Koran Sulindo – Populisme belakangan ini menjadi “barang dagangan” yang banyak ditawarkan dalam dunia politik, di berbagai belahan dunia. Banyak orang tersadarkan dengan fenomena ini ketika Donald Trump yang seorang pengusaha super-kaya mengumbar janji-janji populis sebagai calon presiden dan akhirnya terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Ia menjanjikan kebangkitan negaranya lewat berbagai proteksi dan berbagai langkah yang alergi terhadao anasir asing. Juga menyuarakan akan menjadikan dirinya sebagai alat kepentingan warganya, yang terdengar sangat patriotik.
Begitu menjadi presiden, Trump mulai menepati janjinya. Amerika Serikat keluar dari Trans Pacific Partnership serta melarang pengungsi dan pendatang dari tujuh negara berpenduduk muslim masuk ke negara itu. Yang terakhir ini melahirkan gelombang protes besar, bahkan dari pesohor di dunia hiburan.
Populisme memang cenderung melakukan segregasi sosial-politik dan pembedaan-pembedaan identitas, dengan berdasarkan kecurigaan dan rasa permusuhan. Gerakan ini juga “menyerang” para elite, institusi-institusi yang mapan, dan arus utama politik di suatu negara, seperti partai politik, dengan mengatasnamakan rakyat.
Di Eropa, gerakan populisme antara lain mewujud dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Juga kekalahan Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, dalam referendum perubahan undang-undang dasar.
Di Asia, ketika Rodrigo Duterte menjadi Presiden Filipina, ia pun menjalankan politik populisme, dengan memerangi bandar dan pemakai narkoba lewat cara-cara di luar hukum. Lebih dari 3.000 orang dibunuh atas nama “perang melawan setan narkoba”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan, gejala utama tahun 2016 lalu adalah bangkitnya sayap kanan dan politisi ultranasionalis yang berkampanye anti-imigran dan menolak multikulturalisme. Diungkapkan pula, retorika penuh kebencian pada orang asing cenderung makin kuat dan tumbuh makin meluas di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
“Jika erosi sistem hak asasi manusia dan tata hukum ini terus terjadi, kita semua yang bakal menderita,” kata Kepala Urusan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Zeid Ra’ad al-Hussein,dalam pidato perayaan tahunan hak asasi manusia sedunia, 10 Desember 2016 lalu.
Di Indonesia, fenomena ini juga sebenarnya sudah terasa. Banyak orang mengelu-ngelukan seorang tokoh yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat, bersahaja, patriotik, tanpa mengetahui lebih mendalam isi kepalanya dan apa yang akan ia lakukan untuk membawa Indonesia mencapai kegemilangannya. Banyak juga yang tak peduli bagaimana rekam jejak tokoh itu, bagaimana pemahamannya terhadap ideologi negara, dan sejauh apa pemahamannya terhadap konstitusi, misalnya.
Gerakan ini semakin cepat tumbuh dan berkembang di negeri ini juga tak bisa dilepaskan dari tidak meratanya pertumbuhan ekonomi.Hanya ada 10% orang Indonesia yang menguasai 75,7% kekayaan nasional, yang terutama diperoleh karena faktor kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), masih terdapat 28,01 juta jiwa yang hidup miskin di negeri ini dan yang paling banyak adalah yang tinggal di desa.
Ketimpangan ekonomi dan besarnya angka kemiskinan pun melahirkan kesenjangan sosial. Tak pelak, semakin lebar kesenjangannya semakin subur pula populisme, yang mengancam kehidupan berdemokrasi di negara ini.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bekerja sangat cepat untuk mengatasi masalah ini. Juga mempelajari dengan saksama pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa, terutama yang berkaitan dengan ideologi dan upaya menyejahterakan bangsa. Berat sekali memang, tapi itu keniscayaan yang tak bisa dielakkan, agar bangsa ini tak koyak-moyak atau kembali ke masa-masa kelam. []