Koran Sulindo – Wabah virus corona meluluhlantakkan bisnis apapun. Virus dengan nama ilmiah SARS-CoV-2 ini menyerang segala lini bisnis. Tak terkecuali perusahaan berbasis teknologi, yang di era industri 4.0 dianggap memiliki visi dan masa depan cerah ternyata juga tak kebal dari dampak virus corona.
Perusahaan berbasis teknologi atau biasa disebut startup di banyak negara sudah banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Malahan ada yang sudah mengibarkan bendera putih alias menyudahi bisnisnya akibat Covid-19.
Misalnya startup hotel Airy Rooms yang menutup bisnisnya secara permanen akibat pandemi Covid-19. Awal Mei lalu, Airy resmi menghentikan operasi bisnisnya. Tentu saja akibat kebijakan lockdown, bisnis pemesanan hotel ini harus berhenti.
Di Indonesia juga tanda-tanda bisnis perusahaan teknologi terganggu mulai kelihatan. Gojek, startup kasta tertinggi dengan pangkat decacorn ini pun harus mengurangi pegawainya sekitar 430 orang. Jumlah itu setara 9% dari total karyawan Gojek.
Dalam penjelasannya, Gojek menyebutkan alasan PHK terhadap 430 karyawan akibat layanan GoLife, yakni GoMassage dan GoClean merosot tajam. Kedua lini bisnis ini memang butuh interaksi jarak dekat sehingga mengalami penurunan saat pandemi corona.
Kabar pahit ini memang kian melengkapi rentetan kejadian sebelumnya, ketika Grab memberhentikan 360 pekerja atau 5% dari total pegawai, termasuk di Indonesia.
Dari mancanegara, jaringan hotel bujet OYO, yang didukung perusahaan investasi SoftBank, harus melakukan PHK 5.000 karyawannya akibat kinerja tertekan wabah corona.
Lalu startup akomodasi dan wisata Airbnb telah mem-PHK 1.900 karyawannya atau sekitar 25% dari tenaga kerja perusahaan. “Kita bersama-sama hidup dalam krisis yang paling mengerikan yang menyebabkan perjalanan global (inti bisnis Airbnb) terhenti. Bisnis Airbnb terpukul sangat keras,” tulis CEO Airbnb Brian Chesky dalam surat yang dikirimkannya kepada seluruh karyawannya mengutip Tech in Asia.
Bisnis yang berkaitan dengan pariwisata dan transportasi memang yang paling kencang terpukul wabah corona. Operasional bisnis perusahaan tersebut akan lesu karena permintaan juga jauh berkurang dari sebelum-sebelumnya. Banyak yang memproyeksi sulit bagi startup di sektor travel untuk pulih. Masalahnya, tak ada yang tahu persis kapan persoalan virus corona ini akan berakhir. Artinya, perusahaan di sektor travel sulit untuk langsung bangkit setelah persoalan virus corona selesai.
Tekanan terhadap bisnis startup ini akan semakin kencang jika melihat pola bisnis para startup ini. Perusahaan startup yang tidak mempunyai model mumpuni pun akan tergerus dengan waktu. Apalagi jika ternyata model bisnis para startup ini adalah dengan teori membakar uang.
Istilah bakar uang ini memang lazim terdengar di dunia perusahaan rintisan, istilah ini diartikan sebagai sebuah kegiatan menghabiskan uang yang banyak untuk sebuah proses bisnis tertentu, umumnya lebih ditekankan kepada proses pengembangan bisnis seperti marketing dan akuisisi pasar.
Kegiatan bakar uang ini umumnya dilakukan perusahaan rintisan dengan memberikan diskon yang besar yang tujuannya agar konsumen tertarik untuk menggunakan layanannya. Para perusahaan rintisan ini untuk meningkatkan jumlah penggunanya dengan menawarkan berbagai promo, baik berupa diskon maupun cashback.
