Ilustrasi/Ernest Zacharevic

Koran Sulindo – Pada April 2016 Presiden Joko Widodo menyatakan akan membuat kebijakan menyetop sementara (moratorium) izin perkebunan sawit dan batubara. Belakangan, moratorium sawit jadi fokus, setelah itu baru lanjut ke batubara.

Pada akhir Januari 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan perkebunan sawit segera diterbitkan.  Inpres itu mengatur kebijakan moratorium yang berlaku tiga tahun.

Namun hingga kini, Inpres itu tak kunjung terbit.

Kalangan organisasi masyarakat sipil mempertanyakan keseriusan pemerintah melakukan perbaikan dan pembenahan tata kelola kebun sawit.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch di Bogor, mengatakan, berdasarkan datanya, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah sekitar 20 juta hektar. Angka ini, yang baru terverifikasi, belum ditambah data yang belum terverifikasi, bisa sampai 23 juta hektar.

“Dengan luas itu, belum optimal. Kita mendorong setop dulu izin baru dan perbaikan tata kelola perkebunan, agar produktivitas lebih bagus,” kata Inda, baru-baru ini, seperti dikutip mongabay.co.id.

Menurut Inda, berbagai organisasi masyarakat sipil beberapa kali diskusi membahas draf Inpres ini. Kalangan aktivis juga membuat “draf tandingan” inpres moratorium sawit.

Inda berharap ketika inpres keluar draf yang dibuat koalisi masyarakat sipil bisa jadi acuan guna melihat dan memantau inpres ini.

“Itu ke depan ingin kita lakukan. Jadi organisasi masyarakat sipil terlibat aktif dalam memastikan inpres jalan,” katanya.

Sawit Watch mendesak inpres sawit segera terbit.

Sementara itu, Arie Rompas, aktivis Greenpeace Indonesia mengatakan, moratorium sawit sudah lama, dan jalan cukup lama namun tak akan kuat mendorong perbaikan tata kelola.

“Padahal, moratorium itu kan harusnya dua tahun-lah, setelah moratorium, masuk proses perbaikan tata kelola. Baik konflik sosial, penegakan hukum, termasuk produktivitas. Sampai sekarang, inpres ini juga tak ada kabar,” katanya.

Sementara Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, moratorium merupakan bagian instrumen perbaikan tata kelola. Proses terpenting adalah agenda perbaikan tata kelola pasca penetapan inpres.

“Perubahan tata kelola jadi agenda tersendiri di luar mendorong terbitnya Inpres Moratorium,” kata Hariadi.

Menurut Hariadi, Inpres Moratorium masih banyak kelemahan.

“Jangan sampai terjebak pada momen menunggu Inpres Moratorium,” katanya.

Sudah di Tangan Presiden

Sementara Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan sudah diajukan kepada presiden. Sejumlah kementerian terlibat sudah setuju dan membubuhkan paraf.

“Memang sejak dari awal, cara berpikir presiden telah memberikan arahan bahwa sektor perkebunan diarahkan pada peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir. Dalam beberapa kesempatan, soal isu produktivitas sawit, secara simbolik presiden hadir dalam replanting sawit, misal,” katanya.

Soal rancangan Inpres Moratorium perlu dipikirkan pasca inpres.

“Karena kebijakan ini perlu pengawalan. Pengawalan tak bisa diberikan pada institusi pemerintah. Bagaimana memantau prosesnya nanti,” kata Abetnego.

Sebelumnya, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, setelah Inpres keluar, selama masa itu tidak boleh ada izin baru perkebunan kelapa sawit, atau penambahan luas lahan perkebunan kelapa sawit.

Saat ini fokus pemerintah adalah meningkatkan produktivitas sawit rakyat, salah satunya dengan melakukan peremajaan.

“Di dalam Instruksi Presiden itu yang kepada menteri LHK, pertama, karena sudah ada 13 juta hektar hutan sawit dan yang lebih empat jutaan hektar yang punya rakyat, produktivitasnya masih rendah. Karena itu jangan dulu ada izin baru. Jadi nanti, saat Inpres keluar, nggak boleh ada izin baru,” kata Siti, di Jakarta, Selasa (23/1/2018), seperti dikutip kbr.id.

Menurut Siti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diinstruksikan untuk mengevaluasi perizinan sawit yang sedang berjalan. Sementara, izin yang sudah terbit tidak akan dievaluasi.

Inpres juga memuat tentang pembentukan tim kerja yang akan dipimpin Kementerian Koordinator Perekonomian.

Pada Mei 2017 lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian sawit dan biodiesel berbasis sawit karena mengakibatkan masalah lingkungan, korupsi, HAM dan perdagangan anak. Resolusi ini diikuti Amerika Serikat. Resolusi ini mengacam perdagangan sawit Indonesia. [DAS]