Presiden Joko Widodo mendeklarasikan revolusi mental [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Berbicara tentang pembangunan sebuah nasion, tentu saja tidak semata-mata berkaitan dengan ekonomi dan politik. Tanpa pembangunan kepribadian dalam budaya, boleh dikata bangsa itu sama sekali tak memiliki karakter. Karena itu, kita mengenal konsepsi Trisakti Bung Karno yang masyhur itu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya.

Konsep ini tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Ketiganya saling terkait untuk menjadikan negeri ini menjadi bangsa yang kuat dan memiliki karakter. Lewat itu pula, Bung Karno mengingatkan agar bangsa ini beranjak dan meninggalkan sifat-sifat bangsa kuli, egoisme, ketamakan dan agar rakyat tidak bermalas-malasan.

Akan tetapi, sebelum itu semua tercapai, Bung Karno buru-buru dijatuhkan dari kursi kekuasaannya pada 1965. Dan setelah itu, jangan-jangan seperti kata Bung Karno, kita kini adalah “bangsa kuli atau menjadi kuli bangsa-bangsa lain.” Setelah lebih dari 32 tahun, narasi besar tentang pembentukan karakter bangsa ini kembali mencuat di masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Jokowi membangkitkan narasi yang pernah begitu populer dan menggelora di jiwa rakyat Indonesia. Ia bahkan menjadikannya sebagai visi-misi dan program aksinya ketika berkampanye pada pemilihan presiden 2014. Judulnya menggetarkan karena mengadaptasi konsepsi Trisakti Bung Karno yang tersohor itu: berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

Trisakti pun disebut sebagai solusi atas persoalan bangsa terutama terkait dengan merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Narasi itu lantas disusun dalam agenda yang disebut sebagai Nawacita. Kemunculan seperti yang sudah disinggung, lahir dari tengah-tengah krisis mentalitas yang menerpa bangsa Indonesia. Juga banyaknya permasalahan yang secara nyata dihadapi bangsa dan masyarakat mulai dari korupsi sistematis, lemahnya penegakan hukum, krisis ekonomi, kenaikan harga dan lain sebagainya.

Dari sembilan agenda tersebut, pada poin kedelapan berbunyi “melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.”

Agenda itulah yang kemudian diterjemahkan sebagai revolusi mental. Istilah yang sempat kontroversi itu, juga bukan sesuatu yang baru. Bung Karno telah menjadikannya sebagai prasyarat utama dalam pembangunan nasional. Dalam pidatonya pada 1957, Bung Karno mengatakan, pembentukan national building akan gagal jika tanpa revolusi mental. Pun sebaliknya. Keduanya saling melengkapi.

National building membutuhkan bantuan Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah!” kata Sukarno.

“Kita sekarang ini berada dalam tingkatan kedua daripada Revolusi, yaitu tingkatan nation-building. Tingkatan pertama daripada Revolusi kita ialah tingkatan memecahkan belenggu, tingkatan pemerdekaan, tingkatan liberation.”

Gerakan Revolusi Mental
Pendeknya, revolusi mental resmi menjadi program Joko Widodo. Ia lalu meneken Instruksi Presiden (Inpres) tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental pada 2016. Inpres itu terutama untuk memperbaiki serta membangun karakter bangsa Indonesia dalam melaksanakan revolusi mental. Inpres itu mengacu kepada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya yang bermartabat, modern, maju, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan Inpres tersebut, ada lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental yang harus digalakkan, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.

Setahun setelah peresmian itu, pelaksanaan revolusi mental hanya sayup-sayup terdengar. Programnya pun tidak jelas. Kendati demikian, Jokowi mengaku program revolusi mental itu berjalan secara besar-besaran. Meski program tersebut kurang bergema di publik, Jokowi memastikan, program tersebut tidak sekadar jargon.

“Misalkan untuk anak-anak kelas 1 sampai 2 tahun. Karena di situlah umur emas membangun karakter. Kita lakukan training-training kepada guru PAUD kepada guru TK dan SD,” kata Jokowi seperti dikutip detik.com pada akhir 2017.

Kita tahu tujuan revolusi mental mulia. Semisal, revolusi mental dimaksudkan sebagai proses transformasi pembentukan karakter bangsa melalui pembangunan keluarga. Selain lewat keluarga, juga membangun karakter lewat pendidikan usia dini. Hanya kegiatannya tidak pernah diumumkan ke publik, maka agak sulit menilai praktik nyata program tersebut. Ditambah lagi ketika memasuki tahun keempat pemerintahan ini, pembicaraan pembangunan karakter bangsa lewat revolusi mental itu boleh dibilang semakin hilang dari publik. Jargonnya pun sudah hilang bak ditelan bumi.

Melaksanakan revolusi mental memang tidak mudah. Butuh pemimpin yang punya visi besar tentang sebuah bangsa. Juga sebuah komitmen dan keinginan untuk mengabdi sepenuhnya kepada rakyat sebagai perwujudan kedaulatan, kemandirian dan kepribadian itu. Tentu saja kita pernah punya pemimpin seperti itu. Jangankan pemimpin seperti Bung Karno, pemimpin dengan narasi besar tentang sebuah bangsa saja sulit untuk mendapatkannya saat ini.

