Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Dibubarkan

Ilustrasi/kukuhragilprayogigoblog.wordpress.com

Koran Sulindo – Pemerintah membubarkan lembaga nonstruktural Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2017 tentang pembubaran BPLS pada 2 Maret lalu.

Selanjutnya pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sementara pembiayaan, pegawai, perlengkapan dan dokumen pada lembaga nonstruktural  ini juga dialihkan ke Kemen PUPR.

“Pengalihan sebagaimana dimaksu dikoordinasikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP), Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” bunyi Pasal 3 ayat (3) Perpres tersebut.

Pengalihan harus diselesaikan paling lama 1 tahun sejak tanggal diundangkan Perpres ini.

Dengan pembubaran BPLS ini, penanganan masalah sosial kemasyarakatan dengan cara pembelian tanah dan/atau bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap sesuai dengan Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini, dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah, tetap dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.

“Tanah dan/atau bangunan yang berada di wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 yang pembeliannya menjadi beban APBN dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah tersebut, merupakan Barang Milik Negara (BMN),” bunyi Pasal 5 poin (b) Perpres tersebut.

Sementara biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dan biaya tindakan mitigasi untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber dana lainnya yang sah.

April 2007

Pembentukan BPLS disahkan melalui PP No. 14 Tahun 2007 dan Keppres No. 31 Tahun 2007 mengenai pengangkatan kepala, wakil kepala, sekretaris dan deputi badan pelaksana BPLS. Kedua aturan tersebut dikeluarkan 8 April 2007 lalu bertepatan dengan berakhirnya masa kerja Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas Lapindo).

“Bentuknya seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias,” kata Menteri PU Djoko Kirmanto di Jakarta, Senin (9/4/2007), seperti dikutip migas.esdm.go.id

Pada prinsipnya, bidang kerja BPLS tidak berbeda dengan Timnas Lapindo. Termasuk bagian-bagian dalam organisasinya. Yang berbeda hanya sumber anggarannya. Jika timnas dananya dari Lapindo, sumber dana BPLS dari APBN dan Lapindo yang bersifat permanen.

Tercerai-berai

Lumpur Lapindo sudah menyembur 11 tahun ini. Tak ada yang tahu kapan berhenti. Bencana selalu mengakibatkan perubahan sosial di masyarakat. Namun, bencana akibat lupa memasang casing atau selubung bor saat mengebor di sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc itu menyebabkan perubahan sosial yang luar biasa.

Semburan Lapindo yang terjadi sejak 29 Mei 2006 itu rata-rata memuntahkan  lumpur bervolume 100.000-150.000 meter kubik per hari (sekitar 12.500 truk tangki).

Data BPLS, tahun lalu volumenya mengecil menjadi 30.000–50.000 meter kubik per hari. Pusat semburan 150-200 meter dari sumur pengeboran BJP 1, Kecamatan Porong.

Total korban lumpur di dalam peta (yang rumahnya sudah terkubur) dan di luar peta (yang belum terkubur) sebanyak 90.000 jiwa. Mereka berasal dari 19 desa terdampak yang ada di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong.

Puluhan ribu jiwa itu mengalami krisis identitas kependudukan sebab mereka hanya memegang KTP lama yang mandul untuk mengakses pelayanan sosial, kesehatan, dan pendidikan.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui sengkarutnya data kependudukan korban lumpur di Sidoarjo. Persoalan inilah yang menyebabkan korban lumpur tak bisa mengakses jaminan sosial, seperti Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Program Keluarga Harapan.

“Bagaimana Kemensos bisa menyalurkan bantuan kepada mereka kalau Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tak pernah mengusulkan,” kata Mensos, seperti di kutip Kompas.

Selain hak sosial, hak politik dan hak ekonomi juga diberangus. Saat pilkada tahun 2015, korban lumpur tak ikut mencoblos karena desanya sudah hilang. Pelaku usaha mikro juga tidak bisa mendapatkan pinjaman modal usaha karena identitas dan tempat tinggal berbeda. Apalagi banyak yang masih kontrak.

Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, keberadaan korban lumpur tercerai-berai setelah kehilangan tempat tinggal. Dengan alasan sulit melacak keberadaan mereka, pemkab pun enggan mengurus.

“Ke depan, semburan lumpur akan saya jadikan obyek wisata. Sekarang saja pengunjungnya sudah banyak. Saya yakin lumpur itu akan jadi berkah bagi Sidoarjo. Hanya sekarang belum tahu caranya,” kata bupati yang sudah menjabat dua periode itu.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, juga bersikap sama. Mereka sekarang giat mengusir warga di 13 desa di luar peta terdampak, dengan alasan tanah sudah dibeli pemerintah. Nilai beli 10 tahun lalu dan sekarang sama.

Amien Widodo, anggota Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang juga mantan Ketua Tim Kajian Teknis dan Sosial Lumpur Lapindo, mengatakan, harus dilakukan evaluasi dari segala sisi terkait dengan 10 tahun semburan lumpur Lapindo. Dari segi teknis, misalnya, penanganan semburan dilakukan dengan mengalirkan luberan lumpur di darat ke Sungai Porong dan Selat Madura.

“Dampaknya pasti banyak dan kerusakan ekosistem jelas terjadi. Di darat, tidak ada satu rumput pun yang tumbuh di atas lumpur yang memadat selama 10 tahun,” ucap Amien.

Penolakan keras warga terhadap rencana pengeboran sumur baru Lapindo di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, pada Februari 2016 adalah cermin ketidakpekaan negara, terutama Pemkab Sidoarjo, terhadap permasalahan sosial warganya. Trauma semburan lumpur 10 tahun silam yang dialami warga dianggap selesai dengan bagi-bagi bahan pokok.

Pakar statistik ITS, Krenayana Yahya, menghitung, sampai tahun lalu kerugian ekonomi semburan lumpur telah menembus angka Rp 60 triliun. Nilai itu setara dengan 46 tahun pendapatan asli daerah Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 1,3 triliun pada 2015.