INDONESIA setelah Proklamasi Kemerdekaan punya banyak sejarah kelam. Yang paling kelam adalah pembantaian massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965. Ratusan ribu nyawa melayang di tangan saudara sebangsa sendiri dan tak sedikit yang melakukan pembunuhan itu dengan cara-cara yang susah dibayangkan akal sehat: sangat sadis.
Awalnya, yang menjadi sasaran adalah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi, kemilau kursi kekuasaan telah membuat banyak orang di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto menjadi seperti babi buta: siapa saja yang berada di depannya dianggap menganggu jalan dan harus dienyahkan. Bung Karno dan para pendukungnya pun menjadi korban.
Soeharto menjelaskan alasannya dalam sebuah kesempatan: banyak orang PKI yang berlindung di barisan pendukung Soekarno. Namun, alasannya itu jelas tak bisa diterima nurani yang berbudi. Karena, ya, itu tadi: korban berjatuhan dan benar-benar dihinakan kemanusiaannya. Bahkan Bung Karno pun dinistakan. Padahal, Bung Karno punya kontribusi yang sangat besar bagi lepasnya cengkeraman penjajah di Bumi Indonesia—dan juga di banyak negara lain.
Sekali lagi: kemilau kekuasaan memang bisa membutakan. Karena itu, selalu ada kemungkinan Indonesia akan kembali ditimpa kekelaman demi kekelaman lagi akibat perebutan kekuasaan. Sejarah bisa berulang.
Pencegahan perlu dilakukan terus-menerus oleh semua pihak yang masih mencintai negeri ini. Tanggung jawab yang besar memang ada di pundak pemerintah, apa boleh buat. Karena, pemerintahlah yang mendapat amanat sebagai penyelenggara utama negara, dengan berbagai fasilitas yang diterima, termasuk bekal jaminan dari konstitusi.
Beban tanggung jawab bertambah di bahu pemerintah yang sekarang. Karena, kepala pemerintahannya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai yang memiliki pertalian yang erat dengan Bung Karno, baik pertalian darah, cita-cita, maupun ideologi. Presiden Joko Widodo sudah seharusnya bekerja lebih keras membuat dan mewujudkan program-program yang dapat mencegah Indonesia dirundung kekelaman lagi. Juga mewujudkan cita-cita Bung Karno dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, agar negara ini menjadi negara yang berdaulat dan bangsanya sejahtera.
Mempelajari sejarah dan menjadikan itu sebagai gerakan nasional pun menjadi keniscayaan. Ini merupakan langkah yang tak kalah pentingnya dengan pembangunan di bidang ekonomi dan sebagainya. Apalagi di era sekarang, era informasi tanpa tapal batas, dengan gelombangnya yang massif, yang sangat bisa membuat banyak orang memiliki ingatan pendek, menderita amnesia sejarah.
Revolusi Mental tanpa pijakan dan kesadaran sejarah yang kuat jugahanya akan menjadi angan-angan. Begitupun dengan keinginan-keinginan lain yang diucapkan Joko Widodo selama masa kampanye sampai menjadi presiden, hanya akan menjadi seperti panggang yang jauh dari api.
“Warisi apinya dan jangan abunya.Dan teruskan apinya itu menyala-nyala untuk persatuan seluruh rakyat marhaen yang revolusioner, menuju ke arah kemenangan segala cita-cita revolusi kita, membangun sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila,” demikian pesan Bung Karno dalam pidatonya di acara Ulang Tahun Partai Nasional Indonesia, 7 Juli 1963. []