Sulindomedia – Sebagai upaya mendayagunakan lahan telantar agar bisa dimanfaatkan untuk lahan produktif, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola lahan itu. “Kami mendorong agar lahan telantar dari sisi kemanfaatan dan kegunaannya,” kata Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat menghadiri Hari Ulang Tahun Ke-45 Angkatan Tapak Rimba-Sakiara Wanadri di Bandung, Jawa Barat, 31 Januari 2016 lalu.
Ferry menyebutkan, ada Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 terkait pemanfaatan lahan terlantar bagi masyarakat. “Lahan telantar dapat dimanfaatkan masyarakat seperti untuk pelestarian lingkungan, sekolah alam, dan penggembalaan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut sebenarnya telah lama digembar-gemborkan pemerintah. Namun, realisasinya sampai sekarang hanya sebagian kecil dari lahan telantar yang dapat dimanfaatkan. Misalnya pemanfaatan lahan telantar yang “disulap” menjadi tempat gembala sapi dan hewan ternak lain di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Juga Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menggaet Wanadri merevitalisasi lahan yang pernah terbakar di Kampung Pojokgirang Desa Cikahuripan Kecamatan Lembang. Selebihnya, masih banyak lahan dibiarkan telantar tanpa ada upaya pemerintah untuk menerapkan aturan tersebut.
Tindakan penertiban terhadap lahan telantar tak urung telah dilakukan, namun sejauh mana hasilnya sampai sekarang masih “teka-teki”. Belum lagi data akurat luas lahan telantar yang masih simpang siur.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Hasil Sembiring, beberapa waktu lalu sempat mempertanyakan keakuratan data lahan telantar terkait persoalan pertanian di Indonesia. “Saya ingat, dulu katanya banyak sekali lahan nganggur. Sampai ada 7,6 juta hektare. Datanglah kami ke kantor BPN. Kami datang ke BPN, kami bilang, ‘Pak, kami cari lahan pertanian. Dari 7,6 juta hektare itu, mana yang bisa kami pakai?’,” kata Hasil dalam acara seminar nasional Hari Statistik 2015 di kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta.
Namun, setelah proses verifikasi data, ternyata dari 7,6 juta hektare lahan menganggur tersebut tak semuanya bisa dipakai untuk pertanian. Alasannya: mulai dari pemerintah harus berhadapan dengan para pemegang hak guna usaha (HGU) lahan hingga kondisi lahan yang tak cocok untuk pertanian.
“Setelah kami cari-cari, kami teliti-teliti, hasilnya enggak lebih dari 130.000 hektare yang statusnya clean and clear. Jadi memang berat masalah lahan ini,” tutur Hasil.
Selain data lahan, Kementerian Pertanian juga dihadapkan dengan persoalan data produksi pertanian. Pihaknya bekerja sama dengan BPS untuk dapat menyediakan data yang akurat. “Masalah kita selanjutnya adalah masalah ketersediaan data. Data statistik sedang mendapat sorotan. Data neraca pangan tidak akurat. Bahkan, data produksi pangan dinilai tidak benar. Jadi, ini tantangan kita untuk menyediakan data yang benar,” ujarnya.
Berdasarkan kalkulasi kasar BPN, potensi tanah terindikasi telantar di Indonesia mencapai 7,5 juta hektare. Tanah-tanah tersebut tersebar tidak hanya di luar kawasan hutan yang dikelola dalam bentuk HGU dan Hak Guna Bangunan (HGB) , melainkan juga di kawasan hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. [ARS/PUR]