Orang-orang di banyak negara merayakan pergantian tahun pada malam tanggal 31 Desember hingga 1 Januari. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memeriahkan suasana, seperti bermain kembang api, menyantap makanan yang diyakini membawa keberuntungan, dan membuat resolusi tahun baru.
Hal tersebut merupakan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun dari mana asal usul dan sejarah perayaan ini?
Ternyata, perayaan tahun baru pertama di dunia dimulai pada zaman Babilonia sekitar 4.000 atau 2.000 tahun yang lalu. Melansir dari situs resmi History, orang Babilonia mengadakan festival keagamaan besar yang disebut Akitu. Festival ini menandai munculnya bulan baru pertama setelah ekuinoks musim semi (vernal equinox), yaitu momen ketika matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa dan siang dan malam memiliki durasi yang sama.
Vernal equinox terjadi pada tanggal 20 atau 21 Maret di Belahan Bumi Utara, lokasi di mana Babilonia berada. Kota kuno tersebut terletak di wilayah Irak pada masa kini.
Akitu merupakan kata dalam bahasa Sumeria yang berarti jelai (barley), yaitu tanaman biji-bijian atau serealia yang memiliki karakteristik seperti beras putih dan beras coklat. Masyarakat Babilonia biasa memotong jelai pada musim semi. Mereka mengarak patung para dewa melalui jalan-jalan kota dan mengadakan ritual yang berbeda pada masing-masing dari 11 hari perayaan festival Akitu.
Masyarakat Babilonia juga merayakan kemenangan dewa Marduk atas dewi laut Tiamat yang jahat dalam festival Akitu. Pada masa ini pula pemerintah Babilonia menobatkan raja baru atau memperbarui mandat ilahi penguasa secara simbolis.
Salah satu ritual yang diadakan dalam festival Akitu adalah ritual penghinaan terhadap raja. Pada pelaksanaannya, raja dibawa ke hadapan patung dewa Marduk, dilucuti dari semua tanda kebesarannya, dan dipaksa bersumpah bahwa dia telah memimpin kota dengan terhormat. Seorang pendeta tinggi kemudian akan menampar sang raja, menjewer telinganya, dan menyeretnya untuk membuatnya menangis. Jika sang raja meneteskan air mata, artinya dewa Marduk puas dengan kepemimpinannya dan secara simbolis telah memperpanjang kekuasaannya.
Tahun Baru Tanggal 1 Januari
Penetapan 1 Januari sebagai tanggal tahun baru berasal dari kebijakan yang diterapkan oleh diktator Romawi Kuno Julius Caesar.
Pada masanya, Roma menggunakan Kalender Romawi kuno yang terdiri dari 10 bulan dan 304 hari, dengan setiap tahun baru dimulai pada titik balik musim semi. Kalender ini diyakini diciptakan oleh Romulus, pendiri sekaligus raja pertama Roma, pada abad 8 SM. Kemudian raja Roma berikutnya, Numa Pompilius, menambahkan bulan Januarius dan Februarius ke dalamnya.
Selama berabad-abad, kalender Romawi Kuno tidak lagi selaras dengan pergerakan matahari. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Julius Caesar berkonsultasi dengan para astronom dan matematikawan terkemuka, seperti Sosigenes dari Alexandria, pada tahun 46 SM. Dia lalu memperkenalkan kalender Julian, di mana satu tahun dibagi menjadi 12 bulan, yang semuanya memiliki 30 atau 31 hari kecuali Februari.
Sebagai bagian dari reformasinya, Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari pertama tahun untuk menghormati Janus, dewa Romawi yang memiliki dua wajah. Nama dewa tersebut dijadikan nama bulan Januari. Bangsa Romawi merayakan tanggal 1 Januari dengan mempersembahkan kurban kepada dewa Janus, bertukar hadiah, menghias rumah mereka dengan cabang pohon salam, dan menghadiri pesta yang riuh.
Di Eropa pada abad pertengahan, para pemimpin Kristen mengganti tanggal 1 Januari sebagai hari pertama tahun dengan hari-hari yang memiliki makna lebih religius, seperti tanggal 25 Desember (hari kelahiran Yesus) dan tanggal 25 Maret (Hari Raya Kabar Sukacita). Paus Gregorius XIII kembali menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru pada tahun 1582.
Sebagian besar negara di Eropa dan koloninya secara resmi menerima tanggal 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru. Perayaannya pun dilaksanakan hingga masa kini dan menjadi tradisi di seluruh dunia. [BP]