AS-Inggris Tuduh Rusia Dalangi Serangan Siber

Koran Sulindo – Amerika Serikat dan Inggris kompak menuduh Rusia bertanggung jawab atas serangan siber yang menargetkan jaringan keamanan computer lembaga pemerinta dan bisnis di seluruh dunia.

Baik Washington maupun Londong sama-sama merilis peringatan bersama bahwa serangan para peretas yang didukung Rusia itu bertujuan meningkatkan upaya mata-mata, pencurian kekayaan intelektual dan berbagai kegiatan ‘jahat’ lainnya.

Tuduhan itu bagaimanapun mengulang pernyataan serupa pada bulan Februari silam yang menduh Moskow menyebarkan virus NotPetya yang melumpuhkan sebagian prasarana Ukraina serta merusak komputer di seluruh dunia hingga memicu kerugian miliaran dolar.

Menanggapi tudingan itu Kedutaan Besar Rusia di London menyebut pernyataan-pernyataan Inggris soal ancaman di dunia maya menunjukkan, “contoh paling mencolok betapa sembrono, provokatif dan tidak berdasarnya kebijakan Inggris soal Rusia.”

Peringatan bersama yang dikeluarkan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, Gedung Putih, FBI dan Pusat Keamanan Maya Nasional Inggris menyebut peretas yang terhubung dengan Rusia berusaha menembus jutaan router dan firewall di internet seluruh dunia.

Peringatan itu menyebut bahwa serangan “memungkinkan spionase dan pencurian kekayaan intelektual untuk kepentingan keamanan nasional Federasi Rusia dan tujuan ekonomi.”

“Ketika kita melihat cyberactivity yang berbahaya, apakah itu Kremlin atau negara-negara lainnya, kita akan mengalahkannya,” kata koordinator keamanan siber Gedung Putih Rob Joyce kepada wartawan.

Ibarat menepuk air di dulang, peringatan-peringatan itu justru menunjukkan betapa munafiknya kedua negara itu. Lagi pula semua peretas AS, terutama mereka yang bekerja di NSA bertahun-tahun telah melakukan gangguan di seluruh dunia bagi kepentingan intelijen AS.

Temuan-temuan perusahaan keamanan siber beberapa tahun terakhir justru menunjukkan kegiatan meluas peretas AS termasuk meretas router seperti yang dituduhkan kepada Rusia.

“Ini aneh. Mengapa mereka membuat keributan tentang sesuatu yang juga dilakukan AS,” tanya Thomas Rid, seorang profesor studi strategis di Sekolah Lanjutan Studi Internasional Johns Hopkins. “Ini adalah rahasia kotor infosec, semua orang melakukannya.”

Thomas menyebut, bulan lalu saja para peneliti di perusahaan keamanan Rusia, Kaspersky membongkar kampanye peretasan yang dikenal sebagai Slingshot. Program itu memata-matai target di seluruh dunia dengan menginfeksi router MicroTik.

Operasi itu dengan jelas dinyatakan sebagai upaya Operasi Khusus AS untuk memantau anggota ISIS yang menggunakan kafe internet di seluruh Afrika dan Timur Tengah. “Jadi, APT Slingshot itu orang Rusia?” tulis peneliti Kaspersky Aleks Gostev dalam sebuah tweet menanggapi peringatan itu.

Mantan peretas NSA, Jake Williams mengatakan bahwa tuduhan peretas Rusia membajak router jelas merupakan hal konyol karena, “semua orang meretas router.”

Dibanding menanggapi secara serius tuduhan itu, Williams justru melihat peringatan AS dan Inggris itu sebagai bagian pesan geopolitik yang lebih besar setelah semua hubungan antara Trump dengan Kremlin mendingin. “Saya tidak mengerti mengapa masalah ini menjadi besar ini, selain politik,” kata Williams.

Sejarah justru membuktikan bahwa AS dan negara-negara Barat yang secara massif menggelar program peretasan di jagad maya. Salah satu yang dicatat masyarakat dunia adalah program virus Stuxnet yang ditelusuri David Sanger seorang wartawan New York Times.

Hasil investigasi mendalam Sanger menyebutkan Stuxnet dirancang untuk menonaktifkan ribuan sentrifugal, sebuah alat utama yang berguna untuk memurnikan uranium.

Dalam bukunya Confront and Conceal: Obama’s Secret Wars and Surprising Use of American Power, Stuxnet digunakan untuk menghentikan program nuklir Iran.

Program Stuxnet dipilih setelah dua opsi lainnya yakni membiarkan Israel mengebom fasilitas nuklir Iran atau pengeboman oleh Amerika tak mungkin dilakukan karena memicu gejolak Timur Tengah.

Sebagai senjata dunia maya yang canggih, Program Stuxnet justru dirancang dengan sederhana yang dimulai dengan membuat ‘cacing’ komputer untuk memetakan pengendalian reaktor nuklir di Natanz.

Stuxnet mengambil kendali operasi sentrifugal sekaligus membuatnya bekerja melebihi kondisi normal hingga memicu ledakan sentrifugal. Iran menghentikan operasi Natanz untuk mencegah kerusakan lebih besar sambil mencari penyebabnya. (TGU)