Koran Sulindo – Pandemi Covid-19 memicu krisis kesehatan global. Ini masalah serius dan harus menjadi prioritas untuk ditangani. Ditambah jumlah yang terinfeksi per 26 April 2020 mencapai 2,93 juta orang secara global. Dari jumlah ini, sekitar 838.306 sembuh dan 203.413 pasien dinyatakan meninggal dunia.
Meski begitu, ada dimensi lain yang tak kalah serius. Jutaan orang kini telah kehilangan pekerjaan. Mereka bahkan telah menghabiskan apapun yang mereka miliki demi hidup. Di negara-negara berkembang dan miskin, masyarakat cenderung putus asa dan pasrah karena himpitan ekonomi yang kian menjepit.
Sementara itu, kelaparan terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Juga terjadi di negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS). Rakyat menganggur dan mengantre untuk mendapatkan bantuan sosial demi mengisi perut sejengkal. Kemiskinan benar-benar terjadi di seluruh dunia.
Sedangkan, pemecahan masalah seperti ini selalu hanya tunggal. Untuk wabah virus corona solusinya berasal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Organisasi yang mendapat dukungan dana terbesar dari Amerika Serikat (AS) walau baru-baru ini Presiden Donald Trump mengumumkan akan menghentikan pendanaan untuk WHO.
Protokol kesehatan WHO menjadi satu-satunya cara menghadapi wabah virus corona ini. Lembaga kesehatan internasional yang didukung AS dan juga acap menerima pendanaan dari jaringan perusahaan farmasi raksasa yang dikenal sebagai Big Pharma, Wall Street, World Economic Forum dan Bill and Melinda Gates Foundation.
Protokol kesehatan ini kemudian menjadi acuan seluruh dunia. Mulai dari lockdown, pembatasan perjalanan, pembatasan sosial, pembatasan aktivitas ekonomi dan pembatasan fisik. Menurut President and Director of the Centre for Research on Globalization Michel Chossudovsky dalam Towards A New World Order? The Global Debt Crisis and the Privatization of the State, pemerintahan nasional tiap-tiap negara terutama yang korup ditekan untuk patuh terhadap anjuran WHO itu.
Kebijakan WHO yang menganjurkan berbagai pembatasan menghadapi Covid-19, kata Chossudovsky, tak terlepas dari dukungan Big Pharma, Bill and Melinda Gates Foundation, World Economic Forum, dan Wall Street. Karena itu, penting untuk menganalisis ke mana dunia akan dibawa dengan semua masalah ini?
Chossudovsky mengatakan, krisis ekonomi 2020 yang sedang berlangsung terutama karena Covid-19, maka Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) tak perlu repot-repot menjajakan “ajimat” yang selalu mereka kampanyekan ke berbagai negara terutama ke negara-negara Dunia Ketiga: program penyesuaian struktural (SAP).
Kendati jalannya berbeda, arah dan tujuan dari krisis ekonomi ini tampaknya akan tetap sama. Kali ini lewat WHO dengan “ajimat” baru: protokol kesehatan. Krisis ekonomi di bawah Covid-19, kata Chossudovsky, memerlukan penyesuaian global lewat yang namanya protokol kesehtan. Dalam sekali penerapan dampaknya sungguh luar biasa: kebangkrutan, pengangguran, kemiskinan dan keputusasaan di seluruh dunia.
Karena pembatasan-pembatasan sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan WHO dan dilakukan secara serentak, berdampak luar biasa di seluruh dunia. Dampak yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. Pembatasan-pembatasan tersebut mempengaruhi jalur produksi dan pasokan barang serta jasa, investasi, ekspor-impor, perdagangan retail dan grosir, konsumsi masyarakat dan lain sebagainya.
