Koran Sulindo – Teror yang terjadi di Depok, Surabaya, dan Pekanbaru ikut meledak di berbagai kanal media, mengantarkan ketakutan dalam perbincangan sehari-hari kita. Terorisme memang peristiwa besar yang membutuhkan perhatian khusus dari media. Ia menyangkut keselamatan banyak orang.
Terorisme adalah tindakan kriminal yang unik. Sementara bentuk-bentuk kejahatan lain dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan, terorisme justru butuh panggung. Tujuan terorisme memang bukan pembunuhan atau kerusakan fisik, melainkan penyebaran rasa takut ataupun ancaman. Di titik ini, hubungan media dan terorisme menjadi dilematis.
Kita butuh media melaporkan peristiwa teror, tapi bukan mereproduksi teror itu sendiri. Karenanya, di banyak negara, profesional jurnalis merancang secara khusus etika liputan peristiwa teror. Di Indonesia, AJI dan Dewan Pers membuat “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme”. Tujuan umum dari pengaturan etika semacam ini adalah memastikan bahwa peliputan peristiwa teror tidak memperluas teror itu sendiri dengan pemberitaan yang tergesa-gesa dan tidak akurat. Memang, peristiwa besar semacam aksi teror akan menyedot perhatian besar, sehingga perusahaan media kerap dipergoki memungut remah-remah sensasionalisme demi mengais rating. Praktik ini bisa mendatangkan mudharat yang lebih besar karena bakal membuat publik gagal memahami peristiwa secara utuh.
Dalam panduan meliput terorisme yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, salah dua praktik yang paling terkutuk adalah eksploitasi etnisitas atau agama pelaku teror, atau glorifikasi tindakan teror. Dengan kata lain, saat meliput teror, media diharapkan bukan cuma bekerja sebagai saluran informasi semata, melainkan bekerja memastikan pembingkaian peristiwa teror tidak melukai kewarasan publik.
Secara umum, dibanding tahun-tahun sebelumnya, media telah berbenah dalam hal bagaimana melaporkan terorisme. Praktik mengobral wajah keluarga pelaku tak lagi jamak, sehingga potensi diskriminasi dapat ditekan. Sangat sedikit pula media yang menampilkan gambar mayat dengan kondisi memprihatinkan tanpa diburamkan. Bahkan, beberapa media telah berangkat lebih jauh dengan menghadirkan liputan-liputan yang komprehensif.
Tirto.id misalnya, bukan sekadar melaporkan peristiwa penyerangan Mako Brimob dengan versi polisi, Tirto.id juga mengangkat narasi versi pelaku penyerangan. Meski begitu, Tirto.id tidak lantas memberi karpet merah pada narasi teroris. Keterangan pelaku juga dikonfirmasi pada aparat keamanan dan pengacara pelaku sendiri, sampai didapat kesimpulan bahwa narasi polisilah yang lebih masuk akal.
Namun, lepas dari kabar menggembirakan ini, pemberitaan sensasional dan jurnalisme teror masih dapat kita temui berseliweran di internet. Tribunnews.com, sebuah portal berita daring milik Kompas Gramedia, adalah salah satu yang paling rajin membuat berita “wow” mengenai rentetan peristiwa teror yang belakangan terjadi. Sebagai salah satu media milik Kompas Gramedia, Tribunnews memang pantas disebut sebagai “tuyulnya Kompas-Gramedia”[1]. Ia bertugas mencuri klik (uang) sebanyak-banyaknya. Jangankan isu terorisme. Dalam keadaan tidak ada teror sekalipun, Tribunnews kerap membuat berita teror sensasional macam, rumah Nikita Mirzani ditanami santet, atau soal Jenita Jannet yang ditabrak jin di panggung. Bagi Tribunnews, serangan teror artinya rezeki nomplok.
Sensasionalisme
Sampai hari ketika saya menulis ini, Tribunnews telah menurunkan 100 berita dalam tagar “Mako brimob”, 240 berita di bawah tagar “bom Surabaya”, dan 90 berita di bawah tagar “Mapolda Riau”. Besarnya kuantitas pemberitaan ini menandai srategi pertama Tribunnews, yakni mengeksploitasi kasus teror dengan memproduksi sebanyak mungkin berita. Kebanyakan artikel tersebut tentu bukan artikel “bergizi”, melainkan berita tambal sulam yang ditulis ulang dengan penambahan sedikit saja data di sana-sini.
Rabu, 9 Mei 2018, sehari selepas peristiwa pemberontakan napi teroris di Mako Brimob, Tribunnews menurunkan 30 artikel dengan judul yang memuat kata “Mako Brimob”. Padahal, sebagaimana dilaporkan oleh Tirto.id, “Polisi irit komentar tentang kasus kerusuhan di Mako Brimob”. Bahkan, wartawan lebih dulu tahu soal terbunuhnya lima anggota Polri lewat rekaman video yang disebar oleh media-media ISIS. Pertanyaannya, informasi apa yang dibuat dalam 30 artikel yang diturunkan oleh Tribunnews? Jawabnya sederhana, kanal berita itu memungut remah-remah di sekitar peristiwa. Mulai dari berita tentang kabar Ahok yang ditahan di rumah tahanan yang sama, hingga berita soal warga yang asyik menonton liga Inggris di depan polisi yang tengah berjaga. Seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, tak ada informasi baru maka remah-remah peristiwa pun dipungut.
Demi menjaga momentum sensasionalisme pun jadi resep jurnalisme Tribunnews. Dalam serangan Mapolda Riau yang menewaskan Ipda Auzar, Tribunnews menurunkan berita mengenai keseharian Ipda Auzar semasa hidup. Mulai dari kebiasaannya solat Dhuha hingga pernyataan atasan Ipda Auzar yang mengenalnya sebagai ustadz dan guru mengaji. Pemberitaan semacam ini seolah hendak mengatakan bahwa kekejaman terorisme kian parah ketika yang menjadi korban adalah seorang alim. Niat mendulang simpati pembaca berakhir dengan membuat hirarki korban atas dasar agama.
