Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) juga mengirimkan resolusi kepada pemerintah RI. Isinya antara lain menuntut agar pemerintah secara resmi menghapuskan kewajiban menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, sebab kewajiban menggunakan bahasa Belanda mengakibatkan kemunduran pendidikan nasional. Secara tegas IPPI menuntut agar perkuliahan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dan menuntut agar pemerintah menyediakan buku-buku dalam bahasa Indonesia di perguruan tinggi serta mendirikan “Panitia Penilikan isi-isi buku pelajaran” yang diterjemahkan dari bahasa Belanda serta tidak mengangkat guru besar yang tidak dapat berbahasa Indonesia.
Akhirnya Bahder Djohan mengundang para mantan Menteri PP&K dan para ahli pendidikan, bahasa, dan sastra untuk berkumpul membahas dan mendiskusikan permasalahan bahasa Belanda sebagai pengantar di perguruan tinggi. Setelah terjadi pembicaraan dan diskusi, pertemuan itu akhirnya mengajukan tiga rekomendasi kepada menteri.
Pertama, pada masa kolonial, penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar mulai dari HISIELS, MULO, sampai tingkat perguruan tinggi, juga digunakan sebagai bahasa percakapan setiap hari, sehingga para pelajar praktis fasih berbahasa Belanda. Namun dalam kenyataannya masih ada mahasiswa yang tidak lulus ujian. Jika bahasa Belanda terus dipertahankan sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, akan muncul kesukaran karena pada masa kini tidak lagi menjadi bahasa percakapan sehari-hari.
Kedua, buku-buku teks dalam bahasa Belanda umumnya merupakan terbitan sebelum perang dunia. Oleh karena itu sebaiknya yang akan dijadikan buku-buku teks atau acuan yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku-buku yang lebih mutakhir sepeti yang diterbitkan di Inggris atau Amerika Serikat.
Ketiga, untuk sementara waktu, boleh saja bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar karena bahasa Inggris praktis lebih luas penggunaanya dan juga lebih mudah dipelajari daripada bahasa Belanda. Namun untuk jangka panjang sebaiknya digunakan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa perjuangan dan bahasa persatuan. Kalau perlu, seluruh pegawai diwajibkan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, yang akan berpengaruh positif pula pada perkembangan kebudayaan Indonesia.
Kabinet Wilopo relatif berkuasa lebih lama dibandingkan dengan kabinet-kabinet parlementer pendahulunya. Walaupun begitu, kurun waktu yang hanya 30% dari yang seharusnya membuat kabinet ini pun tidak mampu menyelesaikan program kerjanya secara baik, termasuk program kerja kementerian PP&K. Pada tanggal 2 Juni 1953 muncul mosi tidak percaya dari DPR sebagai buntut peristiwa Tanjung Morawa. Perdana Menteri Wilopo akhirnya mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
Setelah berhenti sebagai Menteri PP&K pada Kabinet Wilopo, Bahder Djohan kembali ke profesi semula di bidang kesehatan. Pada tahun 1953 ia diangkat menjadi Direktur Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) — kini RS Cipto Mangunkusomo (RSCM). Di samping itu ia juga diangkat sebagai guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Pada tahun berikutnya ia diangkat menjadi Presiden (Rektor) UI, sehingga jabatan direktur pada RSUP dilepasnya.
Baca juga: RSUP Merawat Bayi Republik Indonesia
Kedudukan sebagai Presiden UI diemban tidak sampai masa jabatan berakhir. la melepaskan jabatan itu sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan konflik PRRI/ Permesta. la menolak penyelesaian secara militer. la berusaha menemui para pejabat yang berwenang dalam masalah itu, seperti jenderal A.H. Nasution, bahkan juga Presiden Soekarno. Namun upaya untuk bertemu tidak pernah tercapai. Karena pemerintah tetap melaksanakan penyelesaian PRRI/ Permesta secara militer, maka pada bulan Februari 1958 Prof. Dr. Bahder Djohan melepaskan jabatan sebagai Presiden/ Rektor UI. Tak lama setelah meletakkan jabatan sebagai rektor, Bahder Djohan mengajukan permohonan pensiun sebagai pegawai negeri sipil.
Pengabdian Setelah Pensiun
Sesudah pensiun dan hidup sebagai warga biasa, ia tidak membuka praktik dokter di rumahnya seperti umumnya para dokter waktu itu. Meskipun demikian, kalau ada orang sakit yang datang ke rumahnya meminta bantuan, dengan senang hati ia membantu. Untuk pertolongan semacam itu ia tidak mau dibayar. Sampai dengan akhir masa “Demokrasi Terpimpin”, Bahder Djohan praktis hidup sederhana dengan uang pensiunnya. Baru pada tahun 1966 perusahaan Panca Niaga yang berkantor di Gedung CTC, jalan Kramat Raya, memintanya berpraktik sebagai dokter perusahaan. Tawaran ini pun diterima dengan senang hati.
Pada akhir tahun 1968 pimpinan Universitas Ibnu Khaldun (UIK) menghubungi Bahder Djohan dan memohon kesediaannya menjadi Rektor UIK, karena rektor lama, yaitu Prof Nasrun S.H., meninggal dunia. Setelah membicarakannya dengan seksama, Bahder Djohan menerima tawaran itu sehingga sejak tanggal 10 Maret 1969 Prof. Dr. Bahder Djohan resmi menjadi Rektor UIK. Salah satu motivasi yang mendorong ia menerima tawaran itu karena melihat kondisi perguruan tinggi Islam umumnya tertinggal oleh perguruan tinggi swasta lain. Untuk mengubah hal ini maka memerlukan waktu dan tekad yang kuat.
Upaya yang dilakukan oleh Bahder Djohan memajukan UIK selama kepemimpinannya memang tidak sia-sia. Walaupun perkembangannya tidak secepat universitas swasta lain, namun perubahan yang ada, membuat semua fakultas di lingkungan UIK, kecuali fakultas kedokteran, diakui oleh Kopertis Wilayah II.
Selain mengabdi di dunia pendidikan masih banyak kegiatan yang dilakukan dalam mengisi masa pensiunnya, seperti membantu Centre for Minangkabau Studies pimpinan Muchtar Naim M.A., serta menjadi Steering Committee Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau. Sampai akhirnya pada 8 Maret 1981, Bahder Djohan meninggal dunia di Jakarta dalam usia 78 tahun karena penyakit jantung. [Ahmad Gabriel]