Asmara Hadi: Marhaenis dan Soekarnois Sejati

Ratna Juami-Soekarno-Asmara Hadi/istimewa

Koran Sulindo – Pada suatu September 1914 di Seluma, Bengkulu. Tangisan bayi pecah di sebuah Desa Lubuk Ngantungan. Bayi itu merupakan anak dari Meurah Kabri keturunan bangsawan Bengkulu-Minangkabau. Seorang demang, tuan tanah dan pegawai kolonial Hindia-Belanda.

Bayinya yang baru lahir itu diberi nama Abdul Hadi. Kelak dikenal sebagai Asmara Hadi, seorang tokoh nasional di masa pemerintahan Soekarno. Abdul Hadi atau Asmara Hadi ini ketika dewasa justru berbeda pandangan dengan ayahnya Meurah Kabri yang terpengaruh dengan pandangan kolonialisme.

Karena kedudukan Meurah Kabri itu, anak-anaknya termasuk Asmara Hadi hidup berkecukupan dan menjadi keluarga terpandang di kampungnya. Kedekatannya dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda membuat keluarga Meurah Kabri mendapat berbagai macam fasilitas seperti buku, radio dan berbagai surat kabar.

Ketika anak-anaknya beranjak remaja termasuk Asmara Hadi, Meurah Kabri ingin mereka mendapatkan pendidikan dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Ia berharap dengan mendapatkan pendidikan Belanda, anak-anaknya bisa meneruskan pekerjaannya sebagai pegawai kolonial Hindia-Belanda.

Akan tetapi, apa yang dipikirkan Meurah Kabri tidak sesuai dengan harapannya. Asmara Hadi yang telah remaja itu tidak lagi seperti anak-anak dulu. Ia mulai melihat realitas di kampungnya. Penjajahan membikin rakyat di kampungnya menderita. Rakyat dicengkeram sisa-sisa feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Karena itu, ketika Meurah Kabri meminta anak-anaknya agar meneruskan pendidikan di sekolah Belanda, Asmara Hadi menolaknya. Ia pun terlibat perdebatan dengan Meurah Kabri. Situasi nyata penjajahan membuat jiwa Asmara Hadi berontak dan melawan ayahnya. Meurah Kabri marah. Murka. Dua jiwa yang bertolak belakang itu memuncak dalam sebuah pertengkaran.

Asmara Hadi yang berusia 14 tahun ketika itu nekat mengambil keputusan dengan meninggalkan rumahnya. Terutama karena ia telah mendapat banyak informasi lewat bacaan tentang pergerakan nasional terutama kiprah Soekarno. Pesona Soekarno mampu membuat jiwa Asmara Hadi melawan atas apa yang diinginkan ayahnya.

Asmara Hadi sangat takjub dengan perjuangan Soekarno. Nama Soekarno menjadi perbincangan banyak orang pada masa itu. Asmara Hadi mendengar nama Soekarno dari koran, radio, buku dan lain sebagainya. Semua informasi itu justru menjadi motivasi bagi Asmara Hadi untuk segera terlibat dalam pergerakan nasional. Itu sebabnya, Asmara Hadi nekad berangkat ke Bandung untuk berguru kepada Soekarno.

Di Marhaenisme Dalam Alam Pikir Soekarno, Asmara Hadi disebut lulusan dari Holland Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia pindah ke Batavia pada 1928. Di Batavia, Asmara Hadi tinggal bersama mahasiswa-mahasiswa yang aktif dalam pergerakan kebangsaan. Dan tentu saja itu memengaruhi pola pikir Asmara Hadi sebagai seorang remaja. “Benih-benih nasionalisme semakin tumbuh subur dalam diri Asmara Hadi,” tulis Aslama Nanda Rizal dalam Marhaenisme Dalam Alam Pikir Soekarno. Setelah itu, ia pun pindah ke Bandung untuk meneruskan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Bandung di masa kolonial merupakan salah satu pusat pergerakan nasional di samping Semarang, Surabaya dan Sumatera Barat. Bahkan pada awal 1920-an, Bandung sudah menjadi pusat pergerakan nasional. Kita bisa mengikuti jejak para tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang menjadikan Bandung sebagai palagan perjuangan.

Bahkan setelah tokoh-tokoh tersebut, Soekarno juga menjadikan Bandung sebagai medan laga untuk melawan kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Politik Etis juga mempengaruhi situasi perjuangan melawan kekuasaan kolonial di masa itu. Selain lembaga pendidikan milik kaum Belanda, lembaga pendidikan buatan bumiputra mulai muncul antara lain Taman Siswa.

Partindo
Di sinilah Asmara Hadi memulai kariernya pertama kali setelah lulus dari MULO Bandung. Sejak remaja, Asmara Hadi telah mengagumi Soekarno. Maka, ketika Soekarno keluar dari penjara pada 1930 dan mendirikan Partai Indonesia (Partindo), Asmara Hadi memutuskan bergabung ke sana. Di Partindo pula Asmara Hadi mendapat gemblengan langsung dari Soekarno.