Teori bakar uang ini pelan-pelan mulai tak bisa dilakukan. Ataupun jika harus dilakukan maka harus ada efisiensi yang dilakukan. Sebelum corona menyerang beberapa kali kita mendengar juga ada beberapa startup yang melakukan pengurangan jumlah karyawan untuk efisiensi. Di Indonesia ada BukaLapak yang sudah lebih dulu mengurangi karyawan.
Terinfeksi Corona
Sebelum corona, startup Uber, juga melakukan langkah yang sama. Tahun lalu, aplikasi ride- hailing ini memberhentikan 435 karyawan. Manajemen Uber mengaku pengurangan 8% karyawan di divisi tersebut dilakukan dalam rangka ‘mengatur ulang’ perusahaan.
Di kala corona, bisnis Uber semakin terinfeksi dengan virus mematikan ini. Uber melakukan PHK terhadap 3.700 karyawannya atau setara dengan 14% total jumlah pekerja.
CEO Uber Dara Khosrowshahi menyatakan bahwa Covid-19 memporak-porandakan dunia transportasi. Menurut Khosrowshashi, bisnis ride-sharing Uber turun hingga 80% di bulan April lalu.
Bisnis Uber yang didukung Softbank ini memang hancur lebur. Softbank salah satu investor gaek ini memang sangat merasakan pahit dari bisnis bakar duit. Perusahaan investasi asal Jepang ini merasakan duit yang ditanamkan ke perusahaan teknologi yang cuma mengandalkan teori bakar duit akan sulit mendapatkan untung. Uber salah satuya. Ditambah lagi dengan startup WeWork yang Softbank danai juga bisnisnya berantakan.
Softbank Group mencatat rugi bersih tahun fiskal 2019 sebesar US$ 8,9 miliar atau setara Rp 133,5 triliun akibat terimbas pandemi dan kesalahan investasi di WeWork. Kerugian ini lebih besar dari proyeksi perusahaan sebelumnya sebesar US$ 8,4 miliar. Saat itu, manajemen sudah mengingatkan investor terkait kondisi ‘pasar yang memburuk’.
SoftBank mengungkapkan divisi investasinya termasuk Vision Fund mendanai para startup unicorn dunia yang terkena dampak buruk dari pandemi Covid-19. Divisi ini melaporkan kerugian operasional 1,36 triliun yen atau setara US$ 12,6 miliar. “Bila pandemi corona terus berlanjut akan membuat ketidakpastian pada bisnis investasi selama satu tahun fiskal berikutnya,” demikian penyataan perusahaan seperti dilansir dari Reuters akhir Mei lalu.
Softbank juga melakukan penarikan duit di beberapa perusahannya. Semisal, perusahan ini menjual sahamnya di T-Mobile dan Alibaba. Softbank ini juga merupakan investor di startup Grab dan Tokopedia.
Kisah bisnis perusahaan rintisan ini diuji di masa wabah corona ini. Model bisnis bagi startup kini tak bisa lagi mengandalkan bakar uang. Sudah terbukti teori itu tak berjalan mulus.
Setelah menikmati bulan madu dengan konsumen, para perusahan rintisan ini pun harus berusaha kembali tidak lagi menggunakan teori bakar uang. Tekanan akan bertambah di saat para investor mulai merengek minta untung. Kebanyakan startup adalah perusahaan yang mendapatkan pendanaan dari investor baik skala lokal dan global.
Nilainya memang tidak main-main bisa mencapai miliaran rupiah. Nah, tekanan ke startup itu akan bertambah ketika investor ini mulai menagih keuntungan ke perusahaan rintisan ini. Meski tidak ada yang tahu, berapa lama para investor ini akan menagih untungnya.
Data 2019, Indonesia memiliki 2.000-an lebih startup. Jangan sampai startup yang digadang-gadang bersinar malahan menciptakan gelembung ekonomi yang bisa pecah sewaktu-waktu. [Kenourios Navidad]