Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) merupakan bagian perang imperalisme dunia. Bagi rakyat Indonesia, TPP merupakan ancaman daripada berkah.
Koran Sulindo – Sepertinya tak lama lagi Indonesia akan masuk dalam Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Persiapan ke arah itu dilontarkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika mengunjungi Jepang, pekan lalu.
Keinginan itu disampaikan Airlangga secara langsung kepada Wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang, Takumi Ihara. Selain bertemu Ihara, Airlangga juga sempat bertemu dengan Ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang, Toshihiro Nikai, dari Liberal Democratic Party (LDP). Partai itu disebut akan menyiapkan tim khusus untuk membantu Indonesia mempersiapkan diri bergabung dalam TPP. “Tim ini akan membantu Indonesia dalam menyusun roadmap untuk persiapan tersebut,” kata Airlangga, dalam keterangan tertulisnya pertengahan Oktober 2016.
Selain membahas TPP, pertemuan tersebut juga membahas tiga hal penting. Pertama, tentang rencana Japan External Trade Organization (JETRO) menyusun peta jalan jangka panjang dalam pengembangan industri cetakan untuk alumunium di Indonesia. Peta jalan ini, kata Airlangga, akan memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu rantai pasok global.
Selanjutnya, mereka membahas penerapan pajak di Indonesia yang diusakan bisa mendorong investasi pelaku industri Jepang. Terakhir, rencana penyesuaian tarif bea masuk produk otomotif Jepang, khususnya untuk bahan baku. Dan ini akan dibahas secara khusus.
Kali pertama gagasan masuk TPP mencuat ketika Presiden Joko Widodo berkesempatan mengunjungi Amerika Serikat (AS) dan bertemu dengan Presiden Barrack Obama, Oktober tahun lalu. Jokowi beralasan keikutsertaan Indonesia dalam TPP akan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional yang terus melambat.
Selanjutnya, Jokowi juga menyinggung TPP ketika hadir dalam acara Kongres Persatuan Insinyur Indonesia pada Desember 2015. Ia menyarankan agar Indonesia bersiap-siap berkompetisi dalam pasar bebas dan di TPP.
Obama dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi AS-Asean pada tahun lalu menyinggung soal TPP. Beberapa negara Asean seperti Singapura, Vietnam, Malaysia dan Brunei yang tergabung dalam TPP disebut Obama sebagai negara berkelas. Negara-negara tersebut memiliki komitmen dan berstandar tinggi dalam hal buruh dan lingkungan. Akan tetapi, Obama sama sekali tidak menjelaskan manfaat TPP bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
“Bersama kita bisa melanjutkan untuk mendukung aspirasi dan martabat masyarakat kita,” kata Presiden Obama.
Gagasan pembentukan TPP bukannya tanpa tantangan. Akhir tahun lalu, lebih dari 10 ribu orang di Filipina menolak berbagai skema perdagangan bebas. Massa yang terdiri atas berbagai organisasi rakyat yang berasal dari kaum buruh, intelektual, mahasiswa, kaum tani dan lain sebagainya ini memenuhi ruas jalan utama kota Manila. Ketika itu sedang berlangsung perhelatan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang juga menyisipkan isu tentang Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Ribuan rakyat ini menolak berbagai skema perdagangan bebas tersebut karena dianggap hanya menguntungkan negara-negara maju yang dikepalai AS. Massa itu menyebut negeri Paman Sam itu sebagai imperialis. Massa menganggap APEC dan juga TPP adalah sampah.
Selain Filipina, penolakan serupa juga terjadi di Jepang, Malaysia, Peru, Selandia Baru dan bahkan di AS. Aksi ini menyedot perhatian media massa karena demonstrasi melibatkan massa luas dan besar. Di Peru, misalnya, aksi massa rakyat menolak TPP itu disambut dengan kekerasan oleh aparat kepolisian. Rakyat Peru menyebut TPP hanya akan membawa penderitaan dan pengangguran. Dan yang lebih penting, rakyat Peru tak ingin lagi menjadi daerah jajahan AS.
