Koran Sulindo –Butuh jenderal yang lebih keras untuk membuat Jawa Timur menerima Orde Baru, Soeharto akhirnya menunjuk M Jasin sebagai Panglima Kodam Brawijaya. Ia menggantikan Sumitro yang dianggap gagal mewaspadai gerakan mencurigakan di Blitar selatan.
Meski penunjukan sebagai pangdam sudah diputuskan jauh hari, serah terima jabatan baru bisa terlaksana 15 April 1967 di lapangan Rampal, Malang. Jasin langsung langsung dilantik Soeharto yang kala menjadi Menteri Angkatan Darat sekaligus Pejabat Presiden.
Benar saja, apa yang dimaui Soeharto terjadi. Aksi bersih-bersih yang diusung Jasin di Jawa Timur benar-benar tak pandang bulu, lebih dekat dengan definisi membabi-buta. Tak hanya menyasar PKI, Jasin juga mengincar orang-orang dekat Soekarno termasuk anggota PNI-Ali Surachman.
Dalam biografi M. Jasin “Saya Tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto” Jasin bahkan mengaku memecat seorang kolonel bukan karena ia simpatisan komunis tetapi karena ia seorang anggota PNI. “Pak Mitro juga sempat marah karena saya melakukan pembersihan terhadap kakaknya yang menjadi asisten Wedana di Probolinggo,” tulis Jasin di bukunya.
Jasin menyebut kala itu keadaan di Jawa Timur benar-benar penuh ketegangan. Pro dan kotra terjadi di mana-mana disertai dengan perampasan senjata oleh orang-orang yang tak dikenali identitasnya atas pos-pos polisi di perkebunan. Kondisi di Jawa Timur juga diperpanas oleh perbedaan pendirian antara AD dan KKO.
Puncaknya terjadi pada pertengahan 1967 ketika beberapa truk dan prajurit KKO yang mengawal jenasah anggota PNI Ali Surachman melintas di depan rumah dinas Pangdam Brawijaya di jalan Darmo 100, Surabaya. Mereka mengejek Jasin dengan yel-yel, “Panglima Jenderal Jasin tahi, Panglima Jenderal Jasin tahi.”
Jasin yang mendengar yel-yel itu keluar, juga pasukan pengawal dan Komandan Korem Acub Zainal. Namun ketika mereka akan bertindak Jasin mencegahnya dan menyebut akan mengundang seluruh Panglima AL dan Panglima KKO yang ada di Surabaya.
Esok harinya dalam pertemuan itu Jasin mengatakan dia tak terima atas penghinaan itu. Kepada mereka ia memperingatkan jika hal itu terjadi lagi maka masalah itu akan diserahkan kepada para bawahannya untuk bertindak, dan itu pasti berujung pada perang saudara. Di buku itu Jasin mengklaim petinggi AL minta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.
Tak cuma ejekan, ketika ia bermain golf di Gunung Sari yang letaknya tak jauh dari asrama KKO, Jasin mengaku selalu diintimidasi dengan tembakan ke udara. “Saya tetap tenang, tapi dalam golfbag selalu tersedia stengun otomatis. Saya yakin tembakan-tembakan tersebut hanya untuk menakut-nakuti saya,” kata Jasin.
Tak hanya komplain kepada Hartono, Jasin juga melaporkan insiden-insiden itu ke Markas Besar AL di Jakarta dan menemui Letnan Jenderal KKO Hartono. Kepada Hartono, Jasin mengancam jika KKO tetap bertahan dengan keyakinan mereka, “Jika Bung Karno hitam maka KKO hitam, jika Bung Karno putih maka KKO putih,” maka akan terjadi perang saudara.
Jasin menyebut perang dingin AD dan KKO mulai berakhir setelah ia mengadakan kesepakatan saling pengertian dengan Panglima Daerah Maritim V Laksamana Laut untuk memenangkan Orde Baru. Mereka bersepakat untuk menghantam kelompok-kelompok yang berniat mengembalikan Bung Karno ke posisi semula.