Akhir 1930-an, ia sempat ditangkap pemerintah kolonial dan dipenjarakan ke beberapa daerah di Jawa Barat seperti Garut dan Sukabumi. Ia dilepaskan menjelang masa pendudukan Jepang. Asmara Hadi juga pernah ikut Soekarno ketika pemerintah Hindia-Belanda mengasingkannya ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, lalu kembali ke Bandung.

Selain sebagai guru politik, Asmara Hadi juga punya kedekatan pribadi dengan Soekarno. Dalam Asmara Hadi: Pengusung Api Nasionalisme dikisahkan soal kedekatan kedua orang itu. Bengkulu, akhir tahun 1941. Masa itu Bung Karno sedang galau. Di tanah pembuangan itu, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Fatmawati. Hasratnya kuat ingin menyunting gadis Bengkulu tersebut. Padahal, ia masih terikat perkawinan dengan Inggit Ganarsih.

Di tengah kegalauan itu, Bung Karno memanggil Ratna Juami, anak angkatnya, dan Asmara Hadi yang juga tunangan Ratna Juami, untuk membicarakan persoalan pribadinya. Mereka bertiga berjalan-jalan menyusuri pantai Pante Panjang. Di tengah pembicaraan, Bung Karno mengatakan: “Aku berharap kalian mengerti. Aku ini hanya seorang manusia. Aku ingin kawin lagi. Bagaimana pendapat kalian berdua?”

Sejurus kemudian, seperti dikisahkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Asmara Hadi menjawab: “Secara pribadi aku setuju dengan Bapak. Aku menyamakan Bapak dengan Napoleon dan pemimpin besar lainnya dalam sejarah, yang sebagaimana saya baca, mengesankan sebagai laki-laki sejati. Meski demikian, dari sudut pandang politik, itu tidak baik. Walaupun Bapak berada jauh dari rakyat sejak dibuang pada 1934, Bapak tetap menjadi lambang kami. Rakyat berdoa agar Bapak segera bangkit dan memimpin mereka kembali. Dan rakyat tahu dari artikel-artikel Bapak, bahwa waktunya sudah dekat. Apa kata rakyat nanti kalau Bapak sekarang menceraikan Ibu Inggit ketika dia berusia tua yang telah setia mendampingi Bapak selama masa penjara dan pembuangan? Bagaimana pandangan orang?”

Ratna Juami pun mengamini ucapan tunangannya itu.

Meski berat hati, Bung Karno menuruti “nasihat” Asmara Hadi dan Ratna Juami. Ia menunda menikahi Fatmawati. Baru Juni 1943, Bung Karno dan Fatmawati menikah.

Dalam pemikiran tentu saja Asmara Hadi terpengaruh dari Soekarno. Itu sebabnya, nasionalisme kedua orang ini bersandar kepada Marxisme. Asmara Hadi terpengaruh atas pemikiran Karl Marx dan Engels tentang sosialisme ilmiah. Marxisme bagi Asmara Hadi menjadi pisau analisis untuk membedah kenyataan sosial dan menjadi ideologi melawan kapitalisme serta imperialisme.

Lebih jauh, Asmara Hadi mengatakan, Marhaenisme pun bersandarkan atas Marxisme. Itu sebabnya, Marhaenisme menjadi penting sebagai sebuah ideologi bagi rakyat untuk menerangi perjuangan revolusioner selama kapitalisme dan Nekolim masih bercokol di Indonesia. Kendati demikian, Marhaenisme juga tidak bisa dilepaskan dari Soekarno.

Karena itu, bagi Asmara Hadi, Marhaenisme juga merupakan Marxisme-Soekarnoisme. Untuk bisa memahami Marhaenisme (ke-Soekarno-an), seseorang harus pulalah mengerti riwayat Karl Marx dan ajarannya. Dengan kata lain, Marhaenisme tak bisa dilepaskan dari Marxisme.

Begitulah kisah Asmara Hadi di masa kolonial dan era kekuasaan Soekarno. Namanya mulai dilupakan dan tenggelam setelah peristiwa G30S pecah pada 1965. Seperti Soekarno, Asmara Hadi dilucuti rezim fasis Soeharto dan Partindo pun dibekukan.

Ia diusir dari lingkaran kekuasaan. Anak-anaknya dilarang bersekolah ke luar negeri. Untuk hidup, ia bersama istrinya berjualan di Bandung. Ia menderita walau tak bisa dibandingkan dengan Soekarno. Berjarak 6 tahun dari Soekarno, Asmara Hadi mengembuskan napas terakhirnya pada 1976. Namanya benar-benar dilupakan. [Kristian Ginting]