Pada gilirannya, kata Chossudovsky, kebijakan pembatasan tersebut menyebabkan pengangguran massal, usaha kecil dan menengah harus gulung tikar, daya beli masyarakat hancur, kemiskinan dan kelaparan meluas. Lalu apa tujuan dari penyesuaian ekonomi global dengan mengusung “ajimat” baru protokol kesehatan tersebut? Dan apa pula konsekuensinya?
Menurut Chossudovsky, kekayaan dan investasi korporasi dalam jumlah besar semakin terpusat atau terkonsentrasi. Dampak lainnya, membuat usaha kecil dan menengah di semua bidang termasuk jasa, pertanian dan manufaktur anjlok. Kemudian, akuisisi terhadap perusahaan yang telah bangkrut akan semakin masif terjadi.
Di negara-negara berkembang dan miskin, kata Chossudovsky, hak-hak buruh justru dirampas. Dengan alasan kebangkrutan dan permintaan menurun, upah buruh ditekan. Ini juga terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi atau disebut sebagai negara maju. Ini akan mengancam terciptanya pengangguran massal. Di aspek lain, utang luar negeri semakin tinggi dan ini akan menjadi jalan untuk privatisasi (swastanisasi).
Atas Nama Covid-19
Dibandingkan dengan SAP – ajimat IMF dan Bank Dunia itu – penyesuaian global ini jauh lebih mengerikan dampaknya. Chossudovsky menamainya sebagai tingkat tertinggi dalam penerapan neoliberalisme. Dalam sekali pukul, atas nama Covid-19, maka pemiskinan terjadi dalam skala luas di seluruh dunia.
Lalu, coba tebak siapa yang datang “menyelamatkan” dunia dari situasi ini? Jawabannya: IMF dan Bank Dunia. Tengoklah pernyataan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva yang dengan santai mengatakan, WHO ada untuk “melindungi” kesehatan rakyat dunia, dan IMF ada untuk “melindungi” ekonomi dunia.
Lalu, bagaimana cara IMF “melindungi” ekonomi dunia? Pada awal Maret lalu, Georgieva dalam konferensi pers mengatakan, IMF menyediakan dana US$ 1 triliun dalam bentuk pinjaman alias utang ke tiap-tiap negara yang terdampak Covid-19. Sekilas ungkapan Georgieva itu membuat IMF lembaga yang bermurah hati karena punya uang atau dana besar.
Akan tetapi, kata Chossudovsky, dana itu hanyalah uang “fiktif”. Karena utang tersebut harus dibayar kembali tiap-tiap negara ke IMF berikut dengan semua persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, uang yang disediakan IMF itu adalah utang berikut dengan “bunganya”.
Soal utang ini, IMF dalam Laporan Stabilitas Keuangan Global IMF yang dirilis pada Oktober 2018 berjudul A Decade after the Global Financial Crisis: Are We Safer? menyinggung utang global yang melonjak tajam akibat krisis keuangan global pada 2008. Negara-negara yang terdampak krisis keuangan pada 2008 berhasil keluar dari krisis untuk sementara. Jalan keluarnya adalah mengutang.
Namun, sejak itu, negara-negara yang mendapat pinjaman dari IMF belum mampu melunasi utangnya hingga saat ini. Catatan IMF, total utangan global pada 2008 mencapai US$ 113 atau 210% dari PDB global. Sementara pada 2018, utang global mencapai US$ 167 triliun atau 250% dari PDB global. Untuk melunasi utang sebesar itu, dunia butuh sekitar 2,5 tahun. Laporan IMF itu menunjukkan bahwa utang adalah persoalan serius dalam setiap level perekonomian.
Sementara The Institute for International Finance (IIF) berbasis Washington memperkirakan utang pemerintah, rumah tangga, perusahaan dan sektor keuangan di 30 negara berkembang terbesar naik menjadi 211% persen dari PDB pada awal 2018. Sebelumnya hanya 143% pada akhir 2008.
