Bachtiar Siagian dan Basuki Effendi, dua sutradara yang disebut beraliran [Foto: buku Sinema pada Masa Soekarno]

Koran Sulindo – Kendati filmnya pernah mendapat penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) pada 1960, nama Bachtiar Siagian sebagai sutradara sekaligus seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) kurang dikenal dalam dunia perfilman Indonesia. Selain filmnya, Bachtiar pada waktu itu berhasil terpilih sebagai Sutradara Terbaik untuk filmnya berjudul Turang.

Ketika peristiwa G30S 1965 pecah, Bachtiar mengalami nasib tragis. Selain karyanya dimusnahkan, ia juga mesti mendekam di Pulau Buru selama belasan tahun. Dan baru dibebaskan pada 1979. Film Turang termasuk yang dimusnahkan tentara. Bachtiar ditangkap karena Lekra dianggap terlibat peristiwa itu. Terlebih Lekra dikaitkan sebagai organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah bebas, untuk bertahan hidup, Bachtiar tetap menulis skenario film tapi tanpa nama atau memakai nama lain. Ia paling sering mendapat pesanan membuat film semi-dokumenter untuk kementerian dan badan usaha milik negara (BUMN). Beberapa film Bachtiar yang diproduksi tanpa nama penulis cerita dan skenario adalah Intan Mendulang Cinta (1985), Tiga Dara Mencari Cinta (1986), dan Busana Dalam Mimpi (1987).

Untuk menghormati Bachtiar, 14 tahun setelah kematiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan Anugerah Kebudayaan 2016 untuk kategori  “Pencipta, Pelopor, dan Pembaru”. Ia dinilai sebagai salah seorang pembaharu dalam penyutradaraan dan penulisan skenario film yang berlandaskan realitas sosial sebagai kekuatan ekspresi.

Berkaitan dengan aliran film dan pandangan politik Bachtiar, Tanete Pong Masak sedikit mengulasnya dalam buku berjudul Sinema pada Masa Soekarno. Buku yang merupakan hasil disertasinya itu menceritakan kelahiran perfilman nasional dari sudut estetika menunjukkan pengaruh neorealisme Italia atau “aliran Italia”. Karena pengaruh itu, kata Tanete, sineas-sineas muda tertentu seperti Usmar Ismail, Djadug Djajakusuma, Kotot Sukardi, Basuki Effendi, Bachtiar Siagian, memisahkan diri dari “aliran Tionghoa” atau “aliran Hollywood” yang sejak lama hadir dalam sinema diaspora Tionghoa dan Barat, dan yang akan tetap menjadi dominan pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Sejumlah perusahaan pribumi, seperti PERSARI, juga terpengaruh oleh kedua aliran itu.

Film Si Pintjang yang disebut beraliran neorealisme [Foto: buku Sinema pada Masa Soekarno]
Film Si Pintjang yang disebut beraliran neorealisme [Foto: buku Sinema pada Masa Soekarno]
Menurut Tanete, film Usmar Ismail Darah dan Doa yang diproduksi PERFINI pada 1950 juga terinspirasi dari neorealisme. Sebuah film yang mengisahkan perjalanan pasukan tentara Siliwangi dari Jawa Tengah menuju Jawa Barat. Film yang disutradarai Kotot Sukardi dan Basuki Effendi berjudul Si Pintjang yang diproduksi pada 1952 juga disebut menerapkan aliran neorealis. Pun film Pulang yang disutradarai Basuki Effendi pada 1952. Film tersebut bahkan meraih penghargaan di festival sinema internasional di Karlovy Vary, Cekoslovakia, pada 1954.

Kemunculan Bachtiar Siagian pada 1954, kata Tanete, memperkuat dua film beraliran neorealis sebelumnya. Bachtiar disebut baru saja melakukan perjalanan dari Tiongkok, Eropa Timur, dan Italia– ditemani Gordon Tobing dan Sudharnoto berdasarkan rekomendasi Lekra. Awalnya, film Bachtiar, menurut Tanete, sama sekali tidak menarik perhatian pers dan masyarakat Indonesia.

