Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo – Politisi yang sudah sepuh itu nampaknya masih merasa harus berkutat di lapangan politik, hampir 20 tahun setelah menjadi salah satu tokoh yang ikut menumbangkan Presiden Soeharto dari kekuasaan. Sebenarnya turun gunungnya Amien Rais ini sudah bermula sejak sebelum dan selama proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) itu ikut turun ke jalan dalam aksi Bela Islam yang melengserkan dan mengirim Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ke penjara.

Jam terbang politisi yang pernah memimpin Muhammadiyah tersebut memang tinggi. Suaranya, seserak dan semenyakitkan telinga sekalipun, mau tak mau harus didengar. Atau terdengar.

Yang terbaru adalah teriakannya bahwa program pemerintahan Joko Widodo membagi-bagikan sertifikat tanah adalah kebohongan.

“Ini pengibulan. Waspada, bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?” kata Amien Rais, saat menjadi pembicara dalam diskusi ‘Bandung Informal Meeting’, di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, 18 Maret lalu.

Pernyataan Amien itu dibantah Presiden Jokowi, setelah sebelumnya gaduh tak penting bantahan dan ‘ancaman’ Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan dan serangan balik lagi anak Amien, Hanafi Rais.

Dalam acara di Banjarbaru Kalimantan Selatan, pekan lalu, Presiden Jokowi yang menyerahkan 3.630 buah sertifikat meminta mereka mengangkat sertifikatnya tinggi-tinggi.

“Biar kelihatan semuanya bahwa sertifikat juga diserahkan dan betul-betul sertifikat ini sudah menjadi milik bapak ibu sekalian dan bukan pengibulan. Karena ada yang ngomong, pembagian sertifikat ini pengibulan,” kata Jokowi.

Jokowi mengaku percepatan proses sertifikasi tanah dilakukkannya karena setiap blusukan ke desa, ke kampung, ke provinsi, dan ke seluruh daerah, keluhan utama rakyat adalah sengketa tanah dimana-mana.

“Tidak hanya di Kalimantan, di Sumatera, di Jawa, di NTT,  di NTB, Maluku, di Papua semuanya ada,” katanya.

Jokowi juga mengakui memang ada ketimpangan dalam kepemilikan tanah. “Juga harus ngerti bahwa distribusi itu bukan saya yang melakukan. Itu yang saya enggak mau dituding-tuding. Kita mbagi saja enggak,” kata Jokowi.

Bukan Reforma Agraria

Tepat di kalimat Jokowi itulah kegaduhan soal pengibulan ini terletak. Amien Rais tidak salah dan Jokowi ternyata memang belum melakukan distribusi tanah. Ia belum membagi-bagikan tanah. Reforma agrarianya hanya mempercepat proses sertifikasi tanah.

Kritik pada reforma agraria a la Jokowi ini, yang paling prinsip, sebenarnya adalah yang dinyatakan Nahdalatul Ulama (NU).

NU meminta pemerintahan Jokowi-JK segera melaksanakan program pembaruan agaria untuk merombak struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang tidak adil.

“Fungsi tanah harus dikembalikan sebagai hak dasar warga negara, bukan sekadar properti individu yang mengikuti hukum pasar,” kata kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018 PBNU di Jakarta, awal Maret lalu.

NU mengingatkan agar fokus reforma agraria bukan sekadar sertifikasi tanah, tetapi redistribusi lahan rakyat dan petani. “Pembatasan penguasaan dan kepemilikan tanah, hutan, perkebunan harus dilakukan agar kekayaan tidak bergulir di antara segelintir pemilik uang,” kata Said Aqil.

Program percepatan penerbitan sertifikat tanah yang sekarang ini digeber Jokowi, seharusnya dilakukan setelah program pendistribusian tanah kepada rakyat, dulu disebut land reform, dilakukan.

“Tidak cuma mendaftarkan tanah-tanah yang sudah bersertifikat, tetapi termasuk tanah-tanah yang belum bersertifikat yang selama ini diakui masyarakat, petani, masyarakat adat tapi belum diafirmasi oleh pemerintah,” kata Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, pekan lalu, seperti dikutip mongabay.co.id.

Menurut Dewi, Jokowi mestinya melakukan pemeriksaan kemungkinan adanya ketimpangan, tumpang tindih klaim dan konflik atas tanah, menata ulang, baru kemudian dilegalkan dan diakui haknya serta diterbitkan sertifikatnya. Setelah itu, pemerintah menyiapkan program pendukung setelah tanah itu didistribusikan dan sertifikat tanah diberikan, berupa modal, pendidikan, bibit, pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial yang memudahkan petani.

“Kalau hanya bagi-bagi sertifikat, tidak bisa disebut otomatis reforma agraria,” kata Dewi.

Nawacita

Seperti ditulis Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, Nawacita Reforma Agraria, seperti dikutip situs ksp.go.id, secara garis besar komitmen Pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan petani sudah dimandatkan dalam Nawacita.

Menurut Eko, reforma agraria dalam nawacita itu dengan jalan melakukan redistribusi dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Selain itu juga komitmen untuk menjalankan restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria—khususnya tanah.

Dalam tataran operasional, reforma agraria dilaksanakan melalui legalisasi aset tanah bagi masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik.

Berdasarkan Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset dan Redristribusi Tanah Tahun 2015-2017 dari BPN, sampai Agustus 2017 pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat tanah. Tahun ini pemerintah menargetkan sertifikat yang akan dibagikan kepada masyarakat menjadi 7 juta. Pada 2019 nanti target ditingkatkan menjadi 9 juta buah.

Dalam Nawacita, Jokowi menjanjikan 9 juta hektar tanah disertifikasi hingga 2019. Seluas 0,6 juta hektar tanah merupakan tanah transmigrasi yang belum di sertifikat. Selebihnya 3,9 juta hektar datri legalisasi aset tanah, 0,4 juta hektar tanah HGU dan terlantar, dan 4,1 juta hektar tanah dari pelepasan kawasan hutan.

Staf Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Theo Litaay, mengatakan distribusi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah memang tidak dimaksudkan untuk reforma agraria, tapi hanya untuk memenuhi hak rakyat atas tanah.

Jadi jelas hingga 3,5 tahun memerintah Jokowi belum menjalankan reforma agraria. Mungkin juga tidak akan sepanjang tahun-tahun politik ini hingga Pilpres 2019 nanti. Ia tidak mengibul, hanya belum membayar janjinya sewaktu kampanye pada 2014 dulu. [Didit Sidarta]