Kemudian IIF menyebutkan, total utang negara-negara yang disebut sebagai emerging market dalam berbagai bentuk mata uang – tidak termasuk Tiongkok – naik 2 kali lipat dari US$ 15 triliun pada 2007 menjadi US$ 27 triliun pada akhir 2017. Sementara utang Tiongkok pada periode yang sama menurut IIF meningkat dari US$ 6 triliun menjadi US$ 36 triliun.
Kemudian, utang kelompok negara-negara emerging market dalam bentuk dolar meningkat menjadi US$ 6,4 triliun dari US$ 2,8 triliun pada 2007. Perusahaan-perusahaan Turki berutang hampir mencapai US$ 300 miliar pada 2018. Sebagian besar utang itu dalam bentuk dolar. Pasar negara berkembang lebih menyukai dolar karena beberapa alasan. Selama ekonomi negara-negara berkembang itu tumbuh dan menghasilkan dolar dari ekspor, maka utang dapat dikelola.
Ekonom dari Committee for the Abolition of Illegitimate Debt Eric Toussaint sepakat utang merupakan persoalan serius dalam level perekonomian. Bahkan, ia menyebut, utang swasta yang menggunung akan menjadi faktor utama dalam krisis keuangan berikutnya.
Lalu, apa setelah ini? Menurut Chossudovsky, krisis utang ini pada akhirnya akan memicu privatisasi (swastanisasi) dari seluruh struktur negara. Sebab, pemerintahan suatu negara akan berada di bawah cengkeraman “uang besar”. Tentu saja skema ini bukan sesuatu yang asing. Pernah terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Selamat berkuasa dari 1967-2000, Indonesia di bawah Soeharto telah mendapat pinjaman sekitar US$ 25 miliar dari IMF. Berjarak 30 tahun lebih Soeharto berkuasa, krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. IMF dan Bank Dunia lantas membantu rezim Soeharto untuk mengubah program ekonomi yang berorientasi ekspor. Juga skema privatisasi berjalan dengan masif.
Karena perubahan program ekonomi itu, malah menghancurkan industri ringan sehingga membuat negara menjadi tergantung pada impor beras dan komoditas dasar lainnya. Ajaibnya, ketika krisis ekonomi sedang berlangsung pada 1998, Bank Dunia justru memprediksi perekonomian Indonesia akan menjadi terbesar ke-5 di dunia pada 2020. Kenyataannya itu sama sekali tidak terjadi.
Selain Indonesia, Argentina juga mengalami hal serupa pada 2018. Sebelum mendapatkan utang dari IMF, ada syarat-syarat yang harus dipatuhi pemerintahan Argentina yang memang beroerientasi neoliberal. Syarat-syarat itu antara lain mencabut subsidi, privatisasi dan pengetatan anggaran.
Itu sebabnya, dalam 2 tahun terakhir, terjadi peningkatan tarif listrik dan gas secara tajam; merevisi kebijakan pensiun; pemecatan pegawai negeri secara massal; mencabut subsidi pendidikan, kesehatan dan riset ilmu pengetahuan; serta menerapkan politik upah murah dan membatasi hak-hak kaum buruh. Dan itu semua tentu saja itu berdampak besar bagi masyarakat.
Walau sebelum itu, pemerintahan Argentina di bawah Mauricio Macri ketika itu telah menjalankan skema kebijakan sesuai neoliberalisme. Dan di Argentina hanya Macri pula yang mampu menjalankannya dengan baik. Kebijakan yang ditempuh Macri karena itu setelah menyetujui tawaran IMF justru melipatgandakan skema neoliberalisme.
Dari sini kita menjadi tahu, program penyesuaian struktural ala IMF atau penyesuaian global seperti yang disebutkan Chossudovsky tidak lain hanya mengalihkan kekayaan yang dihasilkan kaum buruh kepada pemilik modal. Denga kata lain, bahwa laba bersifat pribadi, tapi jika terjadi kerugian maka itu harus dibebankan kepada kaum buruh dan seluruh rakyat yang tertindas di seluruh dunia. [Kristian Ginting]