Suluh Indonesia – ”Ni Tis, mo mana ke ?”
”Mo belanja”
”Mana?”
”Kede, mo titip apa ke ?”
”Nda aku sangka mo pigi pasar, aku mo titip bayam”
Di atas adalah Bahasa Tansi, atau mungkin lebih dikenal sebagai bahasa Slunto atau yang disebut juga sebagai bahasa Tangsi, kita-kira begini artinya;
“Kak Tis, mau (ke)mana kamu?”,
“Mau (ber-)belanja”,
”Kemana?”,
“Kekedai. mau (men-)titip apa kamu?”,
“Tidak, aku sangka mau pergi pasar, aku mau (men-)titip (sayur) bayam”.
===
Bahasa Tansi (atau Tangsi) secara kualitatif baik dalam unsur sejarah, sosial, dan budaya merupakan bahasa kreol (creole atau bahasa kacukan adalah keturunan dari bahasa pijin yang menjadi bahasa ibu bagi sekelompok orang yang berasal dari latar belakang berbeda-beda) yang berasal dari kelompok sosial terbawah di dalam struktur sosial kolonial di Sawahlunto.
Secara teoritis, Bahasa Tansi atau bahasa Slunto pada awalnya merupakan bahasa pijin (adalah bahasa yang berasal dari bahasa yang berbeda-beda dan tidak memiliki penutur bahasa ibu) karena bahasa tersebut poli genetik, berasal dari campuran beberapa bahasa buruh tambang dari berbagai etnis, seperti Minangkabau, Jawa, Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan Batak, dengan bahasa dasar bahasa Melayu, bahkan terdapat bahasa Belanda.
Sejalan dengan perkembangan waktu, bahasa Tansi di kota Sawahlunto terus digunakan selama lebih dari 100 tahun. Bahasa tersebut diketahui dilatari oleh perburuhan tambang batu bara pada zaman Belanda sekitar abad ke-19.
Elsa Putri Ermisah Syafril dalam disertasinya yang berjudul “Bahasa Tansi di Kota Sawahlunto” dalam ujian terbuka Program Doktor lmu-ilmu Humaniora (Linguistik) di, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menyatakan bahwa bahasa Tansi merupakan satu bahasa kreol dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman. Temuan ini selain menjadikan bahasa Tansi sebagai bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman, juga membuka katup kemungkinan bahwa bahasa kreol di Indonesia bagian barat tidak identik dengan latar belakang perniagaan dan berada di wilayah pesisiran.
Penelitian tersebut, menurut Elsa, secara khusus telah memunculkan kesadaran masyarakat Sawahlunto terhadap identitas mereka dan berpartisipasi untuk menemukan identitas tersebut, serta menemukan kenyataan bahwa mereka adalah bagian masyarakat plural dan multi etnis.
Pencampuran bahasa Tansi yang berasal dari berbagai daerah jelas terlihat, seperti contohnya pada penggunaan kata untuk orang yang lebih tua. Misalnya adalah ’ni’, yang merupakan kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua, berasal dari bahasa Minang ’uni’ yang mempunyai arti sama. Lalu ada kata ‘mas’ kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua dalam bahasa Jawa.
Kemudian juga kata ’kang’, kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua, yang berarti kakak laki-laki baik dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Ada pula kata ‘bli’ (baca: beli) merupakan sapaan untuk laki-laki yang lebih tua atau kakak laki-laki dalam bahasa Bali.
Juga ada kata ’deyeng’ (baca: deyen) adalah kata yang berasal untuk sapaan kakak laki-laki dalam bahasa Bugis yaitu ’daeng’. Ada lagi kata ‘incek’ (baca: ince) merupakan kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua atau kakak perempuan dalam bahasa Cina dan ’koko’ adalah kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua, juga dalam bahasa Cina.
Terdapat juga kata sapaan ’ke’ yang diasumsikan berasal dari bahasa Jawa yaitu ’koe’ (baca: kowe). Selain kata sapaan tersebut, juga terdapat beberapa kata, seperti ’kede’ (baca: kade) dalam bahasa Melayu yang berarti ’warung’. Lalu ’cemana’ yang artinya ‘bagaimana’dan ’kerna’ yang dalam bahasa Melayunya berarti ’karna’ atau ’karena’.
Baca juga ORANG RANTAI (Seri Sawahlunto Bagian 4)
Baca juga Mak Itam: Lokomotif Legendaris (Seri Sawahlunto Bagian 3)
Baca juga Jalur Kereta Api (Seri Sawahlunto Bagian 2)
Awal Mula Tansi (Tangsi)
Guna menampung para buruh tambang batu bara di Ombilin, Sawahlunto, H.G. Heyting, Asisten Residen Tanah Datar, pernah mengusulkan agar dibangun desa buruh di Sawahlunto, namun usulnya itu tidak diindahkan. Pihak perusahaan tambang kemudian hanya membangun barak-barak bagi para buruh tambang batu bara yang disebut Tansi atauTangsi.
Pada awalnya, ada tiga tansi (tangsi) yang dibangun di kawasan pusat kota lama Sawahlunto yaitu Tansi Rantai (untuk orang-orang rantai), Tansi Tanah Lapang dan Tansi baru yang berlokasi di desa Air Dingin. Namun, seiring perluasan dan dibukanya areal tambang baru yang lebih ke utara, tansi-tansi baru terus dibangun seperti di kampung-kampung Surian, Sungai Durian, dan Sikalang.
Di tansi-tansi itulah para buruh tambang menjalani kehidupan sosial yang selalu dalam pengawasan dan diwarnai kekerasan. Pengawasan itu datang dari para mandor yang tinggal di sekitar tansi, atau pun dari pejabat Kolonial dan petinggi perusahaan dari rumah mereka yang terletak di tempat tinggi dan langsung menghadap tansi, terutama Tansi Rantai (Tansi Rante).
Tansi, dengan ruang bangsal dan jalan-jalan kecil yang disebut gang serta dapur dan kamar mandi bersama menjadi media interaksi sosial yang mempertemukan buruh tambang dari berbagai etnik, bangsa, dan kategori. Pertemuan ini tentu diiringi dengan terjadinya peristiwa komunikasi, yakni ditandai dengan lahirnya sebuah ”bahasa” yang dapat dipahami bersama dalam interaksi sosial. Bahasa inilah yang oleh generasi kemudian dinamai sebagai Bahasa Tansi.
Hingga pada suatu hari, yaitu pada tanggal 10 bulan Oktober tahun 2018, Bahasa Tansi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan masuk dalam domain Tradisi Lisan dan Ekspresi yang mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of intangible cultural heritage. [Nora E]
Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin sebagai Warisan Dunia Indonesia (Seri Sawahlunto Bagian 6)
Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin (Seri Sawahlunto Bagian 1)