“Film Tjorak Dunia (1955) – yang diproduksi perusahaan Garuda Film dari Jakarta – tidak terlalu jauh dari film pertamanya yang dibuat di Medan berjudul Kabut Desember yang dibuat pada 1954. Film yang merupakan saduran dari sandiwara karya Surapati (nama samaran M. Saleh Umar) yang ditulis 1943,” tulis Tanete.

Film yang dibintangi Sukarno M. Noor dan Mieke Widjaya itu menceritakan hubungan aneh antara seorang dokter dan Djohan, seorang mantan pejuang di satu sisi, serta seorang perempuan buta bernama Lela yang berasal dari rakyat kecil. Berbeda dengan Tjorak Dunia, film Daerah Hilang (1956) yang dipersiapkan secara khusus untuk mengikuti Festival Film Asia di Tokyo pada 1957 segera menjadi pusat perhatian masyarakat film pada masa itu. Sebelum bisa tayang, film tersebut mendapat penolakan dari Lembaga Sensor dua kali. Pasalnya, banyak adegan dianggap “menyinggung peradaban, kehalusan perasaan, dan merendahkan bangsa Indonesia”.

Pelopor Neorealis
Setelah melalui Lembaga Sensor dan bisa tayang, film Bachtiar itu banyak sekali dipotong. Beberapa pihak menganggap film Bachtiar sebagai “propaganda komunis” yang bertujuan mengobarkan “konflik antar-kelas sosial”. A. Dahlan muncul sebagai pembela Bachtiar. Ia mengaku sama sekali tidak melihat adanya ideologi komunis dalam film tersebut. Dengan menyebutkan nama Vittorio de Sica, sutradara asal Italia, menurut Dahlan, juga beraliran neorealis, tapi sama sekali bukan komunis.

Bahkan, tulis Tanete lagi,“Dahlan mengelu-elukan Bachtiar Siagian sebagai seorang pelopor neorealis di Indonesia.”

Masih di buku yang sama, menyinggung Daerah Hilang, A. Dahlan berpendapat,  film tersebut berusaha melukiskan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Bachtiar Siagian dengan berani, dan dengan realisme, memindahkan kenyataan-kenyataan itu ke layar putih. Keberaniannya itu memang keberanian yang luar biasa dan belum pernah terjadi dalam sejarah film Indonesia, sehingga kadang-kadang terasa “mengejutkan” atau bahkan “kasar (brutal)” bagi beberapa pihak. Tapi, itu semua hanyalah untuk tetap setia pada aliran seni yang dianutnya: realisme, kata Dahlan.

Di luar pendapat Dahlan, kata Tanete, juga muncul pendapat lain yaitu ideologi moralis yang bertujuan untuk memelihara tradisi di hadapan pengaruh budaya Barat. Kerasnya sensor dan kritik terhadap Bachtiar Siagian terekam dalam konteks konflik ideologis masa itu, ketika Bachtiar dikenal sebagai penulis marxis dan anggota Lekra, yang sangat aktif menentang strategi perfilman yang dipertahankan kelompok Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Apalagi Bachtiar merupakan Direktur Lembaga Film Indonesia, yang merupakan bagian Lekra sejak 1958 hingga pembubarannya pada 1966.

Diungkapkan Tanete, pada faktanya Bachtiar bukanlah satu-satunya yang bersentuhan dengan persoalan pendekatan neorealis. Representasi realitas sosial dalam layar juga telah menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para sineas Indonesia non-Lekra, seperti: Usmar Ismail, Djadug Djajakusuma, Asrul Sani, dan lain-lain. Hal itu telah membuat mereka mengkritik keras praktik sensor.

