Ketua Majelis Nasional Venezuela Juan Guaido yang dituduh sebagai boneka AS [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Sokongan Amerika Serikat (AS) terhadap upaya kudeta untuk mengganti rezim di Venezuela sesungguhnya bukan datang secara tiba-tiba. Pemerintahan AS telah merancang berbagai strategi selama beberapa tahun terakhir dan itu dimulai sejak pemerintahan George W. Bush.

Menurut Alex Main, analis dari Center for Economic and Policy Research (CEPR), strategi yang dirancang pada zaman Bush itu terus berlanjut hingga hari ini. Sebagian besar dirancang pada era Presiden Barack Obama walau mungkin meletusnya tidak secepat yang diharapkan. Dan kini itu benar-benar terjadi pada era Presiden Donald Trump.

Strategi itu bisa dilihat terutama sejak Agustus 2017, ketika Trump menerapkan sanksi ekonomi yang membuat ekonomi Venezuela limbung. Situasinya benar-benar membuat Venezuela berada dalam kondisi krisis yang serius. Itu sebabnya, Venezuela ketika itu membutuhkan bantuan internasional untuk mengatasi kelaparan yang terjadi akibat sanksi ekonomi AS.

“Ini mengingatkan kita pada kebijakan serupa yang diterapkan AS terhadap Cile yang ketika itu berada di bawah Kissinger atau Nixon pada 1970-an. Saya ingat di antara mereka itu berkata ‘Kita akan membuat ekonomi menjerit’. Dan tentu saja ekonomi Venezuela mulai benjerit,” kata Main seperti dikutip venezuelanalysis.com pada 25 Januari 2019.

Kendati situasi krisis itu juga disebabkan kebijakan Maduro, tetapi sanksi ekonomi dari AS-lah yang membuat krisis di negara semakin memburuk. Sejak itu muncul wacana intervensi militer dari orang-orang baik dalam pemerintahan seperti mantan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dan orang-orang yang sangat dekat dengan pemerintah yang punya pengaruh pada kebijakan Venezuela seperti Marco Rubio.

Dikatakan Main, sesungguhnya pemerintah AS tidak pernah benar-benar mengakui Maduro sebagai Presiden Venezuela sejak kali pertama menjabat. Pemerintahan Obama, misalnya, tentu saja tidak pernah benar-benar mengakui hasil pemilihan umum yang dimenangi Maduro. Itu mengikuti apa yang menjadi kebijakan oposisi garis keras Venezuela.

Setelah itu, mereka mulai belajar untuk berkompromi dengan pemerintahan dan kini mereka menyatakan lagi untuk tidak mengakui pemerintahan Maduro. Main meyakini, setelah semua ini nantinya, mereka berupaya mencari-cari kesalahan di angkatan bersenjata Venezuela. Mereka mencoba memadukan upaya provokasi angkatan bersenjata agar mendukung pemimpin oposisi yang telah mengumumkan dirinya sebagai presiden transisi pada pekan lalu.

Laporan lain juga menyebutkan, pada awal tahun lalu, pejabat pemerintahan Trump telah bertemu dengan perwira militer Venezuela yang berkhianat dan merancang upaya kudeta militer di negeri itu.

Sementara itu Greg Wilpert dari The Real News Network mengatakan, upaya menggulingkan pemerintahan sah Venezuela dengan kudeta militer kembali terjadi setelah 2002. Tapi, apa yang terjadi baru-baru ini adalah upaya kudeta militer yang semakin intensif. “Dan saya menduga alasan yang dibuat semakin meningkat beberapa kali lipat,” kata Wilpert.

Dikatakan Wilpert, alasan pertama, kematian Cavez rupanya menjadi pintu masuk bagi oposisi dan AS untuk menggulingkan pemerintahan Venezuela yang dipilih rakyat. Ketika itu mereka mengorganisasi demo besar-besaran setelah pemilihan presiden selepas kematian Chavez. Lalu, krisis ekonomi menjadi momentum bagi oposisi dan AS untuk memperburuk kondisi Venezuela.

Setelah itu, adanya upaya pembunuhan terhadap Maduro dengan menggunakan bom tanpa awak dalam sebuah parade militer. Itu memang berhasil digagalkan walau upaya itu menegaskan Mike Pence (Wapres AS), John Bolton (penasihat keamanan nasional AS) dan Marco Rubio menjadi dalang dari upaya pembunuhan Maduro.

Tidak lama setelah peristiwa itu, kata Wilpert, Pence dan Bolton melakukan perjalanan keliling Amerika Latin ke negara-negara yang menjadi sekutu mereka. Di sana mereka mengkampanyekan dan meminta berbagai pemerintah di Amerika Latin untuk menekan Venezuela. Dan Ekuador yang awalnya bukan bagian dari AS, kini dinilai berbalik arah menjadi sekutu AS.

Juga yang menarik, menurut Wilpert, adalah adanya perpecahan di tubuh aparat keamanan Venezuela. Itu tampak ketika aparat menangkap Juan Guaido yang rupanya hanya pura-pura belaka. Kemudian, peristiwa sekelompok tentara yang hendak mencuri senjata dan 27 di antaranya berhasil ditangkap. Itu terjadi sebelum upaya kudeta yang dipimpin Guaido.

Menurut Wilpert, peristiwa-peristiwa tersebut sesungguhnya bagian dari puncak peristiwa upaya kudeta oleh Guaido. Ketika Guaido pertama kali menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional, ia sudah mengatakan hal demikian akan terjadi. Dengan kata lain, pernyataannya yang tidak mengakui Maduro sebagai presiden yang sah adalah bagian dari strategi yang berujung pada upaya kudeta itu. [KRG]