Asal Usul Tradisi Ngabuburit yang Khas di Indonesia

Sejumlah anak bermain sepeda. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/ss/pd/13)

Umat Muslim Indonesia yang sedang melaksanakan ibadah puasa tentu sudah tidak asing dengan istilah “ngabuburit.” Kegiatan sore hari menjelang maghrib ini biasanya diisi dengan berburu takjil, bersepeda, atau sekadar mengobrol dengan teman untuk menunggu waktu berbuka. Istilah “ngabuburit” sudah sangat akrab di telinga masyarakat, terutama saat Ramadan tiba. Namun, tahukah kamu dari mana sebenarnya asal-usul istilah “ngabuburit” ini? Mari kita mengulas sejarah dan perkembangan tradisi Ramadan yang satu ini.

Ngabuburit berasal dari bahasa Sunda. Kata ini berakar dari kata dasar “burit,” yang berarti sore atau petang. Dalam struktur bahasa Sunda, kata keterangan waktu seperti “burit” dapat berubah menjadi kata kerja dengan menambahkan awalan “nga-,” sehingga terbentuklah “ngabuburit,” yang berarti melakukan kegiatan tertentu sambil menunggu waktu sore tiba.

Menurut Kamus Bahasa Sunda yang disusun oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), istilah “ngabuburit” berasal dari frasa “ngalantung ngadagoan burit,” yang berarti bersantai untuk menunggu datangnya waktu sore. Sementara itu, Kamus Sunda-Indonesia terbitan Kemendikbud tahun 1985 mencatat bahwa “burit” memiliki arti “senja,” sedangkan “ngabuburit” merujuk pada kegiatan berjalan-jalan atau melakukan aktivitas lain hingga petang, terutama saat Ramadan. Istilah ini pun masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan definisi “mengabuburit,” yakni kegiatan menunggu waktu berbuka puasa menjelang azan maghrib di bulan Ramadan.

Istilah “ngabuburit” telah dikenal sejak lama, seiring dengan masuknya Islam ke wilayah Sunda. Tradisi ini semakin berkembang, terutama pada era 1980-an, ketika para pemuda di Bandung mulai mengadakan acara musik bernuansa Islami untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa. Seiring dengan popularitasnya, ngabuburit semakin meluas ke berbagai daerah di Indonesia.

Awalnya merupakan istilah khas bahasa Sunda, kini ngabuburit telah menjadi bagian dari bahasa nasional dan digunakan secara luas oleh masyarakat dari berbagai latar belakang budaya. Penyebaran ini juga didukung oleh peran media massa serta kemudahan pengucapan istilah ini bagi penutur non-Sunda, sehingga semakin diterima secara luas.

Meskipun ngabuburit telah menjadi istilah yang umum digunakan, beberapa daerah di Indonesia memiliki istilah khas masing-masing yang mencerminkan budaya lokal. Di Minangkabau, istilah yang digunakan adalah “malengah puaso,” yang berarti melakukan berbagai aktivitas untuk mengalihkan perhatian dari rasa haus dan lapar selama berpuasa.

Di Kalimantan Selatan, masyarakat suku Banjar menyebut kegiatan ini dengan istilah “basambang,” yang memiliki arti berjalan-jalan saat senja. Sementara itu di Madura, ngabuburit dikenal dengan beberapa istilah, seperti “nyarè malem,” yang berarti mencari malam, serta “nyarè bhuka’an,” yang berarti mencari makanan untuk berbuka puasa. Meskipun istilahnya berbeda, makna dan tujuan dari kegiatan ngabuburit tetap sama, yaitu mengisi waktu sebelum berbuka dengan aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat.

Seiring dengan perkembangan zaman, aktivitas ngabuburit juga mengalami perubahan. Tradisi ngabuburit di Indonesia kini menjadi sangat beragam, tergantung pada daerah dan kebiasaan masyarakat setempat. Beberapa kegiatan ngabuburit yang populer di Indonesia antara lain berburu takjil, di mana masyarakat mengunjungi pasar Ramadan atau pusat kuliner untuk mencari hidangan berbuka puasa.

Selain itu, banyak umat Muslim yang mengisi waktu ngabuburit dengan mengikuti kajian agama, membaca Al-Qur’an, atau berdzikir di masjid. Sebagian orang memilih ngabuburit dengan berkumpul bersama teman atau keluarga, baik di taman, alun-alun, atau tempat nongkrong lainnya. Wisata kuliner juga menjadi pilihan menarik, dengan banyaknya warung dan restoran yang menawarkan hidangan khas berbuka puasa.

Beberapa daerah memiliki tradisi ngabuburit yang unik. Di bantaran Bengawan Solo, masyarakat melakukan tradisi Kumbohan, yaitu berburu ikan mabuk. Di Pantai Kenjeran, Surabaya, warga sering mengadakan balap perahu layar mini. Di Betawi, ada tradisi Bleguran, yaitu permainan petasan bambu khas Ramadan, sementara di Madiun, beberapa komunitas pencinta alam memanfaatkan waktu ngabuburit dengan panjat tebing.

Ngabuburit telah menjadi bagian dari budaya Ramadan di Indonesia. Dari istilah khas bahasa Sunda, kini ngabuburit telah diterima oleh masyarakat luas dan memiliki berbagai variasi di tiap daerah. Kegiatan ngabuburit juga semakin berkembang, dari yang awalnya hanya bersantai, kini menjadi aktivitas yang lebih beragam, mulai dari berburu takjil hingga mengikuti kegiatan keagamaan.

Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan sosial, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya Indonesia dalam menyambut bulan suci Ramadan. Dengan berbagai variasinya, ngabuburit menjadi salah satu momen yang dinantikan setiap tahun oleh umat Muslim di Indonesia. [UN]