Koran Sulindo – Jauh sebelum Indonesia merdeka, tercatat dalam sejarah hadirnya seorang pejabat kolonial yang menaruh kepedulian besar terhadap nasib kaum bumiputra. Dia adalah Eduard Douwes Dekker, yang bahkan rela berhenti sebagai pegawai negeri saat pemerintah kolonial tidak menghiraukan rekomendasi yang dia sampaikan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Apa pasal?

Rupanya, Eduard yang baru satu bulan dilantik menjadi Asisten Residen Lebak, yang berkedudukan di Rangkasbitung-Banten pada Januari 1856 menemukan kekejaman Bupati Lebak kepada rakyatnya sendiri. Bupati Lebak tak sungkan-sungkan menyuruh rakyatnya kerja rodi, mengutip pajak gelap, dan merampas ternak milik penduduk–kalau membeli pun harus dengan harga sangat murah.

Temuan itu dia sampaikan ke atasannya langsung, residen CP Brest van Kempen, dengan bentuk pelaporan yang penuh emosi. Tapi, laporannya dianggap angin lalu.

Eduard pun meneruskan laporannya ke Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist di Batavia, sekaligus merekomendasikan Bupati Lebak dan anak-anaknya ditahan. Setelah perkara diteruskan ke Batavia ternyata justru Eduard diberi peringatan keras. Dia pun memilih berhenti menjadi pegawai pemerintahan kolonial dan pulang ke Belanda.

Kelak setelah menjadi pengangguran dan digugat cerai oleh istrinya, Eduard menyewa sebuah losmen sederhana di Brussel, Belgia. Di losmen itu, selama satu tahun (1859-1860), Eduard yang ketika itu menginjak umur 40 menulis novel berjudul Max Havelaar. Dia menggunakan nama pena Multatuli. Novel Max Havelaar ternyata laris di Eropa.

Multatuli diambil dari bahasa Latin, multa tuli, yang berarti ‘banyak yang saya sudah derita’. Nama itu merefleksikan pengalaman hidupnya.

Eduard lahir dari kalangan berada, dari ayah seorang kapten kapal perusahaan besar. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas, tapi drop out dari perguruan tinggi. Ketika beranjak tua, hidupnya pun melarat.

Namun, kepedulian Eduard terhadap kalangan bawah tidak perlu diragukan. Bahkan, novel Max Havelaar menjadi inspirasi sastrawan dari generasi Poejangga Baroe, sekitar tahun 1920-an, tentang nasib bumiputra. Novel yang terbit tahun 1860 itu berkisah tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum pribumi, khususnya rakyat kebanyakan.

Tahun 1972, novel tersebut diterjemahkan HB Jasin ke bahasa Indonesia. Dalam bagian novel itu terdapat tulisah tentang Saijah dan Adinda, yang kisahnya sangat mengharukan. Tak pelak lagi, Max Havelaar yang berkisah tentang penindasan di Indonesia menjadi karya sastra warisan dunia. Gaya tulisan Eduard yang satir memberi warna baru dalam kepenulisan novel pada masanya.

Kini, setelah 71 tahun merdeka, masih adakah kisah-kisah tragis sebagaimana ditulis dalam novel Max Havelaar? Tragis sekali mungkin tidak. Rakyat yang hidup di seputar garis kemiskinan malah mendapatkan rupa-rupa santunan dari negara. Fasilitas kesehatan dan pendidikan sudah banyak yang gratis. Terus, apa lagi yang kurang?

Kalau soal rupa-rupa tunjangan kepada rakyat miskin tentu bukan hal yang luar biasa dan patut dibanggakan. Sebab, hampir semua negara, kecuali mungkin di negara-negara miskin, sudah melakukan itu. Karena, memang, sistem kapitalis sendiri sudah memberikan jaring pengaman sosial kepada masyarakat strata bawah. Artinya, cara penindasannya sudah lebih sopan ketimbang era kolonial.

Tapi, yang menjadi persoalan, apakah Republik Indonesia setelah 71 tahun merdeka sudah menjalankan fungsinya memberikan perlindungan kepada semua warga negara, memfasilitasi sumber penghiduan yang layak, mencerdaskan, dan bertindak adil kepada semua golongan? Meskipun sudah banyak fasilitas yang gratis, masih ada saja warga yang kebingungan mendapatkan bangsal rumah sakit karena tidak memadainya fasilitas kesehatan.

Juga tercatat berapa warga yang dipaksa mengungsi karena dibakar rumahnya hanya karena memiliki keyakinan minoritas di tanah airnya. Belum lagi adanya rasa waswas menjadi korban pembegalan di jalan. Ini kisah nyata. Di beberapa kawasan, warga takut keluar malam karena sering terjadinya pembegalan di wilayahnya.

Artinya, selama rakyat belum bebas dari rasa takut, sesungguhnya pula tidak ada kemerdekaan.

Kemerdekaan bukan hanya bermakna independent, bebas dari campur tangan pemerintah kolonial, melainkan juga freedom. Bebas dari rasa takut. Untuk itu, dalam pembukaan konstitusi secara jelas dan gamblang negara bertekad melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia.

Kesenjangan sosial dan kemiskinan masih tampak nyata. Buktinya, hingga tahun 2013 tercatat sekitar 6,5 juta warga negara Indonesia yang menyabung nasib di 142 negara. Tahun 2014 saja diberangkatkan 429.872 orang ke luar negeri. Artinya,  kehidupan di dalam negeri tidak memberikan sumber penghidupan yang cukup bagi warganya.

Setiap tahun ada 2,8 juta angkatan kerja baru, sedangkan pertumbuhan yang hanya 5% maksimal hanya mampu menampung 1,25 juta angakatan kerja. Belum lagi bicara permasalahan sosial lainnya yang membutuhkan perhatian serius negara.  Ditambah lagi kebiasaan korupsi yang membuat keuangan negara tidak optimal membiayai proyek-proyek infrastruktur yang diharapkan memberikan kemudahan kepada warga mengakses sumber-sumber penghidupan.

Semua itu membutuhkan perangkat kepemimpinan yang bukan hanya peduli seperti Multatuli, melainkan juga yang mampu memberikan “jiwa-raganya” untuk kebangkitan Indonesia. Tapi, faktanya, sebagian besar pejabat masih bekerja asal bekerja, malah menjadi benalu yang menggerogoti keuangan negara dalam pekerjaannya.

Singkat cerita, kalau jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada pejabat pemerintahan kolonial yang peduli terhadap bumiputra, yang tampil setelah 71 Indonesia merdeka adalah jenis pejabat multituli: tuli terhadap kepedulian, tuli terhadap jerit kemiskinan, dan tuli terhadap segala-galanya. [Marlin Dinamikanto, Wartawan Senior]