Teater dan Seni
Sebelum dikenal sebagai sutradara film, Bachtiar Siagian telah akrab dengan dunia teater dan kesenian. Bachtiar remaja pernah menjadi anggota orkes gambus di kota kelahirannya, Binjai, sebuah kota kecil tak jauh dari Medan, Sumatera Utara. Alat musik yang dimainkannya adalah harmonium dan akordeon. Lagu yang mereka bawakan bernuansa Melayu dan kadang-kadang lagu Mesir modern. Ia juga pernah menjadi penari japin di orkes itu. Bachtiar belajar memainkan harmonium dari ibunya. Sedangkan dari ayahnya yang acap diundang ke pesta untuk membacakan syair, Bachtiar pun menjadi akrab dengan itu.

Dunia teater dan opera pun lekat dengan kehidupan Bachtiar. Ayahnya seringkali mengajak pria kelahiran 19 Februari 1923 itu menonton berbagai atraksi kesenian: wayang orang, wayang kulit, wayang golek, ketoprak, ludruk, pedati, randai, ronggeng melayu, dan opera batak Tilhang Gultom. Juga menonton teater klasik atau opera Barat dan tonil modern, semisal Dean’s Opera dari Malaysia, Dardanella, tonil Miss Riboet, dan Blauw Wit.

Bisa jadi, karena itulah, di masa mudanya Bachtiar telah mendirikan kelompok drama bernama “Kencana” di Binjai. Mereka pernah keliling Aceh dan Sumatera Timur. Ia selanjutnya bergabung dengan kelompok teater milik temannya, Jhon Hutapea, di Tarutung. Kali pertama Bachtiar berkenalan dengan dunia film terjadi pada masa pendudukan Jepang. Ketika itu, seorang pembuat film berkebangsaan Jepang memintanya membantu membuat film semi-dokumenter Tonari Gumi dengan film hitam putih 16 milimeter.

Film yang bercerita tentang pemerintahan terbawah Jepang itu dibuat untuk mengorganisasi warga demi mendukung kebijakan politik dan ekonomi Jepang. Tonari Gumi kemudian menjadi cikal bakal Rukun Tetangga (RT). Bachtiar juga belajar singkat soal film ketika membaca naskah film Art Pudovkib Book. Ia membaca naskah berbahasa mandarin itu ketika revolusi meletus di Aceh. Seorang teman Tionghoanya membantu Bachtiar menerjemahkan naskah tersebut.

Setelah masa revolusi dan penyerahan kedaulatan, Bachtiar keluar dari tentara. Ia  mulai menulis skenario film berjudul Musim Badai. Sayang, cita-citanya terganjal. Ia tidak punya saluran untuk mewujudkan cita-citanya. Saleh Umar, teman seperjuangan dan bermain teater yang kala itu telah menjadi anggota parlemen, menganjurkannya untuk pindah ke Jakarta.

Saleh mengenalkan Bachtiar kepada Adam Malik yang ketika itu menjadi pimpinan Kantor Berita Antara. Kebetulan Adam Malik, yang memiliki PT Muara Film, ketika itu berniat memproduksi film. Perusahaan inilah kali pertama yang memproduksi film Bachtiar berjudul Kabut Desember, yang sesungguhnya berawal dari naskah Musim Badai.

Awalnya Bachtiar gagap dengan peralatan teknis film 35 milimeter yang bersuara. Ia dibantu temannya, Jaafar Wiryo, seorang sutradara.

Setelah film Kabut Desember, Bachtiar lalu menggarap Tjorak Dunia, Melati Senja, Daerah Hilang dan Turang. Khusus film Turang, tayangan perdananya diputar di Istana Merdeka yang disaksikan langsung Presiden Soekarno. Hak cipta film tersebut lalu dibeli pemerintah Uni Soviet, Tiongkok, Vietnam, dan Korea.

Sayang, kita sudah tidak bisa menikmati film tersebut karena dimusnahkan pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965. [Kristian Ginting]