Koran Sulindo – Dikenal sebagai pelaut dan pengarung samudera yang tangguh, Suku Bajo atau Bajau masih gelap asal-usulnya.
Selama puluhan tahun terakhir, ilmuwan masih terus bertanya-tanya tentang asal-usul mereka. Toh, meskipun dikenal nomaden mereka tetap mempunyai asal-usul.
Sebuah teori menyebut orang Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Klaim ini didasarkan pada legenda tentang Puteri Johor.
Menurut cerita itu di masa lalu orang Bajo dan Bugis sudah mendiami wilayah itu hingga suatu ketika Puteri Johor dikabarkan menghilang.
Dianggap sangat mengenal laut, orang-orang Bajo-lah yang kemudian diperintahkan untuk mencari sang puteri dengan ancaman tak boleh kembali sebelum ditemukan. Dari kisah itulah pengembaraan laut orang Bajo dimulai. Tak menemukan sang puteri, mereka tak pernah kembali ke Johor.
Namun, teori ini sangat lemah karena hanya mendasarkan pada dongeng sebagai sumbernya. Tanpa ada bukti arkeologi atau bahasa, klaim itu itu masih dipertanyakan.
Pendapat lain menyebut, asal-usul orang Bajo adalah orang-orang yang hidup di muara Sungai Barito. Teori ini didasarkan pada kesamaan bahasa Dayak Ngaju dan Sama Bajau yang dianggap mirip.
Mereka diperkirakan mulai melaut sejak abad 8 seiring dengan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya. Mereka adalah pendukung utama perdagangan laut Sriwijaya yang mengangkut barang-barang hingga ke China.
Mereka mendukung tugas itu hingga akhir masa kejayaan Sriwijaya dan berpindah lebih ke utara di sekitar perairan Sulu, Filipina. Mereka tinggal lebih lama di daerah ini dan kembali menjelajah lautan sekitar abad 14.
Ketika Islam menyebar di wilayah ini di abad 15, orang-orang Bajo kembali bermigrasi ke selatan dan mendiami wilayah Kalimantan hingga Sulawesi. Berikutnya, mereka berpindah lebih ke selatan dan menyebar lebih luas hingga Nusa Tenggara. Namun semua pendapat itu bagaimanapun masih berupa hipotesis.
Pengungkapan asal-usul Orang Bajo menjadi hal penting untuk memberi gambaran utuh tentang migrasi orang-orang Austronesia termasuk orang Indonesia dan ketangguhan mereka mengarungi laut.
Sejak era prasejarah penduduk pulau-pulau di tenggara benua Asia sudah terlibat dalam sebuah jaring perdagangan yang rumit dan berkelindan. Penghuni pulai berlayar dari dari kampung ke kampung untuk memenuhi kebutuhan dan ketentuan adat masing-masing.
Umumnya, jaringan atau jalur pelayaran antara kampung-kampung itu membangun sebuah jaringan komunikasi yang mempersatukan sebuah wilayah perairan tertentu. Pola serupa juga ditemui di kepulauan-kepulauan yang tersebar di seluruh Samudera Pasifik.
Di Nusantara, orang-orang Bajo tak hanya menyebar di kawasan timur Indonesia namun juga mencakup pantai Sabah dan wilayah perairan Filipina sekarang. Menakjubkan mengingat sarana pelayaran yang pada waktu itu masih sangat sederhana.
Sumber tertua tentang model pelayaran orang Bajo ini ditulis Tom Pires pada dekade ke dua abad 16 yang mengatakan mereka berlayar atau merompak sampai Pegu di sebelah barat dan Maluku serta Banda di timur. Tak hanya mengelilingi pulau-pulau di sekitar Jawa, mereka bahkan mengelilingi Sumatra.
Komoditas dagangan mereka atau hasil rampasan mereka umumnya dibawa ke wilayah Jumaia di Pulau Tujuh di wilayah Natuna. Hampir bisa dipastikan pengetahuan orang-orang Bajo tentang jalur-jalur pelayaran itu mencakup seluruh perairan di Asia Tenggara.
Pengetahuan itulah yang menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Bahari diwariskan oleh orang Bajo kepada pelaut-pelaut Melayu ketika mereka meneruskan perdagangannya ke timur. Hingga pada akhir abad 16, orang Melayu sudah dikenal sebagai pedagang di Sulawesi Selatan.
Bahkan kemungkinan besar, kemahiran dan keahlian navigasi jaringan perdagangan orang Bugis diturunkan dari pengetahuan orang Bajo. Mereka tersebar dari wilayah Butuan di pantai utara Mindanao hingga kepulauan Maluku sebelum akhirnya sampai di Bugis dan menetap di Teluk Bone.
Warisan inilah yang akhirnya membuat pelayaran orang Bugis meliputi seluruh Nusantara seperti yang dilukiskan dalam peta mereka yang terkenal itu.
Belakangan, prosesnya menjadi terbalik ketika orang-orang Bajo mengikuti jalur pelayaran orang Bugis ke perairan Australia. Catatan tertua kehadiran orang-orang Bajo di wilayah selatan ini ditulis oleh VOC pada tahun 1725.
Namun yang paling menarik justru kenyataan bahwa tempat-tempat orang Bajo sekarang di masa lalu merupakan pangkalan-pangkalan lanun di abad 19. Ini membuka peluang bahwa jaringan operasi perompak lanun dari Filipina selatan itu memanfaatkan jalur pelayaran yang sebelumnya dirintis oleh orang Bajo.
Di abad ke-16, bagaimanapun telah berkembang banyak jaringan pelayaran di Nusantara. Selain di usahakan sendiri oleh para pelaut-pelaut Nusantara, jaringan itu tumpang tindih dengan jejaring kapal-kapal asing.
Pelaut-pelaut Tionghoa dari Cina Selatan atau pelaut Ryukyu dari Okinawa dan pedagang dari negeri atas angin seperti Arab, Persia, Koromandel dan Gujarat diketahui ikut meramaikan jalur bahari di Nusantara. Belakangan, pelaut-pelaut Eropa ikut terlibat membangun jaringannya masing-masing.[TGU]