Tribunnews tak berhenti dengan hanya mengeksploitasi identitas agama dari korban. Identitas istri terduga pelaku pun diolah sedemikian rupa. Hal ini misalnya terlihat dari berita yang menekankan cadar dari sang istri. Model pemberitaan semacam ini tentu berpotensi menimbulkan diskriminasi pada mereka yang bercadar. Indikasi ini terlihat dari komentar-komentar dalam channel Youtube Tribunnews yang berbunyi, “Pantesan istri Terrorist selalu bercadar..tapi bukan berarti yg bercadar semua pasti istri Terrorist lo yaa.. hehhehee”.
Lebih dari sekadar diskriminatif, pemberitaan semacam ini justru berpotensi gagal membantu publik memahami terorisme. Sebagaimana kita tahu, teroris tak memiliki seragam. Alih-alih meningkatkan kewaspadaan publik pada pelaku teror dengan membantu memahami ideologi yang melatarbelakangi teror, berita semacam ini justru dapat mengendurkan kewaspadaan publik dengan semata mengajak publik mengenali terorisme sebatas pada atribut pakaian.
Upaya untuk mengemas sensasionalisme mencapai puncaknya ketika Tribunnews menulis berita mengenai teroris ganteng. Berita mengenai terduga pelaku yang tertangkap oleh Densus 88 di Tangerang dikemas oleh Tribunnews dalam bingkai kesaksian warga yang mengenal terduga sebagai pria yang banyak “digilai” wanita di lingkungannya.
Kreativitas Tribunnews tak terbatas pada paras tampan. Jika tak ada teroris ganteng, kenapa tidak sekalian minta selebritas berkomentar soal terorisme? Inilah yang dilakukan oleh Tribunnews dengan memuat komentar Dedy Corbuzier dan Nikita Willy. Pendapat kedua orang ini tentu tidak relevan dalam membantu publik memahami peristiwa yang terjadi, namun memang bukan itu yang jadi perhatian Tribunnews. Berita tentang pendapat kedua artis itu hanyalah gula-gula untuk memancing klik pembaca.
Dalam berita-berita Tribunnews, sengeri apapun peristiwa teror bisa disulap menjadi gosip murahan ala infotaiment. Inilah mengapa mereka jadi “tuyul” jurnalisme daring yang paling sukses, lihat saja rangkingnya di Alexa.
Misinformasi dan Glorifikasi Teror
Petualangan mencuri untung membawa Tribunnews makin jauh dari jurnalisme, dengan memuat misinformasi. Hal ini tampak misalnya, dari berita yang memuat pernyataan Ahmad Dhani mengenai adanya konspirasi kuasa gelap di balik bom Surabaya. Omong kosong yang dinyatakan oleh seorang yang tak memiliki kredibilitas apapun dalam isu terorisme ini dihadirkan ke muka publik tanpa kritik ataupun verifikasi. Berita jenis ini, ketimbang mempersatukan publik untuk sama-sama melawan terorisme, justru menabur bibit perpecahan dan memberi angin pada terorisme.
Seolah omong kosong Ahmad Dhani belum cukup, Tribunnews juga menggelar karpet merah pada teroris. Hal ini dilakukan dengan memuat utuh surat seorang pelaku teror di Mapolda Riau yang berisi seruan untuk memerangi kafir dan ancaman pada polisi (kelompok thogut).
“Sungguh kami akan terus memerangi kalian walaupun salah satu dari kami akan terbunuh, itu adalah hal kecil bagi kami demi tegaknya ajaran Allah di muka bumi ini. Karena kami tidak ridho diatur oleh aturan kafir yang kalian ada-adakan dan sungguh kami akan terus berperang hingga diri ini semata-mata hanya untuk Allah dan hanya Allah saja yang ada di ibadahku”.
Seperti halnya pernyataan Ahmad Dhani, tidak ada satu pun kritik atau pembingkaian yang berupaya menghindari artikel ini menjadi glorifikasi atas terorisme. Absennya kerangka kepentingan publik dalam seleksi informasi, verifikasi data dan informasi, ataupun pembingkaian yang mengkritik ideologi teror sesungguhnya adalah ciri umum jurnalisme Tribunnews dalam meliput terorisme. Ia memang tidak bekerja dengan kerangka jurnalisme.
Tribunnews lebih tepat disebut sebagai pedagang informasi yang punya motto “palugada” (apa lo minta gue ada). Jurnalisme Tribunnews tidak mengajak pembacanya untuk memahami apa yang benar, melainkan menyediakan seluruh narasi yang dikehendaki pembacanya, peduli setan apakah informasi tersebut akurat atau hasil imajinasi liar figur publik sontoloyo. Tribunnews, punya berita untuk mereka yang cinta NKRI, mereka yang beriman pada teori konspirasi, pendukung teroris, penyuka Nikita Willy, atau buat Anda yang sekadar penasaran dengan teroris ganteng.
Jurnalisme Tribunnews adalah anarki pasar; jurnalisme Tribunnews cuma punya satu saringan: sensasi yang menyedot perhatian. Dengan cara ini, mungkin Tribunnews bermaksud mewadahi segala macam kebutuhan pasar. Namun, dengan berlaku demikian, sesungguhnya Tribunnews tengah memberi teroris apa yang mereka paling inginkan: perhatian dan wadah untuk menyampaikan pesan. [Muhamad Heychael, peneliti Remotivi]. Tulisan ini disalin dari remotivi.or.id.