Di Indonesia, penolakan terhadap TPP juga terjadi. Meski kecil, penolakan itu muncul dari Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS) Indonesia, Front Perjuangan Rakyat, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Resistance Alternatives to Globalization. Penolakan ini dilakukan dengan menggelar diskusi di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Desember tahun lalu. Poinnya, lembaga-lembaga ini sepakat TPP hanya akan mendatangkan penderitaan bagi rakyat.
Suasana nyaris serupa juga terjadi di Nairobi, Kenya pada tahun yang sama. Kali ini ribuan rakyat di Kenya menolak perhelatan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-10. Rakyat menolak WTO, APEC dan TPP karena hanya menjadi alat negara seperti AS untuk menguasai dunia. WTO, misalnya, kendati kerap mengkampanyekan tentang “pembangunan”, kenyataannya selama dua dekade ini justru mendatangkan penderitaan dan kerusakan lingkungan di berbagai negara terutama negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia.
Selama 20 tahun ini, melalui WTO, perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional menjarah kekayaan negara-negara berkembang dan membuat miliaran rakyat miskin, kelaparan, pengangguran serta menciptakan kerusakan lingkungan. Meski faktanya demikian, akan tetapi, Indonesia melalui pemerintah tetap memutuskan untuk masuk dalam skema TPP.
Perang Imperalisme Dunia
Lantas mengapa jutaan rakyat, termasuk di AS menolak TPP? TPP merupakan model kesepakatan kerja sama perdagangan yang memiliki standar paling tinggi saat ini karena memuat poin-poin yang lebih liberal dibandingkan skema WTO. Karena itu, TPP juga kemudian disebut sebagai “WTO plus”. Hal-hal yang diatur dalam TPP seperti Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Kebijakan Kompetisi (Competition Policy) dan Belanja Pemerintah (Government Procurement) serta fasilitas perdagangan hingga poin perselisihan negara dan investor (Investment-State Disputed Settlement).
Sejak awal skema blok perdagangan bebas regional ini digagas Amerika Serikat karena menyangkut perdagangan barang, jasa dan investasi. Selain AS, TPP beranggotakan Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam. TPP merupakan perjanjian perdagangan yang paling diimpikan AS dan selama ini dikampanyekan melalui OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
Lewat TPP, AS akan berupaya untuk terus mengontrol perkembangan pasar di Asia. Juga sekaligus untuk memenangi kompetisi atau pertarungan dengan negara maju (imperialis) lainnya yang juga berniat menguasai pasar Asia. Pertarungan ini tidak lain karena dianggap sebagai jalan keluar untuk mengurangi dampak krisis keuangan global sejak 2008.
Pertumbuhan ekonomi AS sejak 2008, menukik tajam tak terkendali. Pada 2014, misalnya, pertumbuhan eknominya hanya mencapai 2,2 persen atau turun jika dibandingkan dengan empat kuartal sebelumnya pada 2013 yang mencapai 2,6 persen. Konsumsi rakyat AS mengalami penurunan 0,7 persen dan merupakan penurunan terbesar sejak 2008.
Bagi AS dan negara-negara maju lainnya di Eropa, Asia merupakan pasar yang sedang tumbuh sehingga menjadi peluang besar untuk mengekspor modal, barang dan jasa negara-negara maju tersebut.
Asia-Pasifik terutama Amerika Selatan dan Asia merupakan tempat berkumpulnya negara-negara yang selama ini disebut sebagai emerging country dan emerging market. Negara-negara itu antara lain Brasil, Tiongkok, India, Indonesia, Meksiko dan Vietnam.
Lembaga think-thank The Brookings Institution dalam risetnya menyebutkan, kesepakatan TPP secara ekonomi akan mendatangkan keuntungan US$ 5 miliar bagi AS pada 2015. Kemudian, keuntungan ini akan bertambah menjadi US$ 14 miliar pada 2025 sebagai dampak dari liberalisasi perdagangan melalui perjanjian TPP.
