Awas, Bahaya (tak) Laten (lagi) Orde daripada Soeharto!

Ilustrasi/scmp.com

Setelah ditumbangkan 20 tahun lalu, pemerintahan Jenderal Soeharto yang ia namakan Orde Baru bangkit lagi. Bahaya ini nyata. Tak laten lagi.

Koran Sulindo – Pada sekitar Maret 2018 lalu, Partai Berkarya yang didirikan Hutomo Mandala Putra (Tommy), anak lelaki terkecil mantan Presiden Soeharto dan konon putra kesayangannya, membuat banyak orang tertawa. Mereka mematok target jauh tinggi di atas awan: menjadi peringkat ketiga dalam pemilihan legislatif April 2019.

Namun belum setahun berlalu, virus tertawa yang melanda banyak orang itu dan bibit-bibit hendak membuat lucu target Berkarya tersebut, mungkin harus pelan-pelan harus dianggap bukan lelucon.

Pekan lalu partai yang menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki 409.022 anggota dengan tingkat keterwakilan perempuan mencapai 36,36 persen itu, terbesar di Indonesia, melaporkan Wakil Sekertaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Ahmad Basarah ke polisi.

Entah Tommy Soeharto sungguh anak yang berani atau entah Ketua Umum Partai Berkarya itu sudah membikin hitungan-hitungan matang, namun gugatan hukum seseorang dari partai baru dan gurem terhadap seseorang dari partai besar, pemenang pemilihan umum (Pemilu) terakhir, dan kini bisa dikatakan sebagai partai penguasa, tak bisa dianggap main-main.

Basarah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Anhar, mengatasnamakan Forum Advokat Penegak Keadilan dan Soehartonesia, yang menganggap pernyataan Basarah sangat keji, karena tak ada satupun putusan pengadilan berkekuatan tetap yang menyebut Soeharto bersalah pada kasus tindak pidana korupsi.

“Kami betul-betul sangat terpukul dan sangat dirugikan mengingat Soeharto bagi kami adalah tokoh bangsa, adalah guru bangsa, adalah bapak pembangunan,” kata Anhar, awal pekan lalu, pada koransulindo.com.

Kuasa hukum forum advokat itu, Djamaluddin Koedoeboen, mengatakan kliennya membawa beberapa barang bukti sebagai penguat laporan, di antaranya salinan pernyataan yang diberitakan di beberapa media online nasional.

“Barang bukti ucapan beliau melalui media yang memang itu kami bawa photocopy-nya dan diserahkan ke Bareskrim, photo copy dari kliping-klipingnya, sosmed,” kata Djamaluddin.

Menurut Djamaluddin, pernyataan Basarah termasuk ke dalam kategori penghinaan terhadap Soeharto. Ia menduga Basarah mempunyai motif tersembunyi karena juga juru bicara Tim Kampanye Nasional ((TKN) Jokowi-KH Ma’ruf Amin.

Sementara rombongan orang tua dan purnawirawan tentara yang tergabung dalam Brigade Haji Muhammad Soeharto (HMS) menyambangi Mabes Polri, awal pekan lalu.

Para penggemar Soeharto itu jauh-jauh datang dari Bandung, Jawa Barat, mendesak polisi memproses laporan dugaan penghinaan Basarah terhadap Soeharto.

“Kami mendorong dan mendesak agar Polri memproses. Apa yang diucapkan oleh Ahmad Basarah yaitu “Soeharto merupakan guru korupsi di Indonesia”, sangat tidak pantas dikeluarkan seorang wakil ketua MPR,” kata Koordinator Brigade HMS, Dadang S. Kadireja.

Sebelumnya, Basarah memang menilai maraknya korupsi di Indonesia dimulai sejak era Presiden Soeharto.

“Jadi guru dari korupsi di Indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo,” kata Basarah, awal bulan ini.

Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, adalah ketetapan yang unik karena secara khusus menyebut nama Soeharto. Tap MPR itu bersifat konkrit individual dan satu-satunya satu-satunya TAP MPR yang menyebut nama orang. Nama Soeharto disebut secara khusus pada Pasal 4 Tap MPR dengan redaksional berupa “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Pernyataan politik Basarah itu menanggapi pernyataan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang mengatakan “penyakit kanker korupsi” di Indonesia sudah sangat parah dan masuk stadium 4.

Menurut Basarah, dalam kesempatan lain, koalisi parpol pendukung paslon Capres 02 juga mengkampanyekan keinginannya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kekuasaan di era Orde Baru dengan slogan kampanye ‘Masih enak jamanku (Orde Baru) tho…’

Apa yang disampaikan Basarah tidak terlepas dari tanggungjawabnya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Termasuk menyampaikan informasi dengan cara yang benar dan seimbang terhadap berbagai upaya yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai kekuasaan pada masa jaman Orde Baru.

“Kesalahan dan kekeliruannya jangan dibenar-benarkan apalagi akan dilanjutkan,” kata Basarah.

Kebangkitan Soehartois

Semenjak Soeharto berhenti sebagai presiden pada Mei 1998, tak sampai 5 tahun keluarga Cendana, berdasar alamat rumah despot itu di Menteng, Jakarta, pelan-pelan keluar lagi ke peradaban. Tapi hingga 15 tahun terakhir ini keluarga itu  tak memperlihatkan karir nan cemerlang di jagat politik Indonesia.

Putri pertama Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), yang ikut Pemilu 2004 gagal, karena Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) miliknya hanya menjadi partai gurem.

