Ilustrasi (AI/AT)

Catatan Cak AT:

Ah, Indonesia. Negeri yang reformasinya seperti diet —niatnya sih langsing, tapi akhirnya kembali melar juga. Dulu, rakyat berteriak menolak dwifungsi ABRI. Mahasiswa turun ke jalan, aktivis dipopor senapan, dan banyak yang tubuhnya lebih akrab dengan sepatu lars ketimbang kasur.

Setelah perjuangan berdarah-darah, akhirnya, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, dwifungsi ABRI resmi dihapuskan. Militer kembali ke barak, dan demokrasi pun berusaha tumbuh. Namun, demokrasi di negeri ini ibarat tanaman hias yang sering lupa disiram. Lama-lama demokrasi makin layu.

Kini, kita mendengar rencana perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Isinya? TNI bisa duduk di 15 kementerian dan lembaga strategis. Alasannya? Agar TNI tetap relevan dan bisa berkontribusi dalam urusan sipil. Tapi benarkah ini demi kebaikan negara, atau sekadar strategi klasik “beri sedikit, ambil banyak”?

Sepanjang sejarah, banyak negara yang membiarkan militer masuk ke pemerintahan. Hasilnya, seperti yang bisa ditebak, demokrasi melemah, kebijakan publik diwarnai pendekatan komando, dan pada akhirnya, suara rakyat menjadi gema yang makin sayup terdengar, ditendang jauh dengan sepatu lars.

Lihatlah Myanmar setelah kudeta militer 2021, di mana ketakutan menjadi mata uang sehari-hari. Atau Mesir setelah kudeta 2013, di mana demokrasi hanya tinggal kenangan sejarah. Pakistan juga bisa menjadi cermin, di mana pemimpin sipil datang dan pergi, tapi para jenderal tetap bercokol, mengendalikan kekuasaan dari balik layar.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Presiden Prabowo Subianto kabarnya meminta aparat TNI boleh menjabat di 15 lokasi. Mari kita bahas ke-15 kementerian dan lembaga yang konon katanya paling cocok diisi oleh prajurit — yang sudah mundur, atau tepatnya tidak diaktifkan setelah ditunjuk atau direkayasa lebih dulu.

Jika dicermati, pola yang muncul begitu menarik, seperti sebuah cocokologi yang dipaksakan. Oke, mungkin untuk Menko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen, dan Sandi Negara, peran militer masih bisa dimaklumi.

Tapi, bagaimana dengan lembaga yang mengurus masalah hukum dan peradilan seperti Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung? Apakah pejabat militer yang terbiasa tunduk pada hierarki bisa menjalankan peradilan yang independen?

Bagaimana pula dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan? Apakah ini pertanda bahwa militer akan turun langsung menangkap nelayan ilegal, atau justru sekadar memastikan pasokan ikan asin di markas besar tetap terjaga?

Anehnya, tidak ada kementerian atau lembaga yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik yang lebih luas. Tidak ada Kementerian Kesehatan yang dimasukkan ke daftar 15, padahal prajurit TNI sering melakukan operasi kesehatan di daerah terpencil.

Tidak ada Kementerian Pendidikan, meskipun baris-berbaris dan kedisiplinan bisa menjadi bagian dari pembinaan karakter. Penunjukan ke-15 kementerian ini terasa tidak lebih dari akal-akalan untuk menghidupkan kembali dwifungsi dalam bentuk yang lebih halus.

Militer dan pemerintahan sipil adalah dua entitas yang sangat berbeda. Militer dibangun di atas prinsip hierarki yang ketat, kepatuhan absolut, dan disiplin tanpa banyak ruang untuk perdebatan. Pemerintahan sipil, sebaliknya, harus dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan diskusi terbuka.

Ketika militer mulai masuk ke ranah sipil, proses pengambilan keputusan berisiko menjadi kaku, tidak demokratis, dan lebih mengandalkan perintah daripada dialog.

Bayangkan seorang pejabat sipil yang harus berdebat dengan seorang jenderal dalam rapat kabinet. Akankah dia berani menyuarakan pendapatnya, atau justru lebih memilih diam daripada berisiko melawan senioritas yang tertanam dalam budaya militer?

Jika revisi UU ini disahkan, kita bisa membayangkan skenario di mana suatu hari nanti bukan hanya 15 kementerian yang mereka kuasai, tetapi lebih banyak lagi. Ajaran militer itu sederhana: bertahan, melawan, dan menguasai.

Mungkin kelak kita akan terbangun dan melihat seorang kolonel memimpin Kementerian Pariwisata, atau seorang jenderal mengurusi ekonomi digital. Pada saat itu, kita hanya bisa bertanya, “Lho, kok bisa?” —tapi semuanya sudah terlambat, jika kita tak peduli dari sekarang.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis