut tatanan baru. Mengutip Fareed Zakaria, kolumnis ternama Amerika Serikat, Faisal menuturkan bahwa populisme merupakan sesuatu yang berbeda dari kelompok yang melawan kekuatan elite yang menguasai politik arus utama.

“Populisme berbicara tentang dirinya dan merasa yang paling mewakili kehendak rakyat untuk menghancurkan segelintir elite,” tulis Faisal, seperti dikutip dari laman resminya.

Populisme muncul untuk membangkitkan semangat masyarakat melakukan perjuangan politik. Di Indonesia – meski bukan sesuatu yang baru – kekuatan populisme dapat dijumpai dalam sosok Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dimulai dari kemenangan pasangan tersebut pada pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012. Kemenangan itu disambut gegap gempita dan diharapkan bisa menyelesaikan persoalan pokok masyarakat Jakarta.

Euforia itu berlanjut hingga Jokowi kemudian terpilih menjadi presiden pada 2014. Jejaknya itu kemudian menjadi contoh bagi para calon kepala daerah di berbagai tempat. Masyarakat menginginkan dan berharap bisa mendapatkan pemimpin seperti pasangan Jokowi-Ahok. Para calon kepala daerah itu menjadikan keduanya sebagai rujukan yang pantas untuk ditiru. Para intelektual pun ikut-ikutan dalam euforia tersebut dan membuka kembali kemungkinan kekuatan populisme mendominasi perpolitikan nasional.

Secara umum, populisme diartikan sebagai yang populer atau dikenal oleh masyarakat. Meski secara akademis terminologi populisme masih sumir. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun lalu menjadi pertanda kekuatan politik populis kini mendunia. Dan Trump menjadi sosok nyata bagaimana gerakan politik populis yang bergerak ke arah konservatif sedang bangkit. Itu diwakili dengan adanya Steve Bannon, tokoh konservatif – cenderung beraliran Neo Nazi – yang  menjadi kepala kampanye Trump selama ini.

Bannon, 62 tahun, memulai karier politiknya dalam waktu yang relatif singkat. Ia kerap bersuara dan mengkampanyekan hak-hak orang kulit putih ketika Amerika Serkat diterpa krisis keuangan pada 2008. Ia mengorganisasi banyak orang untuk menjadi oposisi Barrack Obama. Dibesarkan di Virginia, Bannon pernah bertugas di Angkatan Laut, lalu menyelesaikan pendidikannya  di Harvard Business School. Juga pernah menjadi negosiator untuk akuisisi Goldman Sachs. Ia juga mendukung penuh Sarah Palin, calon Wakil Presiden Partai Republik pada 2008.

Bannon, pemimpin umum Breitbart News, memutuskan non-aktif sementara dan fokus membantu Trump selama musim kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat. Ia termasuk salah satu orang yang paling disukai Trump. Terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke 45, menjadikan Bannon sebagai salah satu orang yang paling mendapatkan keuntungan.

Sejak Bannon memimpin Breitbart News, situs berita tersebut cenderung menjadi media propaganda kelompok konservatif kulit putih. Ia bahkan berani menyebarkan kebencian kepada kelompok muslim dan menuduh Barack Obama sebagai pembawa orang-orang muslim ke negeri Paman Sam. Situs ini kemudian benar-benar ingin menegaskan supremasi kulit putih.

Mengulang Populisme Nazi?
Menurut sosiolog Belanda, W.F. Wertheim, ideologi populistis berpretensi menempa rakyat menjadi suatu kesatuan. Rakyat dipandang tidak terdiri atas kelas-kelas sosial, melainkan sebagai suatu masyarakat ideal yang dijiwai oleh nilai-nilai tradisional seperti saling bantu dan suatu kerja sama memberi dan menerima yang luwes.

Dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1990-an, Gelombang Pasang Emansipasi, Wertheim mengingatkan rezim populis pada umumnya menimbulkan kekhawatiran terhadap para pemilik modal dan kaum kapitalis. Itu, antara lain, karena usaha-usaha pemimpin karismatis untuk memobilisasi dan mendinamisasi masyarakat. Tak hanya melalui berbagai jargon politik, melainkan juga melalui pengorganisasian demonstrasi-demonstrasi massal. Itu dirasakan sebagai suatu ancaman potensial bagi stabilitas internal dan bagi kedudukan kelompok yang memiliki keistimewaan atau kaum tuan tanah kaya.

Terminologi ini, menurut Wertheim, kemudian membuat kesan bahwa pemimpin populis itu berkerabat dengan sosialisme atau komunisme. Itulah persepsi yang menimpa Presiden Soekarno periode 1960-an. Juga menimpa Sun Yat Sen di Tiongkok dan Gandhi di India. Ketiganya getol berjuang menolak kolonialisme berdasarkan prinsip-prinsip nasionalisme. Bung Karno, misalnya, selalu dituding menjadi bagian dari paham yang bagi kalangan neo-imperialis menjadi jelmaan “setan” dan harus dimusnahkan dari muka bumi itu.

