KETERSEDIAAN ganja yang lebih bebas di Thailand akan menghadirkan lebih banyak tantangan, dengan banyaknya orang bepergian ke dan dari Singapura, kata Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam, Kamis (1 September).
Shanmugam menanggapi pertanyaan dari penyiar Malaysia Astro Awani tentang bagaimana keputusan Thailand untuk melegalkan ganja akan berdampak pada situasi narkoba di wilayah tersebut dan di Singapura.
Jika ada bukti yang jelas dari penggunaan narkoba saat ini, pihak berwenang Singapura akan mengambil tindakan, terlepas dari apakah konsumsi itu di Singapura atau di luar negeri, kata menteri dalam sebuah posting Facebook sebelumnya pada hari Kamis, tentang perenang nasional Joseph Schooling dan Amanda Lim. Schooling dan Lim sama-sama mengaku mengonsumsi ganja di luar negeri.
Hukum di Singapura dan Malaysia
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ganja berbahaya dan membuat ketagihan, kata Shanmugam, seraya mencatat bahwa ganja dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki, penyusutan otak, penyakit mental dan kejiwaan yang serius.
“Beberapa perusahaan farmasi dan LSM (organisasi non-pemerintah) dengan kepentingan pribadi berpendapat bahwa ganja adalah obat lunak, bahwa cannabinoid memiliki manfaat medis,” tambahnya.
Di Singapura, penggunaan ganja diperbolehkan ketika dokter membutuhkannya untuk tujuan medis, berdasarkan saran medis, kata Shanmugam, yang juga Menteri Hukum.
Pemerintah Thailand sendiri sudah membuat aturan bahwa sekolah adalah daerah bebas ganja, melarang merokok di tempat umum, dan melarang penjualan ganja kepada ibu hamil dan menyusui. Juga mencoba dan melindungi anak dibawah umur serta populasi yang rentan.
Shanmugam juga menanggapi pertanyaan tentang kementerian kesehatan Malaysia yang meneliti dan mencari legalisasi mariyuana medis, dan bagaimana hal itu dapat berdampak pada Singapura.
“Jika Malaysia melegalkan ganja atau narkoba lainnya, mengingat arus orang yang lebih besar antara Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan Thailand dan Singapura, tentu akan lebih menantang dari (sudut) penegakan hukum dan upaya untuk membebaskan Singapura dari narkoba,” kata menteri.
Dengan rencana Malaysia untuk menghapuskan hukuman mati wajib, Shanmugam ditanya apakah ini akan dipertimbangkan Singapura.
“Kami tidak mungkin berubah hanya karena Malaysia berubah. Kami akan berubah ketika kami berpikir bahwa efek jera tidak lagi ada, misalnya, atau kondisinya berbeda, dan Anda perlu mengadopsi pendekatan yang berbeda untuk mendapatkan pencegahan itu.
“Hukumannya harus efektif, harus jera, dan itu yang saya maksud dengan efektif.”
Orang tahu hukum di Singapura dan karena itu mereka tidak mengedarkan narkoba, katanya.
Menurut survei tahun 2021 oleh Pemerintah, tujuh dari 10 orang mengatakan mereka mendukung hukuman mati wajib untuk perdagangan narkoba, dan hampir 80 persen mendukung hukuman mati wajib untuk pembunuhan, kata Shanmugam.
“Mari kita perjelas. Narkoba itu buruk, narkoba menghancurkan lebih banyak nyawa. Ini adalah poin yang saya buat. Kami bertanggung jawab atas kehidupan warga Singapura,” tambahnya.
Hukum di Indonesia
Pada tahun 2014, Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan bahwa ada sekitar dua juta pengguna ganja di Indonesia, diikuti oleh stimulan jenis amfetamin (Amphetamine-Type Stimulants, ATS) seperti metamfetamin (shabu) dan ekstasi.
Kembali ke tahun 1927, ketika pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda Timur, didorong oleh perkembangan internasional dalam pengendalian ganja, mengeluarkan sebuah dekrit yang melarang budidaya, impor dan ekspor, produksi dan penggunaan narkotika, kecuali untuk tujuan medis dan ilmiah dengan otorisasi pemerintah.
Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia terpilih tetap menggunakan peraturan kolonial, meskipun ganja tidak menimbulkan masalah di dalam negeri. Lima belas tahun setelah Konvensi Tunggal 1961 PBB tentang Narkotika, pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian perundang-undangan sehubungan dengan penggunaan zat psikoaktif, termasuk ganja.
Namun demikian, perundang-undangan anti narkotika yang disahkan pada tahun 1976 tidak merumuskan kategorisasi atau penggolongan zat psikoaktif. Perundang-undangan tersebut hanya menjelaskan bahwa tanaman ganja merupakan jenis napza yang penggunaannya terbatas untuk tujuan medis dan penelitian ilmiah.
Pemerintah Indonesia pertama kali menyatakan “perang melawan napza” pada tahun 2002 di bawah kepemimpinan Presiden Megawati. Sebuah badan independen bernama Badan Narkotika Nasional (BNN) didirikan pada bulan Maret tahun 2002. Sejak saat itu, BNN memimpin pelaksanaan program-program anti-napza yang melibatkan berbagai lembaga pemerintah hingga ke tingkat desa.
BNN kemudian mengusulkan sebuah “rencana perang” yang bertujuan untuk mewujudkan “Indonesia bebas napza pada tahun 2015”. Dengan ini, BNN mendesak pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk program anti-napza, sambil menekankan bahwa dari sisi geopolitik, Indonesia berada di posisi yang rentan terhadap perdagangan napza, ditambah dengan meningkatnya penyalahgunaan napza di dalam negeri.
Menurut undang-undang tentang narkotika, yaitu UU No.35 tahun 2009, semua unsur ganja diklasifikasikan sebagai narkotika Golongan I, bersama dengan jenis zat psikoaktif lainnya seperti heroin, kokain dan metamfetamin.
Menurut beberapa pakar kebijakan napza di Indonesia, undang-undang yang disahkan pada tahun 2009 telah dengan sengaja dirancang oleh pemerintah untuk memprioritaskan rehabilitasi (lebih dari penuntutan) bagi para pengguna dan/atau pecandu napza, tidak seperti undang-undang periode sebelumnya yang memandang pengguna napza sebagai pelaku.
Pandangan ini diperkuat oleh Anang Iskandar, mantan kepala BNN, yang menyatakan bahwa berdasarkan undang-undang saat ini, penggunaan napza tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana serius, dan dengan demikian, hukuman yang diberikan tidak akan melebihi empat tahun hukuman penjara.
Sikap Indonesia Terhadap Legalisasi Ganja di Thailand
Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dir Narkoba) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Krisno H Siregar menyatakan, legalisasi ganja di Thailand membawa dampak bagi Indonesia yang berupaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Terutama, terhadap pihak-pihak yang ingin ganja dilegalkan di Indonesia.
Legalisasi ganja di Thailand menurut dia tak hanya menjadi tantangan Polri, tetapi juga pemerintah Indonesia. Yakni, bagaimana melindungi bangsa serta generasi muda dari ancaman dan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Tanah Air.
“Pandangan politik Indonesia terhadap narkotika alami jenis ganja masih menempatkannya sebagai narkotika golongan I,” kata Krisno dikutip dari Antara, Minggu (19/6).
Dia menguraikan, Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 menguraikan, narkotika golongan I dilarang untuk pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sementara itu, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal (Komjen) Petrus Reinhard Golose kembali menegaskan, tidak ada wacana membahas legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia, meskipun beberapa negara mulai melegalkan. [S21]