Dengan naiknya Soeharto ke pucuk kepemimpinan Indonesia, posisi sulit harus dihadapi Hartono. Ia kemudian diberhentikan dengan halus dan ditunjuk menjadi duta besar untuk Korea Utara menggantikan Ahem Erningpraja. Praktik ini lazim dilakukan Soeharto untuk mengurangi pengaruh rival-rivalnya. Namun yang ganjil setelah dipanggil pulang kemudian terdengar kabar mantan jenderal itu bunuh diri.
Hartono ditemukan ibu kandungnya dalam keadaan berlumuran darah di lantai kamarnya karena tembakan peluru di bagian belakang kepala. Pistol yang digunakan ditemukan tergeletak di dekat korban.
Soedomo menyebut Hartono bunuh diri karena diduga putus asa atas kegagalannya menjalankan tugas sebagai Dubes RI di Pyongyang, Korea Utara. Keterangan resmi itu dibantah keras beberapa pejabat AL seperti Letnan Jenderal Ali Sadikin dan Laksamana Madya Rachmat Sungkar. Menurut mereka, Hartono bukan tipe manusia yang mudah putus asa lalu bunuh diri hanya karena tugasnya gagal sebagai duta besar.
Selain itu, Ali Sadikin dan Rachmat Sungkar mengaku heran mengapa jenasah Hartono tidak divisum oleh dokter dari RSAL atau RS Cipto Mangunkusumo, tapi justru diotopsi di RSAD Gatot Subroto. Hartono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 7 Januari 1971.
Beres dengan Angkatan Laut, perhatian Jasin segera diarahkan untuk membersihkan partai politik dan ormas-ormasnya dari unsur komunis. Ia mencurigai PNI Ali Surachman masih sering mengadakan kerjasama dengan PKI yang waktu itu sudah ditetapkan sebagai partai terlarang. Melalui Instruksi Panglima No 2/1967, Jasin memberi ‘kesempatan’ kepada PNI untuk melakukan ‘pembersihan’ sampai dengan 1 Mei 1969.
Jasin juga membentuk Tim Pembina Orba tingkat koordinator daerah Korem dan Pembina Orba tingkat II/Kodam, Kabupaten/Kodya melalui kodim-kodim. Ia juga memerintahkan siaran seminggu sekali melalui stasiun RRI di seluruh Jawa Timur dan koran-koran dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan Kodam Brawijaya.
“Dalam rangka pengordebaruan Jatim, saya melihat ada gejala anarkis dan rasialisme. Karena itu saya putuskan untuk melaksanakan sesuai ketentuan strategi Orba dan pola operasi Orba. Pelaksaannnya tidak boleh mengabaikan Panca Tertib,” kata Jasin.
Bertindak lebih jauh, Jasin bersama para panglima se-Jawa, Pangkostrad, dan Puspasus RPKAD membuat pernyataan bersama yang menegaskan kepatuhan dan keyakinan mereka serta kebulatan tekad untuk mensukseskan Panca Krida pemerintah. Tindakan tegas akan diambil terhadap kekuatan apapun yang masih menganut pemikiran orde lama.
Untuk memantapkan cita-cita Orde Baru di JawaTimur, pertengah Oktober 1967 Jasin menggelar pertemuan panglima-panglima di seluruh Jawa, Pangkostrad dan Komandan RPKAD di Malang. Rapat koordinasi itu merupakan lanjutan rapat serupa yang sebelumnya digelar di Yogyakarta 7 Juli 1967.
Rapat koordinasi itu merumuskan tekad bahwa seluruh panglima se-Jawa menyatakan dukungannya kepada Jenderal Soeharto dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru dan mengikis penyelewengan Orde Lama dengan melaksanakan secara konsekuen cita-cita Pancasila dan UUD 1945.
Selain ditandatangani M Jasin sebagai Panglima Kodam Brawijaya, pernyataan dukungan itu juga diteken Pangdam Jaya Amir Machmud, Pandam Siliwangi HR Dharsono, Pangdam Diponegoro Surono, Pangkostrad Kemal Idris dan Komandan RPKAD Wijoyo Suyono.
Namun, bagaimanapun politik berjalan dengan norma-normanya sendiri. Kelak di kemudian hari, beberapa di antara panglima-panglima itu harus berhadapan dengan pemerintahan Soeharto sekaligus menghadapi akibat-akibatnya. Siapa menabur angin, ia bakal menuai badai.[TGU]