Kesan ini diperkuat dengan politik global dimana kekuatan politik populis kerap menyerang kekuatan kapitalisme dan imperialis yang diwakili Amerika Serikat. Kini kekuatan populisme itu juga melekat pada sosok Jokowi — dan tentu saja berbeda dengan Bung Karno —  yang juga kerap dituding atau diisukan “keturunan” komunis oleh lawan-lawan politiknya. Di luar Jokowi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mewujudkan politik populis dengan kerap menyerang Amerika Serikat—yang notabene selama ini merupakan sekutu dekat Filipina– serta memperkuat persekutuannya dengan Tiongkok.

Namun, menurut Wertheim, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kekuatan politik populisme justru sama sekali tidak terkait komunisme. Elan nasionalistis begitu kuat di kalangan massa rakyat dan secara penuh pemimpin populis memanfaatkannya. Tetapi, euforia politik populisme ini –- terutama yang melanda Eropa dan Amerika Serikat – justru bergerak ke arah konservatisme dan cenderung ultra-nasionalis. Terminologi yang mengingatkan banyak orang pada sosok Adolf Hitler dengan Nazi-nya. Itulah yang seakan mewujud pada sosok Trump kini.

Fenomena populisme kontemporer kini menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Terutama di negara-negara Eropa yang mengalami krisis ekonomi yang kemudian berujung penghematan dengan memotong anggaran publik. Populisme, karena itu, merupakan fenomena kompleks yang merupakan produk sosial dan krisis ekonomi. Itu menggambarkan ketidakpuasan atas sistem politik dan ketidakpercayaan terhadap elite politik. Karena itu, akar populisme yang bergerak ke arah konservatisme ini dapat ditemukan di tingkat nasional atau dalam sebuah negara kemudian berlaku juga di tingkat yang lebih luas semisal Uni Eropa.

Sejak munculnya krisis keuangan di Uni Eropa, partai populis mampu membetot perhatian publik bahkan kerap menjadi kepala berita media massa. Kekuatan politik populis baik yang sudah tua maupun yang muncul belakangan menjamur di benua tersebut. Untuk menyebutkan beberapa nama antara lain Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Prancis, kemudian Partai Kebebasan Belanda di bawah Geertz Wilders, Partai Golden Dawn di Yunani, Partai Kebebasan di Austria, dan beberapa partai lainnya.

Tokoh aktivis Malari,  Hariman Siregar, berpendapat serupa tentang kebangkitan politik populisme yang melanda Amerika Serikat dan Eropa saat ini. Ia menganilisis jauh ke belakang tentang kebangkitan politik populisme yang dimulai dari krisis keuangan periode 1930-an di Amerika Serikat. Krisis itu, kata Hariman, menyebabkan sekitar 9.000 bank mengalami gagal bayar, ditambah gagal panen yang terjadi sepanjang periode 1930 hingga 1940. Akibatnya, Amerika Serikat terpaksa menarik uangnya kembali yang dipinjamkan ke sejumlah negara Eropa.

Jerman, sebut Hariman lagi, menjadi negara yang paling menderita akibat krisis keuangan itu. Pasalnya, perekonomian Jerman sangat bergantung kepada Amerika Serikat. Tingkat pengangguran di Jerman meningkat tajam mencapai 6 juta jiwa. Orang-orang yang masih terlihat makmur kebanyakan warga keturunan Yahudi. “Gerakan populisme Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasionalis atau Nazi di bawah Adolf Hitler yang memuliakan ras Aria dan anti-Yahudi menemukan momentumnya untuk bangkit memenangi pemilihan umum,” tulis Hariman dalam pidatonya ketika memperingati Peristiwa Malari, pertengahan Januari lalu.

Seperti partai-partai beraliran Neo-Nazi saat ini, partai Nazi dibawah Hitler awalnya hanyalah partai kecil. Mulanya hanya memiliki 12 kursi di parlemen. Kemudian, pada 1930, Nazi berhasil menempatkan wakilnya dalam pemilu federal sebanyak 107 orang, mengungguli Partai Komunis yang hanya meraih 77 kursi, dan hanya kalah dari Partai Sosial Demokrat yang meraih 143 kursi.

Pada pemilu selanjutnya 1933, Partai Nazi berhasil menyodok Partai Sosial Demokrat dengan meraih 288 kursi (43,91 persen) sehingga mampu menempatkan Hitler sebagai Kanselir. Ia kemudian menggandeng partai-partai yang sealiran untuk menjadi kekuatan mayoritas dan memberangus partai-partai lain. Sejak itu pula perburuan terhadap warga keturunan Yahudi dimulai, karena dianggap licik dan memperkaya diri sendiri.

Menurut Hariman, gejala serupa saat ini semakin menguat selepas krisis keuangan pada 2008 yang masih berdampak hingga hari ini. Peristiwa itu pula yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dan mungkin akan diikuti Prancis. Jargon demokratisasi yang diusung dalam proses demokratisasi sesungguhnya tidak membawa manfaat apapun pada orang banyak justru menciptakan kesenjangan kian melebar. Maka, jangan heran jika nantinya muncul Hitler-Hitler baru di berbagai negara. [Kristian Ginting]