Sulindomedia – Sungguh ironis. Ketika APBN sedang defisit karena penerimaan pajak mengalami kekurangan (shortfall), justru banyak orang Indonesia memiliki aset di negara surga suaka pajak (tax havens) yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN ). Disinyalir sedikitnya ada 2000-an orang Indonesia yang namanya tercantum di dokumen Panama Papers.
Menanggapi temuan tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendesak pejabat publik yang namanya tercantum dalam Panama Papers agar mengundurkan diri. “Siapa pun mereka, Ketua BPK, Ketua DPR, atau wakil presiden harus mundur dari jabatannya karena berbohong. Ketika menjadi pejabat publik, mereka tidak men-declare. Ini rawan conflict of interest,” katanya di acara talkshow “Bedah Kasus Aset Indonesia di Negara Suaka Pajak” yang diselenggarakan Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring) di Jakarta, 12 April 2016 lalu.
Dia mendesak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK() bekerja sama dengan aparat kejaksaan dan kepolisian menindaklanjuti temuan Panama Papers. “Ini harus bisa diungkap secepatnya sebelum mereka merancang siasat lain untuk menghilangkan jejak,” katanya.
Bagaimana korelasi Panama Papers dan rencana pengampunan pajak (tax amnesty) oleh pemerintah untuk menutup kekurangan APBN? Berikut petikan wawancara Arianto Setiadi dari Suluh Indonesia dengan Yustinus Prastowo.
APBN kita defisit. Target pajak terlalu tinggi. Benarkah?
Ya, target pajak APBN yang dipatok pemerintah terlalu tinggi dan tidak realistis. Targetnya perlu direvisi.
Berapa target APBN yang realistis?
Angka realistisnya adalah 15% dari pencapaian pajak tahun sebelumnya, bukan dari target. Kalau pencapaian tahun 2015 lalu sebesar Rp 1.060 triliun, naik 15%, nilai pajak APBN sekarang sekitar Rp 1.200 triliun, ditambah pendapatan pajak extra effort Rp 60 triliun, jadi Rp 1.260 triliun. Ini yang realistis.
Sejauh mana urgensi Panama Papers terhadap penerimaan pajak saat ini?
Sangat urgent. Kita lihat penerimaan pajak sekarang mengalami kekurangan (shortfall). Di lain pihak, ada temuan orang Indonesia masuk dalam dokumen Panama. Ini artinya ada potensi dan peluang bagi pemerintah untuk memperoleh pajak. Meskipun Panama Papers masih merupakan data mentah yang harus diperdalam lagi, itu bisa menjadi acuan pemerintah menemukan wajib pajak. Persoalannya sekarang ada di pemerintah, mau tidak menginvestigasi mereka. Pemerintah harus segera merumuskan agenda aksi. Kita dorong pemerintah untuk ke sana. Panama Papers merupakan puncak gunung es dari segala permasalahan pajak di dunia, khususnya Indonesia.
Mungkin ada data kerugian pajak Indonesia karena WNI menyimpan asetnya di negara tax havens?
Kerugiannya sangat besar. Kerugian pajak dialami Amerika Serikat mencapai Rp 6.000 triliun. Di Indonesia, menurut penelitian Tax Justice Network tahun 2010, sekitar Rp 4.500 triliun aset orang Indonesia berada di tax havens. Global Financial Integrity tahun 2014 mencatat, sedikitnya Rp 200 triliun aliran dana ilegal keluar Indonesia setiap tahuna. McKinsey pernah menyebut jumlah aset orang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 4.000 triliun. Uang tersebut lolos pajak. Coba kalau bayar pajak ke Indonesia, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kita akan maju pesat.
Anda menyebut pejabat yang masuk daftar segera mundur?
Ya. Ini adalah konsekuensinya. Dari sisi perpajakan, dalam negara demokrasi, kesetaraan menjadi prinsip. Mengemplang pajak berarti melanggar kesetaraan. Ini pun menyentuh dimensi etis. Akan malu kalau namanya tercantum di dokumen Panama. Seperti Perdana Menteri Eslandia, menyatakan mundur ketika namanya disebut dalam Panama Papers, meskipun pembuktian materialnya belum. Kemudian pejabat di Australia, termasuk pejabat senior FIFA. Mereka menyatakan mundur. Tapi di Indonesia berbeda. Dengan segala ketenangannya, pejabat yang namanya tercantum menganggap tidak bersalah sebelum ada bukti. Bukti ini menjadi beban kepada pihak yang membuka data. Ini kan lucu. Di Indonesia, kasus ini belum menyentuh dimensi etis.
Apa saja modus memarkir uang di tax havens yang dilakukan orang Indonesia?
Ada tiga modus orang Indonesia memarkir uang di tax havens. Pertama: murni aksi korporasi. Kedua: penyamaran kepemilikan perusahaan demi penghindaran pajak. Cara ini yang banyak dilakukan pejabat dan politisi Indonesia. Ketiga: menjalankan bisnis di Panama atau negara tax havens lain secara sengaja untuk menyembunyikan aset dari hasil bisnis ilegal. Uang dipindahkan ke sana dan masuk lagi sebagai penanaman modal asing dan tujuannya macam-macam, bisa uang keluar itu uang halal agar terhindar pajak atau bisa juga uang haram supaya masuk menjadi halal.
Bagaimana dengan tax amnesty?
Tax amnesty selalu ditawarkan di saat rezim itu baru. Awal SBY dulu, tax amnesty diwacanakan, tapi tak jadi karena tidak berani, apalagi saat itu penerimaan pajaknya lumayan baik. Saat Jokowi naik, ide ini muncul lagi dan disambut banyak pihak. Semua sepakat ide ini diteruskan, tapi bagaimana dengan mitigasinya?
Sebenarnya, dengan berbagai temuan, termasuk Panama Papers, pemerintah sudah jelas siapa yang akan dikejar. Kemudian, dengan akan masuknya era pertukaran informasi otomatis antar-negara atau AEoI [automatic exchange of information], pemerintah punya stick [pemukul] untuk menangkap mereka yang menghindari pajak. Dengan demikian, sesungguhnya tax amnesty sudah tidak diperlukan lagi.
Meski begitu, tax amnesty membawa kebaikan asalkan pemerintah dan DPR menjadikan tax amnesty sebagai momen untuk menciptakan sistem perpajakan yang baru, seperti sistem single identification number yang baru, termasuk keterpaduan antar-lembaga sehingga tidak terjadi aturan yang overlapping, seperti tidak sinkronnya aparat kejaksaan dan petugas pajak selama ini. Di satu sisi, melanggar karena tidak bayar pajak berdasarkan data perbankan; di lain sisi, aparat pajak melanggar kerahasiaan perbankan. Tax amnesty sebagai momentum perbaikan sistem perpajakan inilah yang semestinya diusung pemerintah dan DPR. Bukan sanksi keringanan 2% bagi para pengemplang pajak. Sanksi 2% ini pun terlalu kecil, mestinya sanksinya dinaikkan lagi jadi 5% atau lebih. []