Operasi penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dilakukan selama bertahun-tahun. Ada yang menilai, itu upaya memuluskan jalan ekonomi dunia kapitalis.
INTERNATIONAL People’s Tribunal (IPT) 1965 pada 20 Juli 2016 lalu memutuskan, Indonesia harus bertanggungjawab terhadap 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi pada 1965 dan sesudahnya. Terungkap juga dalam keputusan pengadilan rakyat tersebut, korban Tragedi 1965 bukan hanya orang-orang atau pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tidak diarahkan ke orang-orang tertentu, tetapi meluas,” kata Ketua Majelis Hakim Zak Yacoob.
Kenyataannya memang demikian. Tak sedikit korban dari Tragedi 1965 adalah pendukung Presiden Soekarno atau soekarnois dan kader atau simpatisan Partai Nasional Indonesia (PNI), bukan PKI.
Dalam proses persidangannya yang dilangsungkan di Den Haag, Belanda, November 2015 lalu, juga dihadirkan seorang perempuan yang menjadi saksi korban tragedi itu yang merupakan seorang soekarnois. Namanya Sri Sulistyawati.
Sri oleh rezim militer Orde Baru dituding dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi sayap dari PKI, padahal ia bukan anggotanya. Akhirnya, rezim di bawah komando Jenderal Soeharto itu menjebloskan Sri ke dalam penjara selama 11 tahun.
Korban lain adalah Legimin. Ia ditangkap dan dipenjarakan karena ada tetangganya yang menempelkan atribut PKI di dinding luar rumahnya. Padahal, dia bukan anggota PKI atau partai politik apa pun.
Memang, setelah Peristiwa 30 September 1965, terutama tahun 1968, rezim Orde Baru melakukan operasi penangkapan dan pembunuhan, tanpa arahan yang jelas, asal-asalan, membabi buta. Di Purwodadi, misalnya, operasi ini dilakukan di bawah koordinasi Komandan Komando Distrik Militer 0717. Mereka dibantu Batalyon 404 dan 409 dari Kodam Diponegoro. Nama operasinya Operasi Kikis. Targetnya termasuk orang-orang yang disebut sebagai Soekarno Sentris (SS).
Dalam buku Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966 juga diungkapkan, setidaknya ada tujuh gubernur yang merupakan soekarnois yang menjadi korban dari operasi yang dilakukan TNI Angkatan Daratketika itu. “Gubernur Bali hilang dijemput empat pria berseragam TNIAD dari kediamannya di Kompleks Senayan pada tanggal 29 Juli 1966,” kata penulis buku tersebut, Aju, dalam sebuah diskusi yang diadakan di kantor YLBHI, Jakarta, Oktober 2015 silam.
Dalam diskusi itu, anak kandungSutedja, AAGAB Sutedja, juga mengatakan, ketika pemerintahan beralih ke masa Orde Baru, simpatisan Soekarno di Bali hilang diculik dan dibunuh, termasuk ayahnya yang saat itu menjabat Gubernur Bali. Padahal, kepemimpinan ayahnya saat itu tidak bermasalah apapun. “Jika bersalah selama kepemimpinannya, seluruh rakyat Bali akan mendiskriminasikannya dan seluruh keluarganya. Justru sebaliknya, saat Gubernur Bali AAB Sutedja dinyatakan hilang, warga Bali berbondong-bondong mendatangi rumah kediaman kami untuk turut larut berduka,” tuturnya.
Selain Sutedja, yang menjadi korban adalah Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar.Tujuh gubernur itu, kata Aju, memang pendukung setia Soekarno.
Mereka “dibersihkan” dengan berbagai cara. Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, misalnya, diciduk dari kediamannya oleh massa yang bergerak cepat dan kemudian dijebloskan ke penjara.“Proses selanjutnya menjadi serba-misteri, karena Oeloeng Sitepu, dinyatakan meninggal dunia dalam tahanan. Banyak spekulasi muncul, termasuk diantaranya dugaan penyiksaan dan penganiayaan selama dalam tahanan, sehingga Oloeng Sitepu meninggal dunia,” tutur Aju.
