Koran Sulindo – Arab Saudi meyakinkan sekutu regionalnya bahwa mereka bakal terus mendukung rencana perdamaian Timur Tengah termasuk di dalamnya status Jerusalem dan hak pengungsi Palestina untuk kembali.
Menurut laporan media Israel, Haaretz mengutip dua diplomat senior, Raja Salman mengatakan kepada pemerintahan Trump bahwa Riyadh tak akan mendukung rencana perdamaian Israel-Palestina jika tak membaas Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina.
Sementara itu menurut laporan, Reuters Raja Salman berusaha keras untuk meyakinkan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bahwa mereka mendukungnya.
Duta besar Palestina untuk Riyadh, Basem Al-Agha menyebut kepada Abbas Raja Salman mengatakan, “Kami tidak akan meninggalkan Anda. Kami menerima apa yang Anda terima dan kami menolak apa yang Anda tolak.”
Kepada Reuters diplomat itu juga menyebut Raja Salman menegaskan status dan hak-hak pengungsi Palestina kembali ke tanah air bakal kembali dibahas pada Konferensi Liga Arab 2018 yang bertajuk “The Jerusalem Summit”.
Pada kesempatan itu Raja Salman juga mengumumkan bakal mengucurkan bantuan senilai US$ 200 juta yang diperuntukkan bagi orang-orang Palestina.
Sejauh ini pihak berwenang Saudi belum mengomentari laporan-laporan media itu.
Jika laporan-laporan itu benar pendekatan Saudi ini bertentangan dengan laporan sebelumnya yang menyebutkan Riyadh bersedia dan mendukung ‘Kesepakatan Abad Ini’.
Kesepakatan yang diusulkan Jared Kushner, penasihat senior Presiden Donald Trump itu bahkan ditolak oleh orang-orang Palestina sendiri. Mereka menolak mediasi Washington karena keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Bulan lalu, Hayom koran harian Israel melaporkan kesepakatan Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir dan Yordania. Mereka memberikan lampu hijau pada usul Kushner itu dan tak mempedulikan boikot yang dilakukan Otoritas Palestina.
“Jika Israel tetap ngotot dengan rencana yang tak melibatkan Yerusalem dan pengungsi, itu akan menjadi gempa bumi yang dampaknya bakal merusak stabilitas di seluruh wilayah dan tidak ada yang siap untuk itu,” tulis Hayom mengutip seorang pejabat Israel.
Menurut The New York Times waktu itu putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menekan Abbas untuk menerima rencana perdamaian Trump itu. Penolakan Abbas itulah yang belakangan memicu krisis antara Otoritas Palestina dan Riyadh.
Dalam beberapa tahun terakhir, Israel yang terus melancarkan operasi-operasi terhadap warga Palestina yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat telah mengakibatkan kematian ratusan orang tak bersalah termasuk anak-anak, paramedis dan bahkan wartawan.
Buah dari ngototnya sikap Tel Aviv itu, Israel menuai kecaman serius masyarakat internasional sekaligus menguatkan tekanan kepada AS untuk menghentikan genosida itu.
Kekerasan memuncak ketika akhir tahun lalu Trump memutuskan untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke kota itu.
Keputusan Trump itu memicu gelombang kekerasan di perbatasan Israel-Gaza dan memanen reaksi keras dari negara-negara Muslim dan mereka yang mendukung solusi dua negara Israel-Palestina.
Menurut Aaron David Miller, mantan pejabat AS yang terlibat intens dalam perundingan Israel-Palestina kepada Haaretz mengatakan bahwa perubahan posisi Saudi itu mestinya tidak mengejutkan.
Menurut Miller keinginan Saudi bekerja sama dengan Israel untuk membendung pengaruh Iran tidak berarti mendukung inisiatif perdamaian yang merugikan orang Palestina. Bagaimanapun sikap itu merupakan posisi tradisional orang-orang Arab di Timur Tengah.
Orang-orang Arab tradisional, termasuk Saudi, sejauh ini tetap berpegang pada pemahaman umum tentang hak orang Palestina pada tanah air mereka yang diduduki oleh Israel. [TGU]