Dua sutradara progresif Bachtiar Siagian dan Trumbo Dalton [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Ia dibebaskan dari kamp Pulau Buru pada 1979. Akan tetapi, kebebasan nampaknya tidak menjamin kehidupan Bachtiar Siagian, sineas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu akan membaik. Justru kepelikan hidup kian membebani karena sulitnya mencari pekerjaan.

Kendati ia pernah meraih penghargaan Sutradara Terbaik pada 1960, Bachtiar dilarang rejim Orde Baru kembali menekuni dunia film. Namanya telah masuk “daftar hitam” Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Ia dicap sebagai orang yang tidak “bersih lingkungan”.

Meski begitu, Bachtiar tidak patah arang. Ia mencoba tetap berkarya lewat film. Bachtiar menulis skenario film semi-dokumenter tanpa mencantumkan namanya. Cara itu terbukti berhasil. Beberapa karyanya yang berhasil difilmkan tanpa namanya, antara lain: Intan Mendulang Cinta (1985), Tiga Dara Mencari Cinta (1986), dan Busana Dalam Mimpi (1987).

Seperti Bachtiar, penulis skenario kenamaan Amerika Serikat, Dalton Trumbo, juga pernah mengalami nasib serupa. Trumbo sempat mengalami peristiwa buruk karena pandangan politiknya cenderung komunis. Waktu itu Amerika Serikat memang sedang dilanda fobia komunis karena Perang Dingin. Komunis dianggap sebagai sesuatu yang “mengerikan” dan bisa memicu perang saudara di negeri Uwak Sam itu.

Trumbo yang lahir pada 1905 itu memulai karirnya sebagai novelis dan penulis skenario film di Hollywood pada 1930-an. Ia disebut sebagai salah seorang dari “The Hollywood Ten”. Karena berbagai tekanan pada masa 1950-an, Trumbo harus mendekam di penjara, masuk “daftar hitam”, dan tidak ada satu pun studio film yang mau menerima karyanya.

Trumbo kemudian memutuskan untuk menggunakan nama orang lain atau alias ketika menulis naskah. Ia mengunjungi salah satu studio film untuk menjual naskahnya. Studio itu tertarik dan Trumbo banyak bekeja dengan studio ini, baik menulis naskah baru maupun menulis naskah-naskah yang sudah ada. Dengan cara demikian, Trumbo meraih penghargaan Piala Oscar atas naskahnya untuk film berjudul Roman Holiday dan The Brave One. Karena namanya masih masuk “daftar hitam”, ia tak bisa menghadiri acara pemberian Piala Oscar tersebut.

Baru belakangan, diawali film Spartacus (yang dibintangi Kirk Douglas) dan Exodus (sutradara Otto Preminger), namanya dicantumkan lagi sebagai penulis skenario. Dan Trumbo pun diakui sebagai salah satu penulis skenario film terbaik Amerika Serikat, bahkan dunia.

Berbeda dengan Trumbo, karya-karya Bachtiar yang diproduksi menjadi film tanpa menyertakan namanya sudah tidak pernah meraih penghargaan sejak 1960 itu.

Meski demikian, keluarga Bachtiar dalam tahun-tahun terakhir ini berupaya menelusuri dan mengumpulkan kembali karya-karyanya. Tidak hanya film, tapi juga novel, cerita pendek, puisi, dan naskah-naskah drama. Setidaknya dari pengumpulan itu, keluarga Bachtiar sudah mampu mendigitalisasi satu novel, satu kumpulan cerpen, dan satu kumpulan catatan Bachtiar Siagian selama pembuangan di Nusa Kambangan dan Pulau Buru.

Untuk film, keluarganya bahkan menelusuri hingga ke Vietnam. Disebutkan Sinematek Vietnam kemungkinan menyimpan duplikasi film Bachtiar. Akan tetapi, untuk mendapatkannya harus melalui jalur pemerintah ke pemerintah.

Keluarga Bachtiar sungguh berharap film-filmnya bisa dikumpulkan karena bagaimanapun itu penting untuk menjadi pembelajaran generasi selanjutnya. Apalagi bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pejuangnya. Dan Bachtiar Siagian adalah pejuang kemerdekaan negeri ini. [KRG]