Mengenai soal ini, Jane Kelsey, profesor di Universitas Auckland, Selandia Baru menyebutkan WTO dan TPP merupakan bagian dari kompetisi negara-negara imperialis. Yang paling terlihat dalam 10 tahun terakhir adalah kompetisi antara AS dan Uni Eropa untuk mengamankan perjanjian strategis perdagangan bebas. Kompetisi ini bukan berarti mereka akan saling “mematikan”, tapi hanya untuk memastikan wilayah-wilayah yang selama ini di bawah kontrol mereka tetap terjaga.
Hari ini, kata Kelsey, persaingan imperialisme terutama dalam TPP merupakan bentuk keputusasaan Amerika Serikat untuk mencegah perluasan pengaruh dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. Itu tampak dari agresivitas AS dalam TPP, padahal bukan negeri pendiri.
Ancaman Bagi Rakyat Indonesia
Lalu bagaimana pula dampak TPP bagi Indonesia? Aktivis ILPS Indonesia Harry Sandy Ame menuturkan, TPP sejatinya adalah skema imperialis untuk berupaya melepaskan diri dari krisis yang kian menggerogotinya. Itu sebabnya, TPP ini bukanlah sebuah isu dan ancaman baru bagi rakyat terutama di Indonesia.
Seperti Kelsey, Sandy menyebutkan TPP ini hadir akibat dari keputusasaan imperialis AS karena penumpukan barang dan modal di dalam negeri akibat stagnasi perdagangan bebas melalui berbagai kerja sama global. Sementara di sisi lain, kelebihan produksi mengakibatkan menurunnya keuntungan karena minimnya daya beli rakyat.
Negeri Paman Sam itu, lewat skema TPP, akan memaksa negara-negara anggotanya untuk berkompetisi dalam hal produksi dan perdagangan. AS akan menjadikan negara-negara anggota TPP sebagai lahan pengerukan sumber-sumber bahan mentah, produksi barang dan sekaligus sebagai pasar utama perputaran barang tersebut secara bebas. Sayangnya, negara-negara ini sepenuhnya berada di bawah dominasi dan intervensi imperialisme AS. Pasalnya, pemimpin negara-negara tersebut merupakan boneka, hamba, kaki tangan dan pelayan setia imperialisme AS.
Kendati dalam situasi krisis mematikan seperti saat ini, menurut Sandy, AS, melalui skema TPP, sama sekali tidak berniat untuk membangun industri atau berproduksi. Imperialisme lebih memilih mengekspor kapital terutama melalui penanaman modal dan utang. Untuk memastikan tujuan tersebut, maka diperlukan perjanjian seperti TPP untuk melegalkan dominasi dan intervensi terhadap pemerintah yang menjadi bonekanya.
Sandy menuturkan, negara-negara berkembang dalam program pembangunan nasionalnya secara penuh bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing. Karena itu, pemimpin-pemimpin negara berkembang didominasi dan dapat didikte untuk mengikuti kesepakatan WTO ataupun mau bergabung dalam TPP. Bahkan, AS melalui pemerintahan bonekanya mampu menggerakkan mesin negara seperti militer, polisi dan paramiliter untuk memastikan tujuannya itu.
Dengan demikian, kata Sandy, perjanjian kerja sama TPP ini sama halnya dengan skema imperialisme lainnya yaitu Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), WTO, APEC bahkan PBB sekalipun. Lembaga-lembaga ini hanya menjadi mesin pemaksa berlanjutnya penghisapan dan penindasan atas rakyat di berbagai belahan dunia.
“Karena itu, keinginan Jokowi untuk bergabung dalam TPP adalah ancaman nyata bagi rakyat Indonesia,” kata Sandy.
Selain memperluas pengerukan sumber daya alam dan penghisapan terhadap rakyat, dampak yang paling nyata jika Indonesia bergabung TPP adalah meningkatnya fasisme pemerintahan Jokowi. Itu karena harus memastikan aturan Indonesia tidak bertentangan dengan TPP. Pemerintah akan mengakomodir dan menjamin keamanan bagi penanaman modal, termasuk dari ancaman gerakan demokratis di Indonesia. [Kristian Ginting]