Satyagraha, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia, juga diciduk oleh militer. Ia memang pernah menjadi wartawan istana dan dekat dengan Bung Karno. “Saat itu, saya dan John Lumingkewas mau menjemput Karim DP di tempat persembunyiannya di Bandung. Begitu sampai di tempat itu, ternyata sejumlah tentara sudah ada di sana. Akibatnya, saya dan John juga ikut ditangkap,” katanya.
John Lumingkewas adalah Wakil Sekjen DPP PNI, sedangkan Karim DP ketika itu menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Karim DP sempat buron karena namanya tercantum dalam Dewan Revolusi, yang diumumkan Letkol Oentung—komandan Gerakan 30September.
“Saya masih dipenjara ketika Bung Karno meninggal dunia, 21 Juni 1970. Saya mendapat informasinya pada tanggal 22 Juni. Mendapat kabar itu, saya tak bisa menahan tangis. Bung Karno, tokoh yang saya kagumi dan hormati itu, telah wafat dan saya tak bisa ikut mengantar jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir,” tuturnya.
Tapi, ia mengaku tak pernah menyesali di penjara lima tahun tanpa pengadilan itu. “Saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup saya,” kata Satyagraha.
Dalam buku The Contours of Mass Violence in Indonesia,1965-68yang disunting Douglas Kammen dan Katharine McGregor dinyatakan, usaha-usaha untuk menyelidiki program menghabisi Orde Soekarno itu tidak mudah. Karena, selama berkuasa, Orde Baru menutup semua celah untuk melakukan penelitian mendalam soal pembantaian ini.
Ironisnya, setelah Orde Baru tumbang, kesulitan-kesulitan untuk menyelidiki sejarah kelam ini tetap ada. Tantangan datang tidak saja dari negara—khususnyadari militer Indonesia—namunjuga dari masyarakat sipil. Sebagian dari kelompok masyarakat sipil ini diperalat oleh militer dan negara. Sebagian lagi “termakan” propaganda palsu yang dilancarkan rezim Orde Baru secara massif dan rentang waktu yang panjang, sehingga terjadi pengidentifikasian bahwa soekarnois dan PNI juga bagian dari PKI. Bahkan, tertanam juga pandangan yang gebyah uyah bahwa semua gerakan Kiri, gerakan yang membela kaum tertindas dan anti-kapitalisme, adalah gerakan PKI atau berlandaskan komunisme.
Dalam pengantar buku The Contours of Mass Violence in Indonesia,1965-68 yang ditulisdua editornya diajukan pertanyaan mengapa pembunuhan massal terjadi pada masa itu. Banyak ahli yang memusatkan kajian pada korban menyebutkanpembantaianmassalitu adalah sebuah usaha untuk mengeliminasi PKI dari panggung politik Indonesia. Namun, menurut kedua penyunting tersebut, jawaban tersebut oversimplikasi. Karena, usaha pemberantasan terhadap PKI sesungguhnya sedikit banyak telah dituntaskan pada Desember 1965. Sejak saat itulah saingan politik utama TNI-Angkatan Darat sudah habis. Langkah TNI Angkatan Darat berikutnya adalah membabat kekuasaan Soekarno, yang pada ujungnya menjungkalkannya dari kekuasaan pada Maret 1966.
Tidak berhenti sampai disana, TNI Angkatan Darat di bawah komando Jenderal Soeharto kemudian membersihkan tubuh tentara dan birokrasi dari orang-orang Kiri. Mereka kemudian juga membersihkan partai-partai politik.
Semua itu dilakukan oleh TNI-Angkatan Darat dengan kecepatan dan efisiensi yang sangat mengagumkan. Menurut kedua editor tersebut, pembantaian massal tahun 1965 tidak hanya berhenti pada penumpasan kekuatan politik Kiri dan pembantaian kaum Kiri, namun “sebuah reorganisasi segenap kekuatan sosial dan reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia kapitalis”. Singkatnya, pembantaian massal ini adalah sebuah kontra-revolusi, dengan melakukan genosida terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuhnya. [Didit Sidarta/Purwadi]