Keluarga Cendana mulai muncul lagi pada 2009 tatkala Tommy Soeharto ingin menguasai Partai Golkar bentukan bapaknya dengan ikut Munaslub di Riau. Namun tak satupun suara memilih dia. Tommy lalu membuat partai baru yakni Partai Nasional Republik namun tak lolos verifikasi dan gagal ikut Pemilu 2014.

Siti Hediati Hariyadi (Titiek) Soeharto, mantan istri Prabowo Subianto, sekarang menjadi anggota DPR dari Partai Golkar periode 2014-2019. Ia bahkan menjabat Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, sebelum pindah ke Partai Berkarya bentukan adiknya. Pada Pilkada DKI Jakarta lalu, Titiek terang-terangan mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Padahal, Golkar mendukung Basuki T Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Anies pun muncul dan sempat berfoto bersama Tommy pada acara Haul Soeharto sekaligus peringatan Supersemar yang digelar di Masjid At-Tin, Maret 2018 lalu.

Tak terasa anak-anak orang nomor 1 Indonesia sepanjang 33 tahun itu sudah kembali ke arena perpolitikan tanpa orang banyak bertanya atau mempertanyakan. Pelan-pelan mereka tak bersembunyi lagi. Tak terlihat laten lagi.

Lihatlah Partai Berkarya. Jumlah anggota partai yang belum lama lahir itu jauh di atas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagai contoh, yang hanya 339.224 orang memiliki kartu anggota resmi. Memang partai dengan lambang dan warna seperti Partai Golkar itu hanya menggantungkan nasib pada mas Tommy, orang yang pernah dijatuhi pidana penjara 15 tahun karena menyuruh membunuh seorang hakim agung dan baru bebas bersyarat pada 2011 lalu.

Pada Pileg 2019 nanti satu partai beraroma Soeharto lainnya adalah Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda). Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana adalah bekas Presiden Direktur PT Cipta Televisi Indonesia (TPI), stasiun televisi milik Tutut. Jadi gampang dirunut dari mana aliran uang partai bermuara. Partai yang didirikan pada 16 April 2015 itu mendapat nomor urut 6 pada pengundian di KPU pertengahan Februari lalu, sama seperti partai bentukan sisa-sisa laskar Cendana lainnya, tak pernah mewartakan ideologinya.

Target pemilih yang disasar Partai Berkarya dan Partai Garuda adalah mereka yang pernah merasakan pemerintahan Soeharto. Jumlah yang kecil bersama berlalunya waktu. Apalagi Pileg 2019 nanti para pemilih muda mendominasi, sebagian besar tak tahu Soeharto, Orde Baru, dan bagaimana cara mereka berkuasa.

Ilustrasi/anri

Dan tepat di sinilah mereka tampil ke panggung. Tommy mengadukan Basarah ke meja hukum.

Lalu Tommy memuji Orde Baru mengelola pertanian sambil mengatakan pemerintahan saat ini gagal mengembangkan pertanian.

“Pemerintah gagal. Kenapa sekarang petani tidak maju dan berkembang karena pemerintah hanya memberi bibit tidak diberi pembinaan mana bibit yang baik, bagaimana cara mengolahnya bagaimana cara menanamnya, bagaimana cara membersihkan hamanya,” kata Tommy, saat mengukuhkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Laskar Berkarya, di Hotel Mirah Bogor, akhir November lalu.

Adapun Titiek berjanji menghidupkan kembali orde zalim bentukan bapaknya. Ia memamerkan swasembada pangan yang dicapai Orde Baru. Dalam temu relawan lintas ormas pendukung Prabowo-Sandiaga Uno di Cilegon, Banten, pekan lalu, Titiek mengatakan Orde Baru pernah swasembada pangan dan mendapat penghargaan internasional.

“Sebenarnya kita bisa swasembada asal mau, jadi kita berkampanye bahwa kita akan meneruskan program Pak Harto yang berhasil untuk menyejahterakan rakyat,” kata Titiek.

Titiek juga meyakini keberhasilan Orde Baru akan dicapai kembali jika mantan suaminya itu terpilih sebagai presiden.

Sisa-sisa Laskar?

Melangkah melewati demokrasi elektoral yang berlangsung sejak bapaknya dijatuhkan para mahasiswa pada 1998, cara Cendana kembali menuju kekuasaan mendapat basis legal formal.

Partai-partai yang didirikan sisa-sisa laskar Cendana itu berhak mengikuti Pemilu tahun depan. Ini mungkin saja permainan terakhir mereka menggunakan demokrasi elektoral, tapi satu hal sudah jelas: mereka mungkin belum akan mati dalam waktu dekat. Sebagian besar raksasa politik dan ekonomi yang berkuasa saat ini, paling tidak di belakang layar, adalah mereka yang berhutang budi pada sosok Soeharto, diakui atau tidak. Beberapa malah masih ada di lingkaran dalam kekuasaan kini.

Mereka ingin masa-masa antara 27 Maret 1967, ketika Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden dalam sidang istimewa Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS), hingga ia berpidato berhenti dari kedudukan sebagai presiden pada 20 Mei 1998, 32 tahun yang serasa berabad-abad itu, kembali menjelma di Indonesia.

Mimpi buruk ini jangan dianggap enteng dan muskil terjadi. Mereka telah mulai bekerja dan mereka memiliki segala-segala yang dibutuhkan untuk memenangkan pertempuran pada Pemilu 2019 nanti. Waspadalah. Waspadalah. [Didit Sidarta]