Keraton Jogya (foto: anekatempatwisata.com)

Suluh Indonesia – Luasnya wilayah negara kita dengan ragam suku dan budayanya, telah memberi warna tersendiri pada kompleksitas gaya arsitektur Nusantara. Setiap daerah memiliki arsitektur khasnya sendiri yang menjadi identitasnya.

Sebelum datangnya budaya luar, arsitektur Nusantara sangat menonjolkan kearifan lokal. Ini tampak pada bangunan rumah adat yang beraneka ragam, monumen-monumen megah peninggalan purbakala, gedung-gedung tua zaman kolonial, dan bangunan-bangunan moderen kekinian.

Ya, semua dapat kita saksikan dan kita banggakan sebagai kekayaan seni dan budaya bangsa.

Masuknya era Hindu dan Budha telah memberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan arsitektur Nusantara ketika itu. Banyak sekali bangunan candi, istana, dan kuil dengan berbahan batu maupun bata. Berhiaskan relief-relief khas yang sekarang masih bisa kita saksikan.

Sudah barang tentu, perjalanan arsitektur Nusantara telah melewati masa yang sangat panjang. Sebagai hasil dari asimilasi, akulturasi, dan silang budaya. Sehingga, setiap masa seolah memiliki gaya arsitektur dengan ciri khas yang spesifik sesuai tren dan pengaruh kuat masa tersebut.

Indonesia sendiri telah lama mengenal seni bangunan. Pada zaman neolitikum saja, ketika masyarakat masih hidup dengan berburu, telah timbul keinginan untuk hidup menetap seperti terlihat pada peninggalan mereka di bukit-bukit karang di pantai timur Sumatera.

Untuk berlindung dari panas matahari dan angin, mereka mencari gua-gua. Mereka pun telah membuat semacam tirai penahan angin berbentuk gubuk yang sederhana.

Pada zaman neolitikum dan megalitikum, arsitektur batu sudah dikenal sekalipun masih dalam tingkat sederhana. Peninggalan kebudayaan megalitikum banyak terdapat di Indonesia, dan menjadi saksi bagi peradaban lampau.

Di Pulau Nias, misalnya, bangunan megalitik masih merupakan bangunan tempat pemujaan. Di Pulau Sumba dan Flores masih didirikan monumen kubur dari batu. Sedangkan di Lebak Sibedug, Jawa Barat, kita menemukan tempat pemujaan berbentuk piramid berteras.

Kehidupan masyarakat desa waktu itu, sesuai lingkungan geografisnya, memiliki bangunan yang didirikan di atas tiang kayu dengan bentuk persegi.

Peralatan untuk bekerja yang digunakan masih sederhana seperti pahat, kampak dan sebagainya. Sebagian besar dari bangunan rumah digunakan untuk keluarga, istri dan anak-anak.

Di dalam rumah berlangsung bermacam kegiatan seperti memasak, menenun. Bahan-bahan yang digunakan biasanya kayu dengan beberapa jenis daun, serat, dan rumput.

Rumah asli di Indonesia pada dasarnya merupakan rumah panggung. Satu rumah selalu didirikan atas dasar pemikiran kosmologis.

Setiap rumah mempunyai bentuk dan corak tersendiri sesuai adat kebiasaan dan keadaan alam daerahnya masing-masing.

Di era animisme atau politeisme, banyak sekali konsep kepercayaan dan tindakan yang didasarkan atas kepercayaan dalam mendirikan rumah. Bangunan rumah harus memenuhi persyaratan tertentu, di mana alam pikiran kepercayaan dijadikan landasan, sedangkan persyaratan teknis dan konstruksi diperhitungan kemudian.

Nah, untuk mempelajari bentuk rumah Indonesia dengan sebaik-baiknya, kita harus mengenal segala peraturan dan persyaratan tradisi tadi. Kesemuanya telah menjadi tradisi dan berlaku turun-temurun, generasi demi generasi.

Selanjutnya, dapat dilihat bahwa pengaruh kebudayaan dari luar telah membawa perubahan dalam perkembangan arsitektur Indonesia.

Kebudayaan Islam yang masuk ke Indonesia mengandung unsur kebudayaan lain hingga menghilangkan sifat aslinya. Corak kebudayaan Islam ini mewarisi unsur kebudayaan yang sebelumnya telah ada, kebudayaan Indonesia-Hindu.

Boleh dikata, seni bangunan Islam tidak baru sekali. Peninggalan bangunan-bangunan Islam yang mula-mula terdapat di Indonesia seperti batu nisan, tidak dibuat di sini. Barang-barang ini didatangkan dari Gujarat atau India.