Terlebih gagasan Bung Karno mengenai ekonomi terpimpin tidak hanya pemecahan pemecahan persoalan-persoalan ekonomi semata, tapi sekaligus adalah ideologi dan politik dalam melaksanakan pembangunan. Targetnya mencapai masyarakat adil dan makmur.

Belajar dari Kuba dan Tiongkok
Konsep serupa juga pernah diterapkan di beberapa negara seperti Kuba dan Tiongkok. Indonesia mempunyai kesamaan dengan Kuba dan Tiongkok di masa-masa awal berdirinya ketiga negara itu. Ketiganya bercita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur atau disebut sebagai sosialisme sesuai dengan tiap-tiap negeri. Itu sebabnya, pemimpin ketiga negara itu: Bung Karno, Fidel Castro dan Mao Tse Tung bersahabat dan saling bersolidaritas.

Berbeda dengan Indonesia, di Kuba, misalnya, konsep revolusi mental itu boleh dibilang berjalan dengan baik, bahkan hasilnya membuat kita tercengang. Umumnya ketika kita mendengar Kuba, masyarakat akan membayangkan sebuah negeri dengan ideologi “komunis”, terbelakang, miskin, layanan kesehatan dan pendidikannya parah. Akan tetapi, siapa sangka kualitas kesehatan dan pendidikan Kuba merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Bank Dunia mencatat Kuba mengalokasikan 12,8% dari produk domestik bruto (PDB) untuk pendidikan pada 2010. Itu hanya untuk 2010.

Bandingkan dengan Indonesia yang hanya mengalokasikan 3,5% dari PDB untuk pendidikan sepanjang periode 1995 hingga 2015 atau sekitar 20 tahun pada 2009. Besarnya dana pendidikan itu membuat Kuba mampu menjalankan program-program pendidikan yang revolusioner. Di negeri itu, adalah kewajiban negara menyediakan pendidikan gratis kepada warganya dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Karena pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara, maka pemerintah Kuba berupaya menghapus sekat-sekat yang dapat menghalangi rakyat untuk memperoleh pendidikan. Salah satunya adalah dengan menggratiskannya. Itu sebabnya, alasan kemiskinan menjadi tidak relevan untuk tidak bersekolah. Kuba juga menjadi negara yang paling sukses memerangi buta huruf. Organisasi pendidikan di bawah PBB yaitu Unesco menyebutkan dari 125 negara, Kuba berada di posisi ke-10 dalam hal melek huruf untuk orang dewasa.

Bersumber dari lembaga yang sama, data statistik yang dirilis pada 2017 menyebutkan, keterampilan membaca siswa sekolah di Indonesia masih sangat rendah. Selain itu, data United Nations Development Programme (UNDP) juga menunjukkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5%.

Seperti Kuba, Tiongkok pernah mengalami hal serupa di bawah kepemimpinan Mao Tse Tung. Penulis The Unknown Cultural Revolution: Life and Change in a Chinese Village, Dongping Han merekam jejak Mao dalam mewujudkan revolusi mental tersebut. Dalam catatannya berjudul Revolusi Besar Kebudayaan Proletar dan Dampaknya terhadap Pembangunan Tiongkok, ia menuliskan, sebelum meninggal Mao sempat berkata bahwa ia telah mencapai dua hal dalam hidupnya. Pertama adalah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan meletusnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP).

Hasil dari RBKP itu berdampak luas dan mengubah jalan sejarah negeri itu terutama di bidang pendidikan dan demokrasi. RBKP menginspirasi rakyat Tiongkok untuk bangkit dan mendemokratisasi masyarakat. RBKP juga mengilhami generasi muda di Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan lain sebagainya.

RBKP, menurut Dongping Han, pertama-tama dan terutama adalah reformasi pendidikan. Kendati Partai Komunis sudah berkuasa selama 17 tahun ketika itu, sistem pendidikan Tiongkok masih warisan yang lama. Setelah RBKP, mereka yang bisa meneruskan pendidikan tinggi hanya pilihan buruh dan kaum tani setelah dua tahun bekerja di pabrik atau tentara merah. Tak ada lagi tes ujian masuk. Hanya mereka yang benar-benar mengabdi kepada rakyat yang berhak mengikuti seleksi perguruan tinggi.

“Dengan begitu kita akan punya lulusan perguruan tinggi tipe baru yang mengabdikan dirinya untuk melayani rakyat di komunitas mereka. Bukan untuk kemuliaan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Saya selalu berpendapat bahwa siswa perguruan tinggi yang berasal dari buruh, tani, dan tentara adalah mahasiswa terbaik yang pernah dimiliki Tiongkok,” tulis Dongping Han.

Kembali kepada program revolusi mental itu. Mengapa gagasan resmi yang diteken pada 2016 itu sama sekali tidak menginspirasi rakyat untuk bangkit? Jika RBKP terutama mereformasi sistem pendidikan Tiongkok, mengapa pula revolusi mental tak berpengaruh pada sistem pendidikan kita pada masa kini? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini hanya Jokowi yang bisa menjawabnya. [Kristian Ginting]