AS Mengulang Sejarah ‘Gelap’ soal Pengungsi

Korban kekejaman politik Adolf Hitler yang dinamai sebagai Holocaust [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Sebuah akun Twitter di Amerika Serikat (AS) menarik perhatian warga dunia maya atau netizen. Bukan hanya karena berkaitan dengan situasi di AS, tapi kebijakan Presiden Donald Trump seolah-olah mengulang sejarah kelam negeri Uwak Sam itu. Terutama berkaitan dengan pengungsi korban perang.

Sejak partai ultra-nasionalis atau Nazi berkuasa di Jerman pada 1933, ratusan ribu orang Yahudi mesti bermigrasi dari Jerman dan Austria. Sayangnya, sekitar 100 ribu justru mengungsi ke negara-negara yang kemudian ditaklukkan Jerman. Sebagian akhirnya dideportasi, sebagian lainnya dibunuh.

Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler berhasil menduduki Austria pada Maret 1938. Terutama setelah program Kristallnacht pada November 1938, negara-negara Eropa barat dan AS mengkhawatirkan tingginya arus pengungsi. Persis seperti saat ini, sekitar 85 ribu pengungsi Yahudi tiba di AS pada Maret 1938 hingga September 1939.

Dari peristiwa tersebut – seperti kebijakan Trump saat ini –  yang paling banyak diberitakan ketika AS menolak lebih dari 900 pengungsi Yahudi yang berlayar dari Hamburg, Jerman dengan menggunakan kapal St. Louis. Kapal ini tiba di lepas pantai Florida setelah pemerintah Kuba membatalkan visa transit pengungsi dan menolak sebagian besar penumpangnya yang masih menunggu visa agar bisa masuk AS.

Holocaust
Kapal tersebut pada akhirnya harus kembali ke Eropa dan 254 pengungsi itu tewas menjadi korban Holocaust. Sekitar 288 penumpang mengungsi ke Inggris. Dari 620 yang kembali ke benua Eropa, 366 orang diketahui selamat dari perang. Melalui akun @Stl_Manifest, ahli Yahudi, Russel Neiss dan Charlie Schwart mulai mencuitkan nama-nama pengungsi yang berada di kapal St. Louis untuk memperingati Hari Peringatan Holoucaust Internasional.

Beberapa nama yang diberitakan mic.com pada 27 Januari lalu seperti, Sophie Munz, tewas di Auschwitz, sebuah kota di selatan Polandia, Lutz Grunthal, tewas di Auschwitz, Erich Dublon, tewas di Auschwitz, Evelyn Greve, tewas di Italia, Josef Koppel, tewas di Auschwitz, Ilse Karliner, tewas di Auschwitz, Bertha Ellen Grunthal, tewas di Auschwitz, dan Sibyll Grunthal, tewas di Auschwitz. Kemudian, Joachim Hirsch, tewas di Auschwitz dan Max Hirsch, tewas di Mauthausen, Austria.

Cuitan Neiss dan Schwart ini tentu saja memberi pengetahuan kepada publik bahwa AS memiliki sejarah yang “gelap” menanggapi para pengungsi. Apa yang menjadi kebijakan AS pada 1939 itu paralel dengan yang saat ini menjadi kebijakan pemerintah AS di bawah Trump.

Presiden Trump sejak Jumat pekan lalu resmi menetapkan kebijakan untuk membatasi gelombang pengungsi korban perang sipil di Suriah dan membatasi beberapa negara yang mayoritas berpenduduk muslim masuk ke AS. Kebijakan itu lalu menuai protes di berbagai kota di negeri itu. Namun, Trump bergeming.

Trump juga memerintahkan aparatnya untuk membangun benteng di perbatasan AS-Meksiko untuk mencegah para imigran gelap masuk AS. Ia menyebutkan perbatasan tersebut kini “dibanjiri” pengungsi anak-anak yang menjadi korban kekerasan geng di El Salvador, Guatemala dan Honduras.

Cuitan kedua orang itu kini berguna untuk mengingatkan pemerintah AS dalam menangani masalah pengungsi. Sejarah itu menjadi ujian bagi AS untuk menghadapi masalah serupa di masa kini. Sejarah tentu saja telah mencatat tindakan AS itu.  Melihat perkembangan saat ini, nampaknya AS tidak mau belajar dan masih membuat kesalahan yang sama. [KRG]