Jauh sebelum Bung Karno mengirim utusan untuk menanyakan hukum membela negara, mencintai sekaligus membela tanah air bagi Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim ibarat sudah menjadi laku di pesantren.
Bagi Mbah Hasyim, pendekatan paling utama dalam konteks nasonalisme dengan mudah bisa dirujuk pada sikap politiknya yang selalu mengajak umat Islam bersatu dalam aksi bersama.
Ide persatuan itu dalam berbagai kesempatan selalu disampaikan atas dasar kondisi umat Islam di Indonesia yang terpecah belah dalam kelompok-kelompok tradisionalis dan modernis. Sementara di sisi lain Belanda terus menerus berusaha campur tangan dalam urusan agama.
Persatuan menurut Hasyim adalah kunci melawan imperialis karena bakal mendorong kesejahteraan negara, peningkatan status rakyat, kemajuan dan kekuatan pemerintah, dan terbukti sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan.
Dalam pidatonya yang disampaikan pada muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin berjudul al-Mawa‟idzh, bersikeras mendamaikan perselisihan kaum modernis dan tradisionalis yang menurutnya jelas-jelas sama Islamnya sementara satu sama lain saling tuduh sebagai pihak yang keluar dari Islam.
Mbah Hasyim menyebut manusia harus bersatu agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan serta terhindar dari kehancuran dan bahaya. Kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran.
Pendekatan tersebut jelas merupakan fondasi rasa kasih sayang karena persatuan dan kesatuan telah menghasilkan kebajikan dan keberhasilan.
“Persatuan juga telah mendorong kesejahteraan negara, peningkatan status rakyat, kemajuan dan kekuatan pemerintah, dan telah terbukti sebagai alat untuk mencapai kebajikan yang akan menjadi sebab terlaksananya berbagai ide,” kata Hasyim.
Seruan itu juga kembali diulang pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, 9 Pebruari 1940. Ia menyerukan agar para ulama yang fanatik terhadap madzhab atau pendapat tertentu meninggalkan kefanatikannya terhadap perkara-perakar furu’.
“Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini. Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal Al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak.”
Ya, Pesantren Tebuireng dengan dengan tokoh-tokoh NU yang berkerumun di sana sejak semula memang menjadi kiblat bagi pesantren-pesantren di seluruh Indonesia.
Pesan dari Tebuireng yang umumnya berisi anjuran agar pesantren mengambil sikap aktif terhadap kebangkitan masyarakat ditanggapi positif dan antusias.
“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka, kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan saling bersengketa.”
Pernah pada suatu ketika di sekitar tahun 1935-an, pemerintah kolonial Belanda berniat menyogok dengan menganugerahkan bintang kepada Mbah Hasyim. Dengan halus pemberian itu ditolaknya.
Tak mau mendatangkan fitnah dari kaki tangan kolonial, Mbah Hasyim cukup menjawab dengan rendah hati, “aku takut pada diriku sendiri akan datangnya rasa ujub dan takabur. Aku malu kepada Allah karena aku cuma hamba-Nya yang hina dina!”
Di masa-masa awal pendudukan Jepang pada bulan April-Mei 1942 sebuah peristiwa menggemparkan dunia pesantren terjadi ketika Mbah Hasyim ditangkap Jepang. Ia dimasukkan ke dalam penjara Jombang sebelum akhirnya dipindahkan ke Mojokerto, dan Bubutan di Surabaya.