Sejarah penuh dengan kisah-kisah tragis yang mencerminkan sisi kelam peradaban manusia. Salah satunya adalah Genosida Armenia, sebuah peristiwa memilukan yang menandai salah satu bab tergelap dalam sejarah Kekaisaran Ottoman. Di tengah pergolakan Perang Dunia I, ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang Armenia menjadi korban kebijakan pemusnahan sistematis yang dilakukan oleh pemerintah Ottoman.
Tragedi ini bukan sekadar angka atau catatan sejarah, tetapi kisah nyata tentang penderitaan, ketidakadilan, dan kehilangan yang masih meninggalkan dampak mendalam hingga saat ini. Untuk memahami latar belakang, penyebab, dan konsekuensi dari peristiwa ini, mari kita telusuri lebih jauh bagaimana salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20 ini terjadi.
Latar Belakang
Genosida Armenia merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah abad ke-20. Dilansir dari laman The Holocaust Explained, peristiwa ini melibatkan pembunuhan massal setidaknya 664.000 hingga 1,2 juta orang Armenia oleh pemerintah nasionalis yang berkuasa di Kekaisaran Ottoman, yaitu Komite Serikat dan Kemajuan (CUP), antara tahun 1915 dan 1916.
Bangsa Armenia adalah kelompok etnis yang mayoritas beragama Kristen dan telah tinggal di Anatolia Timur (sekarang Turki Timur) selama berabad-abad. Pada awal abad ke-20, sekitar dua juta orang Armenia menghuni Kekaisaran Ottoman, sebagian besar di daerah pedesaan, meskipun terdapat komunitas kecil di pusat-pusat perkotaan seperti Konstantinopel.
Di bawah sistem millet yang diterapkan oleh Kekaisaran Ottoman pada abad ke-19, bangsa Armenia menikmati otonomi administratif dan sosial yang cukup besar, serta memiliki bahasa dan gereja mereka sendiri. Namun, posisi mereka dalam masyarakat Ottoman tidak selalu stabil, sering kali mengalami diskriminasi dan persekusi.
Pada saat Perang Dunia Pertama pecah, Kekaisaran Ottoman mengalami kemunduran drastis. Kekalahan dalam Perang Balkan (1912-1913) menyebabkan kehilangan 83% wilayah Eropa mereka, meningkatkan sentimen anti-Kristen dan memperkuat keinginan para pemimpin Ottoman untuk menciptakan negara yang lebih homogen secara etnis. Dalam konteks ini, komunitas Armenia Kristen mulai dipandang sebagai ancaman terhadap keharmonisan dan stabilitas kekaisaran.
Selama perang, Kekaisaran Ottoman bersekutu dengan Jerman dan Austria-Hongaria. Namun, setelah mengalami berbagai kekalahan militer, pemerintah Ottoman mencari kambing hitam untuk disalahkan. Orang-orang Armenia dituduh berkhianat dan membantu musuh, sebuah tuduhan yang tidak berdasar tetapi dijadikan dalih untuk melancarkan tindakan pemusnahan sistematis terhadap mereka.
Penganiayaan dan Genosida
Sebagai langkah awal, tentara Armenia dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan negara dan dengan cepat disingkirkan dari militer Ottoman, sebelum akhirnya dibantai. Kaum elit intelektual Armenia di pusat-pusat perkotaan seperti Konstantinopel ditangkap, dipenjara, dan dieksekusi.
Gelombang kekerasan berlanjut dengan deportasi massal warga Armenia dari wilayah-wilayah strategis. Wanita, orang tua, dan anak-anak dipaksa melakukan perjalanan panjang menuju Deir ez-Zor, Suriah, dalam apa yang dikenal sebagai ‘pawai kematian’. Selama perjalanan ini, mereka menghadapi kelaparan, dehidrasi, serta serangan dari pasukan Ottoman dan kaki tangan lokal. Mereka yang tidak dapat bertahan atau melanjutkan perjalanan segera dieksekusi. Ribuan orang tewas dalam kondisi yang mengenaskan.
Beberapa warga Armenia di daerah dengan kepadatan populasi rendah dapat bertahan dengan cara berpindah agama menjadi Muslim, meskipun mereka tetap diawasi secara ketat. Gadis-gadis muda dan wanita sering kali dijadikan pekerja paksa, dinikahkan secara paksa, atau diperbudak secara seksual.
Mereka yang berhasil sampai di kamp-kamp penahanan di Deir ez-Zor dan Ras al-Ayn dihadapkan pada kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kekurangan makanan, sanitasi buruk, dan wabah penyakit menyebabkan ribuan kematian. Antara Maret dan Oktober 1916, terjadi gelombang eksekusi lebih lanjut yang mengakibatkan sekitar 200.000 korban jiwa.
Secara keseluruhan, pada tahun 1917, sedikitnya 664.000 hingga 1,2 juta orang Armenia telah terbunuh. Tragedi ini menjadi salah satu genosida paling kejam dalam sejarah modern, yang hingga kini masih menjadi isu sensitif dalam politik internasional, terutama antara Armenia dan Turki.
Genosida Armenia adalah sebuah peristiwa tragis yang mencerminkan dampak buruk nasionalisme ekstrem dan intoleransi etnis. Pembantaian massal ini bukan hanya menghancurkan populasi Armenia di Kekaisaran Ottoman, tetapi juga meninggalkan luka sejarah yang mendalam. Hingga saat ini, banyak negara telah mengakui peristiwa ini sebagai genosida, meskipun masih terdapat kontroversi dan penolakan dari beberapa pihak.
Mengingat pentingnya pelajaran dari sejarah, peristiwa ini harus diakui dan dipahami agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. [UN]