Adapun hasil arsitektur Islam di Indonesia berupa bangunan-bangunan masjid, makam, dan istana, secara keseluruhan merupakan bentuk-bentuk bangunan yang banyak mengandung unsur unsur arsitektur Indonesia-Hindu dan pra-Hindu.

Hal itu terutama tampak pada bagian-bagian dari masjid-masjid kuno di Pulau Jawa, masjid-masjid pada zaman kekuasaan para wali, seperti bentuk menara masjid Kudus, pintu gerbang masjid Tuban, Cirebon, dan Demak.

Sebaliknya, bagian utama masjid pada waktu itu lebih cenderung kembali pada arsitektur kayu. Bentuk masjid di Indonesia berbeda sekali dengan yang terdapat di negara asalnya. Bentuknya ada yang berupa pendopo yang tertutup, dengan denah segi panjang serta penonjolan pada bagian mihrab.

Mulai abad 15, perkembangan masjid selanjutnya dipengaruhi oleh alam sekitarnya dengan penerapan tradisi lokal, misalnya dalam pemakaian bahan bangunannya. Kadang-kadang tampak pula bentuk-bentuk masjid yang mencoba meniru masjid dari India, Mesir, dan sebagainya.

Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari kebudayaan asing dari luar. Pengaruh budaya Barat mulai dirasakan pada abad ke-16 di kepulauan Maluku. Pada mulanya, para pendatang itu mendirikan rumah dengan menggunakan bahan bangunan lokal seperti daun-daunan, kayu, dan sebagainya; dengan teknik dan konsepsi bangunan Barat.

Kemudian, setelah timbul ketegangan-ketegangan politik dengan bangsa Indonesia, atau persaingan dengan bangsa Barat yang lain, maka mulailah mereka membangun benteng pertahanan. Benteng tersebut masih terdapat di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Ambon, Makassar, Bengkulu, Solo, Jogja, dan seterusnya.

Sesudah VOC memindahkan pusat perdagangan di Pulau Jawa, maka kira-kira pada 1600 lahirlah arsitektur kolonial. Mereka pun membangun istana-istana, vila, gereja, dan gedung-gedung lainnya, menurut bentuk yang ada di Eropa.

Pengaruh Belanda memegang peranan besar dalam perkembangan gaya arsitektur di Indonesia, terutama arsitektur kota. Unsur-unsur arsitektur asing tersebut dapat dilihat misalnya dalam penggunaan bahan bangunan baru dan corak bangunan.

Dalam perkembangan selanjutnya, rumah tradisional diperkaya dengan hiasan dan berukuran lebih besar dengan atau tanpa pengaruh dari luar.

Kebanyakan rumah tinggal itu merupakan tempat tinggal para pemuka atau tokoh masyarakat, dan biasanya memiliki kelebihan dalam bentuk dan hiasan.

Pada dekorasi dan bentuk rumah inilah kadang-kadang tampak dengan jelas hubungan adat yang feodalistis ,sehingga beberapa bentuk dan hiasan tertentu dilarang digunakan pada rumah biasa.

Hal ini tampak pada bentuk dan hiasan keraton Solo dan Yogyakarta. Bangunan keraton di Jawa Tengah merupakan suatu perpaduan antara unsur seni bangunan Hindu, Islam, Barat, dan tradisi bangunan Indonesia. Baik bentuk luar maupun keadaan tata ruang dalam, dengan segala motif hiasnya.

Demikian pula dengan bahan-bahan yang terdapat di daerah masing-masing. Bentuk baru pada rumah adat di Indonesia pada umumnya ditentukan oleh bahan-bahan yang disamakan. Rumah di daerah Timor, misalnya berbentuk kerucut dengan konstruksi bangunan yang sederhana.

Lain halnya dengan rumah yang terdapat di daerah Indonesia bagian Barat. DI wilayah ini terdapat banyak hutan yang menghasilkan kayu sehingga memungkinkan dibangunnya rumah besar dengan konstruksi kayu.

Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran indah.

Pada zaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat. Dengan menggunakan kayu-kayu pilihan, dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional dengan melibatkan tenaga ahli di bidangnya.

Baca juga Mitreka Satata, Cara Majapahit Membentengi Nusantara

Banyak rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.

Baca juga Perjanjian yang Melemahkan dan Akhir Sebuah Kerajaan Besar

Pada rumah-rumah panggung dengan konstruksi kayu itulah dapat ditemukan penerapan ragam hias di berbagai bagian rumah. Seperti di tiang, ventilasi, plafon, tangga, dan sebagainya. [WIS]

Baca juga Roro Jonggrang: Candi Prambanan Dibangun untuk Mahar Pernikahannya