Koran Sulindo – Semakin banyak orang yang menilai Australia sebagai negara yang rasis. Demikian hasil survei dua tahunan lembaga Barometer Rekonsiliasi Australia, sebagaimana diberitakan australiaplus.com. Survei lembaga tersebut mengukur sikap terhadap ras dan persepsi rekonsiliasi dengan masyarakat Aborijin dan penduduk Selat Torres.

Menurut survei itu, baik masyarakat Aborijin maupun masyarakat umum menilai Australia telah menjadi tempat yang lebih rasis untuk ditinggali dibandingkan dua tahun lalu. “Beberapa masalah serius… menjadi alasan di balik beberapa bidang mengapa kita tak bisa bergerak maju cukup cepat saat kita berjuang sebagai sebuah bangsa,” kata CEO Rekonsiliasi Australia, Justin Mohamed.

Dari survei yang disusun sejak Agustus 2016 lalu tersebut ditemukan, 57% masyarakat Aborijin dan 39% dari masyarakat umum berpikir Australia adalah negara yang rasis. Hasil ini naik masing-masing dari 48% dan 35% pada tahun 2014. “Apa yang kami lihat sejak survei pertama pada tahun 2008—setelah permintaan maaf nasional atas generasi yang hilang—walau kita mempertahankan begitu banyak niat baik sejak saat itu, kita tak bergerak cukup cepat pada isu-isu rasisme dan kepercayaan,” tutur Mohamed.

Semua itu, tambahnya, menghambat warga Australia untuk memiliki hubungan positif di antara satu sama lain. Survei tersebut juga menemukan, dalam rentang waktu enam bulan menjelang survei, hampir setengah (46%) dari warga Aborijin Australia mengalami setidaknya satu bentuk prasangka rasial—naik dari 39% pada tahun 2014.

Diungkapkan Mohamed pula, fenomena ini mengkhawatirkan pada satu sisi, namun juga bisa mewakili peningkatan kesadaran tentang apa itu rasisme. “Telah terjadi sedikit edukasi yang wajar tentang apa itu rasisme dan kami telah melihat iklan-iklan tentang hal itu di televisi. Juga dalam transportasi umum,” tuturnya. Menurut dia, masyarakat bisa mengenali rasisme atau, ketika itu terjadi, mereka berkata “Ya, itulah apa yang terjadi, itu rasisme.”

“Namun, di sisi lain, saya pikir, jika Anda melihat, terutama dalam dua tahun terakhir, telah ada sejumlah insiden yang terjadi dalam bidang olahraga [dan] di media sosial, yang benar-benar menyoroti ada masalah dalam bangsa ini yang perlu ditangani,” kata Mohamed.

Kendati ada peningkatan persepsi atas rasisme, kebanyakan warga Australia meyakini, hubungan antara masyarakat Aborijin dan non-Aborijin begitu penting dan rekonsiliasi bisa dicapai. Survei itu juga menemukan, 93% dari masyarakat Aborijin dan 77% dari masyarakat umum berpikir budaya Aborijin dan penduduk Selat Torres begitu penting untuk identitas nasional Australia.

Mayoritas warga melihat hubungan di antara keduanya penting. Sungguhpun begitu, angka tersebut sedikit lebih rendah dari survei pertama pada tahun 2008. “Jadi, niat baik itu ada dan orang-orang mengatakan ‘kami ingin memastikan bahwa kami bisa bersatu sebagai bangsa’,” ujar Mohamed.

Toh, lanjutnya, masih ada hambatan kelembagaan untuk rekonsiliasi yang perlu ditangani. “Upaya untuk melemahkan perlindungan hukum di bawah Undang-Undang Diskriminasi Rasial sedang berlangsung; Australia belum melaksanakan kewajiban internasionalnya di bawah Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat PBB dan konstitusi Australia masih memungkinkan untuk terjadinya diskriminasi ras dalam dokumen pendiri bangsa kita,” ujar Mohamed lagi. Kenyataannya, lanjutnya, kecuali niat baik diikuti dengan reformasi yang signifikan pada tingkat institusional, Australia akan terus terjerembab potensinya sebagai bangsa yang terekonsiliasi. [PUR]