Apophis: Ular Kekacauan dalam Mitologi Mesir Kuno

Gambaran Apophis. (Wikimedia Commons)

Saat kita membayangkan kisah-kisah dari Mesir Kuno, yang terlintas mungkin adalah dewa-dewa agung yang menjaga dunia tetap seimbang. Namun di balik cahaya para dewa, tersembunyi satu sosok yang membawa ketakutan, kekacauan, dan kegelapan, namanya Apophis. Ia bukan sekadar tokoh jahat dalam cerita rakyat, melainkan lambang pertarungan abadi antara harapan dan kehancuran. Siapa sebenarnya Apophis, dan mengapa kehadirannya terus membayang-bayangi mitologi Mesir hingga hari ini? Mari kita selami lebih dalam kisah tentang ular kekacauan ini.

Sosok yang Terbuang dari Cahaya

Dalam khazanah mitologi Mesir Kuno, nama Apophis mengendap sebagai lambang kegelapan, kekacauan, dan kehancuran. Sosoknya yang mengerikan bukan sekadar mitos kosong; ia adalah ancaman abadi para dewa. Apophis, atau Apep dalam nama lainnya, dikenal sebagai musuh bebuyutan dewa matahari, Ra, dalam pertarungan tanpa akhir yang menentukan terbitnya fajar.

Beberapa kisah lama menyiratkan bahwa Apophis dulunya bukanlah simbol kejahatan. Ia diyakini pernah menjadi dewa matahari sebelum kehadiran Ra menggusurnya dari takhta langit. Perseteruan abadi ini pun bermula, ketika Apophis berusaha menggagalkan tugas Ra untuk membawa cahaya setiap hari kepada dunia.

Dalam mitologi, Apophis mengambil wujud seekor ular raksasa yang menakutkan. Ia dijuluki “kadal jahat” atau “ular dari Sungai Nil”. Legenda menggambarkannya memiliki tubuh sepanjang 50 kaki, atau hampir 15 meter. Ada pula cerita yang menyebutkan kepalanya terbuat dari batu api, menambah kesan mengerikan yang melekat padanya. Dalam versi-versi lain, khususnya yang dipengaruhi oleh penceritaan Romawi, Apophis digambarkan sebagai ular emas raksasa yang membentang bermil-mil panjangnya, mengancam akan menelan matahari setiap malam saat Ra menyeberangi dunia bawah.

Nama Apophis sendiri mengandung makna mendalam. Kata “Apep” mungkin berasal dari istilah Mesir yang berarti “meluncur”, merujuk pada gerakan seekor ular. Menariknya, kata ini juga terkait dengan arti “dimuntahkan”, mengisyaratkan status Apophis sebagai sosok terbuang dari komunitas ilahi.

Apophis adalah keturunan dari Neith, dewi perburuan dan perang. Dengan demikian, ia bersaudara dengan sejumlah dewa penting seperti Ra, Hathor, Sobek, Thoth, dan Serqet. Namun, alih-alih menjadi bagian dari tatanan ilahi, Apophis memilih jalannya sendiri: menentang terang dan ketertiban.

Setiap malam, Ra mengarungi langit dengan tongkang surya miliknya dan, saat memasuki dunia bawah, ia menghadapi serangan Apophis. Ditemani oleh para dewa pelindung, Ra berusaha menembus serangan itu agar fajar dapat menyingsing kembali. Salah satu pembela yang tak terduga dalam perjalanan ini adalah Set, dewa yang biasanya juga dihubungkan dengan kekacauan. Meski kelak dalam kisah-kisah selanjutnya peran Set digantikan oleh dewa lain seperti Hathor, keberpihakan Set kepada Ra menunjukkan kompleksitas moral dalam mitologi Mesir.

Beberapa cerita bahkan menggambarkan Ra yang berubah menjadi seekor kucing untuk mengalahkan ular raksasa itu—sebuah simbolisme mendalam, mengingat kucing adalah hewan suci di Mesir dan musuh alami ular.

Kehadiran yang Membayang dalam Sejarah

Menariknya, Apophis baru muncul dalam catatan mitologi setelah beberapa generasi firaun memerintah. Namun, gambaran tentang ular besar sudah menghiasi artefak-artefak Mesir sejak awal peradaban mereka, menunjukkan betapa kuatnya simbol ular dalam imajinasi kolektif Mesir kuno.

Dalam budaya Mesir, ular sering dikaitkan dengan kematian dan kekuatan jahat, sementara kucing dipandang sebagai pelindung. Hubungan ini memperkuat kisah mitologis tentang pertarungan antara Ra dan Apophis.

Tidak seperti dewa-dewa lainnya, Apophis tidak pernah disembah. Sebaliknya, ia menjadi objek dari ritual anti-pemujaan. Orang Mesir menciptakan patung-patung ular untuk kemudian dihancurkan, dibakar, atau diludahi sebagai bentuk solidaritas dengan Ra dan untuk memastikan matahari akan terus terbit.

Apophis juga dipercaya bertanggung jawab atas berbagai bencana alam, seperti gempa bumi, yang dianggap sebagai akibat dari tubuhnya yang menggeliat di dunia bawah.

Meskipun dalam banyak kisah Apophis dikalahkan oleh Ra dan para dewa lainnya, ia tidak pernah benar-benar musnah. Ia hanya ditahan sementara, menunggu kesempatan lain untuk menyerang. Dalam hal ini, Apophis merepresentasikan kekacauan yang tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi harus terus-menerus dilawan agar kehidupan bisa berlangsung.

Dalam mitologi Mesir Kuno, Apophis bukan sekadar monster, melainkan lambang ketakutan terdalam manusia akan kegelapan, kehancuran, dan kehilangan harapan. Ia mengingatkan bahwa terang dan keteraturan bukanlah sesuatu yang terjamin, melainkan hasil dari perjuangan abadi melawan kekuatan-kekuatan yang ingin menenggelamkan dunia dalam kekacauan abadi. [UN[