Bagaimana Orang Suriah Membangun Kembali Negaranya?

Koran Sulindo – Memasuki tahun ke tujuh Perang Suriah, kerugian ekonomi ditaksir sudah mencapai 226 miliar dolar AS. Laporan Bank Dunia yang terbit 2017 menyebut akibat perang sedikitnya 530 ribu pekerjaan musnah dan digantikan oleh gelombang pengungsian yang mencapai jumlah hingga 5 juta orang.

Meski bukan termasuk eksportir minyak utama, Suriah seperti negara Timur Tengah lainnya juga mengandalkan industri perminyakan sebagai tulang punggung perekonomiannya.

Pada tahun 2010, industri minyak di Suriah menyumbang 25 persen dari pendapatan negara dengan produksi minyak 385 ribu barel per hari dan 5,3 miliar meter kubik gas alam.

Walaupun stok energi Suriah mungkin tak relevan dengan pasar energi global, industri tersebut jelas menjadi urat nadi ekonomi domestik.

Di Suriah, cadangan minyak umumnya terletak di wilayah timur negeri itu. Ladang minyak terbesar adalah Al-Omar yang terletak dekat kota Deir Ezzor. Wilayah kaya minyak ini terletak di sisi timur sungai Eufrat.

Berhasil mengalahkan ISIS di Suriah Timur, ladang minyak Al-Omar kini dikuasai oleh orang-orang Kurdi dari Pasukan Demokratik Suriah yang didukung Amerika.

Selain Al-Omar, ladang utama terletak di Sweidiyeh di bagian timur laut negara  itu dekat perbatasan Irak dan juga dikuasai Kurdi.

Sejauh ini Damaskus hanya menguasai beberapa ladang minyak dalam skala yang lebih kecil kecil terutama di Suriah Tengah.

Jaringan Pipa

Sumur minyak dengan segala infrastrukturnya termasuk jaringan pipa, stasiun pemompaan dan pabrik pengolahan selama perang Suriah menjadi objek strategis dan signifikansinya sebanding dengan pangkalan militer dan instalasi kunci lainnya.

Pemberontak termasuk kelompok Islam, baik ISIS, Jaish al Islam, Hayat Tahrir Syam selama perang menguasai hampir semua bidang energi di Suriah. Ini memungkinkan kelompok itu meraup pendapatan besar dari penjualan minyak dan gas ilegal.

Di sisi lain, meski tergolong miskin sumber daya minyak, Suriah justru kaya cadangan gas alam. Ladang gas alam utama berada di bagian tengah dan timur negara itu yakni di selatan Raqqa dan sekitar Palmyra.

Dari ladang-ladang itu gas dikirim menggunakan pipa domestik dan tersambung dengan Arab Gas Pipeline yang menghubungkan Mesir, Yordania dan Lebanon. Bagi Suriah, jaringan pipa gas ini menjadi elemen utama dari infrastruktur energi strategis.

Namun serangan terror pada infrastruktur dalam beberapa tingkat membuat jaringan pipa sepanjang 1.200 km dan berkapasitas 10,3 miliar meter kubik tak bisa beroperasi dengan kapasitas penuh.

Selain Arab Gas Pipeline, Suriah juga menjadi perlintasan bagi jaringan pipa Kirkuk-Banias yang dibangun pada tahun 1952. Melalui jaringan pipa sepanjang 800 km itu minyak mentah dari Kirkuk dikirim ke Pelabuhan Banias di Suriah untuk selanjutnya dikapalkan menuju Eropa.

Sayang, selain kapasitasnya yang kecil -hanya 300.000 barel perhari- jaringan ini mengalami kerusakan parah yang membuatnya tak bisa berfungsi.

Oleh pemerintah Suriah, bekas jaringan pipa ini dimanfaatkan sebagai stasiun pemompaan dan pusat logistik untuk pengangkutan gas. Stasiun pompa T2, T3 dan T4 menangani pasokan gas dari Deir Ez-Zor sebelum kemudian dikirim ke kota-kota pelabuhan Suriah.

Di Suriah, negara terlibat langsung dalam pengelolaan minyak seperti The Syrian Petroleum Company (SPC) yang merupakan pemilik 50 persen saham pada banyak perusahaan regional.

Termasuk di antaranya adalah Al-Furat, sebuah konsorsium asing terbesar yang beroperasi di Suriah di mana SPC memiliki 50 persen saham sementara sisanya dibagi antara Royal Dutch Shell, China National Petroleum Corporation dan India’s Oil and Natural Gas Corporation.

Sebelum perang sipil, SPC adalah pemilik dari 55 persen pangsa pasar dari total minyak yang diproduksi di Suriah sampai mereka dikenakan sanksi Amerika Serikat pada musim panas tahun 2011.

Selain Royal Dutch, beberapa perusahaan Barat terkemuka lainnya juga beroperasi di Suriah. Tahun 2008, Total dari Prancis menggandeng Syria Company untuk menggarap ladang minyak dan gas di Deir Ezzor. Sebelumnya mereka telah beroperasi di sejak tahun 1988. Pada bulan Desember 2011, hanya beberapa bulan sebelum pecah perang sipil, Total menarik diri dan keluar dari negara itu.

Undang Investor

Menyusul keberhasilan operasi militer pemerintah atas pemberontak, beberapa fasilitas seperti Hayaan Gas Company dan Tuweinan Gas Fields berhasil dipulihkan dan dioperasikan kembali. Keunggulan secara militer itu memungkinkan Suriah lebih fokus pada pemulihan ekonomi dan rekonstruksi.

Tentu saja Suriah tidak bisa menanggungnya sendiri,  Damaskus jauh-jauh hari sudah meminta sekutu-sekutunya seperti Rusia, Iran dan China untuk berinvestasi di sektor-sektor utama seperti energi, pertanian, militer, telekomunikasi dan industri.

Awal bulan lalu, Suriah dan Rusia sepakat menandatangani kerja sama energi yang mencakup sejumlah proyek energi seperti rekonstruksi Pembangkit Listrik Darurat Aleppo dan perluasan kapasitas pembangkit listrik lain di seluruh Suriah.

Perusahaan-perusahaan Iran juga dilibatkan membangun kembali jaringan listrik, kilang minyak dan sistem telekomunikasi Suriah yang rusak. Rencana itu sudah dinegosiasikan setelah delegasi parlemen Iran berkunjung ke Suriah awal tahun lalu.

Tak ketinggalan dengan Rusia dan Iran, China juga sangat berkepentingan dengan Suriah karena Proyek One Belt-One Road atau New Silk Way melintasi langsung wilayah Suriah. Investor China terang-terangan telah menyatakan niat mereka untuk berinvestasi di Suriah pasca perang.[TGU]