Apakah Moral adalah Bawaan Lahir atau Hal yang Dipelajari? Ini Kata Sains

Penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah bayi terlahir dengan moral atau mempelajarinya dari orang lain. (Sumber: Pexels)

Moral adalah kemampuan manusia untuk membedakan perilaku baik dan buruk. Banyak orang meyakini setiap manusia terlahir dengan kemampuan ini, yang lainnya berpendapat moral adalah hal yang dipelajari.

Pertanyaan yang sama juga berlaku pada bayi. Apakah bayi terlahir dengan moral atau apakah mereka mempelajarinya dari orang lain? Pertanyaan ini telah memicu perdebatan di kalangan akademis selama bertahun-tahun.

Penelitian tentang Moral

Melansir dari Earth.com, John Locke berpendapat bahwa pikiran manusia dimulai sebagai tabula rasa atau lembaran kosong, dengan semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Pandangan ini menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan penilaian moral hanya setelah mengamati tindakan orang-orang di sekitar mereka.

Dr. Kiley Hamlin, Profesor Psikologi di Universitas British Columbia, mengadakan penelitian untuk mengetahui apakah bayi meiliki kemampuan untuk membedakan perilaku baik dan buruk.

Dia dan rekan-rekannya menampilkan pertunjukan boneka kepada bayi berusia enam dan sepuluh bulan. Selama pertunjukan, bayi-bayi tersebut melihat sebuah karakter yang berjuang mendaki hingga ke puncak bukit. Kemudian, karakter baru akan membantu individu tersebut mencapai puncak (bertindak sebagai “Pembantu”) atau mendorongnya kembali ke dasar bukit (bertindak sebagai “Penghalang”).

Dalam studi tersebut, 88% dari bayi berusia sepuluh bulan dan 100% dari bayi berusia enam bulan memilih untuk meraih karakter yang membantu. Ini tampaknya menunjukkan bayi-bayi tersebut memiliki preferensi moral dasar. Namun, studi ini hanya menggunakan sampel beberapa lusin bayi.

Pada uji studi kedua yang dilakukan oleh ManyBabies pada tahun 2024, para peneliti menggunakan rangsangan video sebagai pengganti pertunjukan boneka langsung dan menguji sampel yang besar. Hasilnya menunjukkan bayi tidak menunjukkan preferensi yang konsisten terhadap figur pro-sosial.

Salah satu kemungkinannya adalah bayi membutuhkan lebih banyak waktu di dunia sebelum mereka membentuk kesan yang kuat tentang benar dan salah. Yang lain menduga perubahan kecil dalam metode tersebut dapat memengaruhi perhatian dan pilihan bayi.

“Beberapa orang akan langsung menafsirkan bahwa [hasil penelitian menunjukkan] temuan awal itu salah…kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan,” tulis Michael Frank, pendiri konsorsium ManyBabies.

Perkembangan Moral Manusia

Teori klasik dari Jean Piaget menyatakan penilaian moral anak-anak berkembang secara bertahap, mulai dari fokus pada konsekuensi hingga ke pemahaman tentang niat.

Jika penalaran moral berkembang seiring waktu, hal itu mungkin kurang jelas pada bayi yang masih menjelajahi lingkungan sekitar.

Urutan enam tahap (six-stage sequence) Lawrence Kohlberg juga menyiratkan bahwa pemikiran moral tingkat lanjut memerlukan pertumbuhan kognitif. Bayi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memproses konflik moral pada tingkat itu.

Beberapa orang berpendapat bahwa dalam banyak budaya, orang tua dengan cepat berperan dalam membentuk perilaku moral dengan mengajari anak-anak untuk mengenali tindakan baik dan buruk. Dengan demikian, lingkungan sejak dini mungkin memainkan peran yang lebih besar dari yang diharapkan.

Beberapa ahli menyarankan agar orang tua mengamati reaksi spontan anak mereka terhadap kebaikan atau agresi. Hal ini dapat menjadi panduan untuk melakukan intervensi dan percakapan lembut yang membingkai empati sebagai nilai yang berharga.

Tindakan sederhana, seperti memuji balita karena berbagi, dapat memicu kesadaran moral sejak dini. Dorongan halus dapat membuka jalan bagi penalaran etika yang lebih mendalam di masa kanak-kanak. [BP]